Sang surya sudah melebarkan sayapnya di ufuk timur sehingga tidak ada lagi waktu untuk duduk berleha-leha barang sedetik pun. Cicitan burung-burung kecil seolah mengejek tak kenal tempat. Setidaknya baginya.
"Ran! sarapanna?" ujar sang mama yang cerewetnya tak kenal batas.
Hehe, kidding, Ma.
"Iya, nanti aja di sekolah. Aku udah telat," jawabnya pada sang mama. Dengan tergesa-gesa, Ran menggendong tas, lalu memakai sepatu yang diambilnya dari rak. Dikejar waktu.
Seperti hari-hari lainnya, Ran yang menyandang nama kelahiran Rani Seruni itu kini telah bersiap dengan pakaian putih-abu di hari senin pagi yang cerah. Meskipun sinar mentari dan awan menyapanya riang, tapi hatinya tidak riang. Dilanda badai kecemasan. Senin pagi kali ini akan menjadi masalah kalau dirinya datang terlambat ke sekolah. Yap. Ran ulangi. Senin. Pagi. Cerah, tapi hati tidak cerah. Itu artinya..
HARI UPACARA!
"Aku berangkat," ucap Ran cepat sambil menyalami tangan sang Mama, kemudian melangkah pergi.
Ran membuka pagar dan menutupnya lagi dengan tergesa-gesa. Suara derit pagar yang menutup mengalun seram di telinga seolah membayangkan pagar sekolah sudah ditutup saat dirinya tiba. Ran melajukan kedua kakinya cepat. Jam sudah menunjukkan pukul 06. 25 di layar hpnya. Semakin cemas seiring jantungnya bertalu-talu.
Sangat terlambat! Sial, aku bangun kesiangan!
Pukul 06.45 tepat, pagar sekolah pasti sudah ditutup karena itu adalah toleransi akhir untuk jadwal masuk di sekolahnya. Lebih dari jam itu, mungkin dirinya akan berakhir berdiri di depan semua murid setelah upacara. Meninggalkan cap di wajah, juga catatan buruk dalam kehidupan sekolahnya. Saat itulah mungkin menjadi awal kesuramannya. Kemunduran si Anak Rajin. Meskipun tidak terlalu rajin-rajin amat, sih, tapi tetap saja.
Aaaaargh!
Bibit gila terdeteksi.
Bukannya sombong, dia tidak pernah datang terlambat ke sekolah sejauh ini. Seingatnya. Sekalipun datang terlambat, keberuntungan masih berpihak padanya. Ran lolos karena tidak ada petugas kesiswaan yang mencegahnya. Beruntung banget, bukan?
Bunyi tas bergesekan terdengar seiring Ran berlari. Ran hanya punya waktu 20 menit. Jarak rumah ke sekolah kurang lebih satu kilometer. Ayahnya masih tidur karena habis lembur kerja. Ran tak tega membangunkannya. Kalau bisa naik motor, sudah dia bawa kabur tuh motor. Sepuluh menitan sudah sampai dengan aman sejahtera jika naik motor. Artinya, kali ini keberuntungan meninggalkan Ran. Semoga saja angkot tidak lama mengetem. Semoga dirinya tidak terlambat. Semoga pagar sekolah belum ditutup. Kata-kata itu terus Ran ulang dalam perjalanannya bagai rapalan mantra.
Ketika pikirannya berkutat dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam perjalanan ke sekolahnya, langkah Ran perlahan melambat tatkala sampai di sebuah persimpangan gang yang biasa dia lewati sewaktu berangkat sekolah. Sekelibat rasa aneh menjalar di tubuhnya. Setelah Ran pikir tidak ada waktu untuk memikirkan perasaan anehnya itu, Ran mempercepat kembali lajunya.
Persimpangan gang ini, daerah dimana rumahnya berada. Cowok yang Ran pun tidak tahu kenapa menjadi menarik perhatiannya akhir-akhir ini setelah pertemuannya dengan ibu si cowok, yang menitipkan surat sakit anaknya pada Ran. Dan keesokannya, Ran mendapati cowok itu berangkat sekolah pada waktu yang bersamaan dengannya. Manis yang tak terduga.
***
Lautan manusia tampak bergumul seperti semut mencari sweety-nya di lapangan salah satu sekolah di Jawa Barat. SMA Java Kulon. Dalam kerumunan tersebut, seorang perempuan berjalan cepat menyelip sana-sini dengan tatapan predator yang mengunci mangsanya. Tangannya menjulur saat menangkap punggung orang yang dicari ada di depan mata. Tap. Dia akhirnya dapat meraih pundak orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ran Can't Run [Hiatus]
Fiksi RemajaKala Ran tak cukup mendapatkan kebahagiaan setitik saja, si sengsara selalu mengikuti di belakangnya. Tanpa sengsara pun dirinya sudah tertimpa saudaranya sengsara, si sial. Seperti halnya kali ini, selain Ran bertemu dengan cowok yang menarik perha...