"Soal Karina, kenapa kamu gak ngasih tau aku tentang keberadaan dia? Aku papanya, Rene. Aku berhak tau soal anakku."
Irene sontak terkekeh, menahan amarahnya yang perlahan membuncah. Dadanya terasa sesak layaknya dihimpit dua batu besar karena dia tidak mempercayai telinganya sendiri.
Bagaimana bisa Suho mempertanyakan dirinya seperti ini? Seolah-olah tidak ada terjadi apa-apa yang menyebabkan Irene melakukan hal yang Suho tuduhkan?
Hampir dua puluh tahun sudah berlalu, tetapi Arsuho Chandrajaya tetaplah seorang pria yang egois dan tidak tahu diri.
"Rene?" tangan Suho bergerak menyentuh tangan Irene yang refleks mendapat tepisan dari wanita itu.
Irene mendengus. Dia memejamkan matanya sejenak. Amarahnya sudah memuncak, tetapi Irene tidak bodoh untuk melepaskannya di sini--tidak di saat ada Karina dan Yeri yang kabarnya tidak dia ketahui. "Itu hakku sebagai orangtua Karina."
"But I'm her parent too, Rene."
"You'd lost your rights over her the moment you kicked me out of your house."
"I didn't know you were pregnant."
"Terus kenapa kalau kamu tau aku hamil, Mas?" tantang Irene. Dia menatap Suho tepat di mata. "Kamu bakal pertahanin aku sampai Karina lahir, gitu? Apa dengan kamu tau aku hamil kamu gak lagi nyalahin aku atas apa yang terjadi sama Yeri? Apa dengan kamu tau aku hamil bisa ngebuat luka aku sembuh setelah kamu bilang aku ibu yang gak bertanggung jawab?"
"Rene--"
"Karina anakku," potong Irene final. "Aku adalah mama sekaligus papanya."
Kedua alis Suho tertaut kesal. "Tapi Irene, kamu ngasih namaku di nama belakangnya karina."
Irene sontak tersenyum getir. "Jangan besar kepala, Mas Suho," ucapnya tenang. "Aku ngelakuin itu karena aku masih menghargai kamu sebagai orang yang memiliki ikatan darah dengan Karina. But you must know one thing, Mas; just because you share the same blood with her, doesn't mean you are entitled to be called as sacred as a parent. To claim yourself as one, you must involve blood, sweat, and tears in the process. But have you?"
Bungkamnya Suho sudah cukup untuk menjadi alasan Irene berdiri dari duduknya, melangkahkan kaki keluar ruangan untuk menghirup udara lepas dan meninggalkan mantan suaminya yang terpaku.
Dada Irene semakin sesak di tiap langkah yang dia ambil. Kali ini bukan hanya disebabkan amarah dan kecewa semata, tetapi juga karena rasa bersalah yang datang di tiap hipokrisi yang keluar dari bibirnya.
Berpura-pura tegar memang gampang, namun rasa sakitnya ternyata tidak sepadan.
🍒🍒🍒
"Ma--"
"Pour l'instant garde tes commentaires pour toi, ma fille." (Buat sekarang, Mama gak mau dengar apapun dari kamu, Sayang) Irene menyalakan mesin mobilnya tanpa menghiraukan Karina yang hendak berbicara. Matahari pagi tampak begitu cerah ketika mobil putih itu keluar dari tempat parkir kantor kepolisian, sangat kontras dengan suasana hati Irene yang mendung. Di satu sisi Irene bersyukur karena kedua anaknya terbukti negatif narkoba dan dibolehkan pulang, tetapi di sisi lain dia merutuki nasib buruknya hari ini.
"Mais, Maman--" (Tapi, Ma--)
"Il n'y a pas de mais, Karina." (Gak ada tapi-tapian, Karina)
Karina yang hendak kembali protes terpaksa menutup mulutnya karena Irene menatapnya dengan tajam. Gadis remaja itu akhirnya mengarahkan pandangan keluar jendela, berpura-pura tertarik dengan gedung pencakar langit yang berdiri di sisi jalan. Alhasil, perjalanan itu dilalui mereka dalam keheningan yang tidak nyaman.
Bahkan ketika sepasang ibu dan anak itu sudah berada di dalam apartemen mereka, Irene sama sekali tidak mengeluarkan suara. Wanita bertubuh mungil itu langsung menuju kamarnya tanpa memedulikan Karina yang berdiri menahan tangis di ruang tamu.
"Kak Yeri bakal ke sini lagi, kan?" pertanyaan lirih itu menghentikan tangan Irene yang hendak memutar knop pintu. "Karina minta maaf, Mama." gadis kecilnya mulai terisak. "Gara-gara Karina, Kak Yeri harus pisah lagi sama Mama. Seharusnya tadi Mama lawan papanya Kak Yeri buat gak ngebawa Kak Yeri jauh dari kita. Dia itu jahat, Mama!" suara Karina meninggi di tengah tangisnya. "Kenapa Mama ngebolehin dia nyakitin Mama sekali lagi?! Pria yang bahkan gak tau Karina ada!"
"Karina!" tubuh Irene berbalik. Hatinya terasa nyeri kala menyaksikan anak bungsunya terlihat sangat terluka. Karina itu anak yang jarang menangis bahkan kala Karina yang berumur lima tahun terjatuh dari perosotan, jadi ketika dia melihat likuid bening mengalir deras dari mata anak gadisnya, Irene jauh lebih terluka. "Don't talk shit about him!"
"Pourquoi ?! C'est la vérité, Maman !" (Kenapa?! Itu kenyataannya, Mama!)
"Karena dia papanya Karina!" tangis Irene ikut pecah. "Dia memang udah nyakitin Mama, tapi dia tetap papanya Karina ...." sekarang dadanya sungguh sesak, sesak sekali hingga Irene harus memukul dadanya pelan beberapa kali, berharap rasa sakit itu hilang. "Semuanya salah Mama, Nak. Mama yang udah bikin keluarga kita terpecah. Mama yang ngebuat Karina gak bisa merasakan kasih sayang seorang Papa. Jadi Mama mohon jangan salahin papanya Karina, ya? Mama yang salah. Mama ...."
Irene benar-benar wanita yang hipokrit.
🍒🍒🍒🍒
Harap tahan dengan drama ini, kawan. Aku sebagai penulis aja gak tau udah nulis apa hahaha, cuman sekaligus practicing my very limited french because I realised it gets rusty, I haven't been learning it since my tutor is away after all.
Kalau rajin ntar aku revisi bagian dramanya, tapi ga janji sih hahaha.
Btw kalau aku publish draft lama+alay punyaku, pairing Yeri sama anak NCT, ada yang mau ga?
Sehat-sehat ya semuanya!
--Cherish, Jeyi
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Juicy
Fiksi Penggemar[SELESAI] Suho dan Irene bercerai. Ada Yeri yang menjadi korban. Dan lahirlah Karina yang ikut menanggung beban. Juicy, a Surene fanfiction featuring Yeri & Karina © Jeybenedict, 2021