Bab 1

505 4 0
                                    

ALEX

Enam tahun kemudian

"Bapak beneran mau berangkat sendiri?" Linda, salah satu Kepala Seksi di Bidang yang kupimpin kembali bertanya dengan intonasi tidak yakin.

"Iya, Lin. Berapa kali saya bilang, hanya satu orang yang diundang." Kembali aku menegaskan kepadanya apa yang sudah kukatakan.

"Nanti nggak ada yang bantuin mempersiapkan bahan-bahannya lho Pak." Ia masih berkeras hendak ikut denganku. Siang ini ada rapat di Kantor Badan Perencanaan Daerah yang kantornya tidak jauh dari Dinas Ketahanan Pangan tempatku bekerja.

"Nggak usahlah. Sudah saya bawa semua bahannya. Kamu bisa lihat kan?" Aku menunjukkan dua map biru beserta sebuah buku data potensi dan produksi pertanian yang berada di tangan kiriku.

"Saya saja yang nyetir pak. Biar Bapak nggak repot." Ia masih berusaha mengikuti kegiatanku. Bukannya aku tidak tahu dengan maksudnya, aku hanya membatasi diri tidak terlalu dekat dengannya.

"Lin, kamu bukan sopir saya. Lagi pula saya nggak repot hanya bawa bahan-bahan ini. Kamu di sini saja. Kalau nanti ada yang tertinggal, saya hubungi kamu. Yang penting kamu standby di sini."

Linda tersenyum cerah. Ia seperti berharap sesuatu akan tertinggal sehingga aku akan segera menghubunginya. Ah Linda, cara pikirmu aneh.

Aku segera berdiri dan meninggalkan Linda yang masih tak bergeming di kursi.

Selama masa pandemi Covid-19 ini, kegiatan rapat sangat dibatasi. Undangan yang disebarkan disertai dengan jumlah peserta rapat yang diundang. Rata-rata hanya diperbolehkan satu orang menghadiri rapat. Bahkan seringkali undangan rapat hanya dilakukan melalui zoom meeting. Semua orang diharapkan untuk mematuhi protokol kesehatan dengan memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. Semuanya dilakukan sebagai upaya pencengahan agar virus itu tidak merajalela menulari manusia.

Kulewati Linda menuju pintu untuk keluar dari ruangan. Kulirik meja Linda, masih acak-acakan pertanda ia masih belum menyelesaikan pekerjaan yang kuberikan tadi. Aneh, pekerjaannya belum selesai, dia malah berkeras untuk menemaniku rapat. Bukannya meninggalkan pekerjaan akan menambah bebannya nanti? Bisa jadi ketika waktunya pulang nanti pekerjaannya belum terselesaikan. Ah Linda, ada-ada saja.

"Lin, pekerjaan yang tadi diselesaikan dulu. Besok pagi harus sudah ada di meja saya lho ya. Saya nggak mau tau, harus sudah selesai besok pagi." Masih sempat aku memberi perintah kepada Linda agar ia kembali menekuni pekerjaannya.

Sebagai Kepala Bidang, aku membawahi tiga Kepala Seksi, salah satunya adalah Linda. Sudah lama Linda bekerjasama denganku di bidang yang sama, tepatnya dua tahun. Sejak saat itu pula Linda selalu melakukan aksi pendekatan denganku.

Sebagai seorang laki-laki, aku cukup mengerti dengan signal yang diberikan perempuan berumur di akhir dua puluhan itu. Ia sepertinya memang mempunyai target mendapatkan suami. Mungkin karena umur di akhir dua puluhan adalah umur yang rawan bagi seorang perempuan. Rawan pertanyaan dari keluarga dan masyarakat sekitar tentang tujuan hidup berkeluarga. Jadi sangat terlihat Linda ingin mengejar target berkeluarga. Kurasa orang-orang di sekitarnya semakin sering mendesaknya. Sebagai seorang perempuan, tentu saja tidak bisa santai sepertiku yang masih melajang di umur 35 tahun. Pasti wanita dipusingkan dengan istilah kantong rahim yang ada masa kadaluarsanya. Hem....

Sebenarnya Linda adalah sosok perempuan yang cekatan dalam hal pekerjaan. Hanya saja akhir-akhir ini pekerjaannya selalu disertai dengan modus. Iya, modus untuk mendekatiku.

Tentu saja aku merasa jengah dengan tingkah lakunya. Aku ini sudah sangat cukup umur, tidak ada waktu lagi untuk menikmati romansa percintaan. Yang ada di kepalaku hanya ada putra tunggalku. Ia adalah anak semata wayangku yang membutuhkan perhatian penuh dariku. Bukan waktu yang tepat untukku mengurusi diriku sendiri. Kehadirannya sudah cukup membuatku bahagia. Tidak ada yang lain. Sudah cukup.

"Alex, mau ke mana?" Seorang pria berumur empat puluhan menahan langkahku di lobi kantor. Dari bentuk alis dan cara berjalannya, aku mengenali lelaki yang menghampiriku ini. Berbulan-bulan kami terbiasa mengenakan masker, mau tidak mau kami harus lebih tajam mengenali orang melalui bentuk mata dan alis serta postur tubuh, agar tidak keliru menyapa orang. Keadaan ini memaksaku lebih cermat mengamati orang lain. Ia adalah Pak Doni, rekanku satu kantor. Aku biasa memanggil Mas Doni karena ia adalah seniorku sejak masa kuliah dulu. Kebetulan sejak mulai bekerja di sini, ia berada di kantor yang sama denganku.

"Eh, Mas Doni. Mau ke Bappeda, ada rapat. Sepertinya Mas Doni kurang sehat, atau kenapa?" Aku mengamati sinar matanya yang lebih sayu, tidak seperti biasanya yang penuh semangat.

"Iya, ini mau izin pulang. Nggak enak badan saya. Dari kemarin meriang." Tangan kanannya memijit pelipis. Agaknya Mas Doni benar-benar kurang sehat. Jarang sekali ia terlihat sakit karena gaya hidupnya yang cukup sehat. Olahraga teratur, tidak merokok, tidak meminum kopi dan alkohol, dan jarang keluar malam kecuali bersamaku.

"Semoga cepat sehat lagi Mas. Besok lusa mau saya ajak ke pembukaan cafenya Liza."

"Makanya Lex, cari teman hidup. Biar nggak kesepian. Jadi ada teman tetap yang ada di samping kamu ke mana pun kamu mau pergi."

"Yah sama-sama untunglah Mas, biar Mas ada kesempatan keluar rumah dan saya ada temannya. Kalau nggak saya ajak, kamu hanya bisa terkurung di rumah Mas." Ia menanggapi gurauanku dengan cengiran. Yah, aku menduganya sepertinya cengiran, karena matanya menyipit. Tentu saja tak terlihat karena dia menggunakan masker. Aku teringat istri mas Doni ini yang sangat mengekang suaminya. Tidak diperbolehkan keluar kecuali perginya denganku. Istiana, istri Mas Doni adalah temanku semasa kuliah dulu. Sehingga ia percaya kepadaku. Mungkin lebih percaya yang aku katakan dibandingkan apa yang dikatakan suaminya karena kami sudah saling mengenal sebelum Istiana mengenal Doni.

Kami terpisah di parkiran karena mobilku terparkir di bagian Utara, sedangkan mobil mas Doni di sebelah Timur.

Ketika aku membuka pintu mobil, mataku tergerak melihat sesuatu tergeletak di atas kursi penumpang, di belakang kursi kemudi. Sebuah tote bag putih yang tidak tertutup sedikit memunculkan isinya. Sepertinya kain-kain berwarna pastel dan ada motif renda-renda. Segera saja aku membungkuk untuk memeriksanya.

Astaga... demi apa? Kenapa barang seperti ini bisa ada di dalam mobilku? Sontak saja benda itu terlontar dari tanganku.

Selama semenit aku masih terduduk di kursi kemudi. Walaupun mesin mobil sudah dinyalakan, dan Ac sudah meulai mendinginkan mobil, aku masih bertahan duduk di sini dengan pikiran bertanya—tanya. Pakaian dalam siapa yang tertinggal di dalam mobilku?

Tadi pagi aku berangkat sendiri. Kemarin juga berangkat dan pulang sendiri. Pikiranku sejenak melayang ke arah Linda. Beberapa bulan terakhir ini modusnya aneh-aneh. Beberapa barang seringkali ditinggalkannya di dalam mobilku, sehingga ada saja alasannya mengambil ke rumahku di malam hari. Bukannya kegeeran, tetapi hal ini sangat sering terjadi. Sehingga wajar saja aku berpikiran yang tidak-tidak kepadanya. Padahal sebelumnya Linda adalah perempuan yang sangat teliti dan cekatan. Tidak pernah ia menginggalkan barang-barang penting yang dibawanya. Tetapi agaknya pikirannya sekarang sedang tidak wajar.

Selama beberapa menit, aku menelepon Linda, menanyakan adakah barangnya yang tertinggal di dalam mobilku. Bukannya menjawab, Linda langsung berlari tergopoh-gopoh menghampiri mobilku. Lalu dengan cepat kuangsurkan tote bag putih itu ke hadapannya.

Seketika wajahnya memerah dan melempar benda itu.

"Apa maksud Bapak? Ini bukan punya saya. Bapak sengaja ya, bikin saya malu?" Linda menghentak-hentakkan kakinya.

Aneh, sikapnya sangat tidak profesional. Malu darimana coba? Hallo... saya masih atasan kamu, Linda.

"Ya sudah, kalau bukan punya kamu, nggak perlu ngaku. Gampang kan? Tolong ambil tasnya, bawa ke sini!" Aku menarik nafas penjang meredakan emosi.

Dengan gerakan terpaksa Linda mengambil tas itu dan memberikannya kembali kepadaku. Lalu ia pergi dari hadapanku dengan wajah memerah dan kaki dihentakkan dengan kuat. Ada apa sih dengannya? Heran dengan cara pikir perempuan. Aku hanya bertanya, siapa tahu itu barang miliknya. Kalau bukan miliknya, tinggal bilang dong. Apa aku salah?

Suara panggilan telepon, mengejutkanku.

"Hallo Bi. Ada apa?"

MAS, KUTANG SAMA KANCUTKU ADA DI MOBIL MAS NGGAK?

Telingaku mau pecah mendengar semburan suaranya. Oh, jadi bukan miliknya Linda. Tapi Linda tidak perlu marah seperti itu kan?

ADIK IPARKU RASA GEBETANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang