Penantian

7 0 0
                                    

Dita POV

Hari ini adalah hari yang begitu spesial untukku. Karyaku yang berjudul "Dalam Diam Kita Bertemu" diterbitkan untuk pertama kalinya. Dan spesialnya lagi, aku punya kesempatan untuk mempromosikan bukuku di acara yang cukup besar di kota kediamanku. Acara itu banyak dihadiri orang bertalenta luar biasa. Aku yang pemula ikut diundang karna salah satu pemilik acaranya masih kerabatku dan baginya karyaku cukup mengagumkan. Dan tentunya acara itu banyak dihadiri dan diliput oleh media. Sesuatu yang menakjubkan untukku.

Satu hari sebelum acara besar ini, ayah dan bundaku begitu bersemangat membantu untuk persiapan semuanya. Mulai dari baju yang akan aku pakai dan melatihku untuk percaya diri berbicara di depan umum.

"Nanti Dita ngomongnya sambil senyum yaa nak" Ucap bunda sambil memegang pundakku.

"Ngomongnya jangan ngebut yaa sayang" Ayah menyaut saat membersihkan noda di sepatu yang menemaniku kini.

Sungguh support system yang luar biasa.

Saat aku turun dari mobil ayah, kamera sudah berkeliaran dimana-mana. Aneh sekali rasanya. Seorang introvert yang "dipaksa" menerima kerumunan demi salah satu cita-cita terbesarnya.

Sejujurnya keramaian ini bukan suguhan untukku, hanya saja aku bisa mencicipi ini semua karena menjadi bagian di dalamnya.

"Assalamualaikum, Dita" Suara khas yang terdengar tak nyaring di telingaku saat berjalan menuju pintu masuk acara tersebut.

Sebelum aku sempat menoleh ke arah suara, manusia si pemilik suara lembut itu sudah berada tepat di sampingku.

Ketika menatap siapa manusia itu, rasanya aku ingin menangis dan bersorak pada dunia betapa bahagianya aku diizinkan kembali bertemu dengan sosok yang selalu aku rindu.

Dimas Praditya. Laki-laki yang sejujurnya tak pernah pergi dan terus aku doakan hingga detik ini agar semua kebahagiaan bersedia memeluknya.

"Waalaikumussalam" Balasku berusaha tenang dan tidak menampakkan kebahagiaan apapun dari diriku.

"Kamu masih inget aku ga, Dit? Aku Dimas. Dulu satu sekolahan sama kamu di SMA Pelita Ibu. Kamu yang sahabatan sama Qiza." Dimas seperti membuka memori lamaku yang sejatinya tak pernah usang tentang dirinya.

"Iyaa masih inget kok. Aku masuk dulu ya" Kemudian aku berjalan masuk tanpa menoleh ke arah Dimas.

Sebenarnya banyak tanya yang akan aku ucapkan kepada Dimas, namun hadirnya dia saat ini tidak di waktu yang tepat. Ada acara yang telah aku nantikan sejak dulu sedang menungguku.

Aula yang terlihat megah itu dihadiri oleh orang-orang besar di bidangnya yang detik itu membuat aku insecure. Aku terlihat tak sepadan jika duduk satu baris bersama manusia hebat itu. Namun, aku akan selalu percaya diri. Bahwa suatu hari nanti, akan ada juga anak muda yang seakan merasa insecure dengan diriku.

****

Dimas POV

Dita Khairunnisa. Sosok wanita cantik yang menyenangkan semua orang. Hatinya yang lembut penuh kasih selalu membuat orang bersyukur bertemu dengannya.

Ketika memandang Dita, aku seperti melihat diriku sendiri. Karena sifat introvert yang melekat pada diriku dan dia.

Sejak SMA, Dita memang terkenal sebagai anak rumahan tak banyak bergaul. Temannya hanya sedikit, tapi begitu setia di mataku. Dia termasuk anak yang pintar, meskipun tak selalu juara satu.

Dita adalah rasaku yang utuh untuk pertama kalinya. Dita juga rasaku yang dunia tak pernah sangka. Aku jatuh cinta sejak masih berseragam putih abu-abu. Aku mencintainya sejak saat dia masih mencintai laki-laki lain. 

Sayangnya, aku belum pernah berani untuk mengaku sampai detik ini. Karena memang belum waktunya untuk bersuara. Bagiku, jatuh cinta tak boleh main-main. Jatuh cinta harus ada jalan keluarnya, yaitu menikah.

Kini tanpa aba-aba dari Tuhan, aku kembali bisa melihat paras cantik yang bertahun-tahun hilang. Memandang Dita tersenyum bangga dengan dirinya hari ini seakan ikut mengukir lengkung di bibirku.

Aku mengetahui Dita suka menulis memang dari SMA. Aku sering melihatnya sibuk bercerita dengan pena dan kertas disaat teman-temannya yang lain heboh bercengkrama di depan kelas.

"Mba Dita terinspirasi menulis buku ini dari mana mba?" Pertanyaan rekan kerjaku kepada Dita mengusik lamunan indahku.

"Dari diri sendiri. Aku berharap cerita yang aku tulis menjadi nyata untukku" Jawab Dita dengan tersenyum manis.

"Mba Dita lagi mencintai seseorang diam-diam?" Pertanyaan ingin tahu kembali dilemparkan untuk Dita.

"Jawabannya ada di buku itu yaa mas. Terima kasih semuanya. Aku pamit pulang dulu yaa" Ucap Dita dengan ramahnya kepada aku dan semua teman berkaryaku.

Aku melihat orangtua Dita menyambut gadis kesayangannya dengan pelukan hangat. Terlihat air mata bahagia jatuh di pipi sang bunda.

Senang sekali akan hadirnya hari ini. Setelah sekian lama ingin memandangnya, kini aku leluasa menatapnya.

****

Dita POV

"Bunda bangga banget sama Dita. Akhirnya kakak bisa tampil mengagumkan di depan umum." Ucap bunda sambil memelukku erat.

"Selamat yaa nak. Semoga buku kamu banyak yang suka nanti. Ayah bahagia." Ayah turut memelukku hangat.

Tiada yang mampu menandingi bahagiaku ketika ayah dan bunda mengucap bangga karena diriku sendiri. Aku bersyukur masih diberi waktu mengukir senyum indah mereka. Semoga Tuhan akan selalu izinkan aku terus hadiahkan bahagia untuk mereka berdua.

"Makasii yaa ayah dan bunda. Dita bisa karena kalian. Dita sayang banget sama ayah bunda. Semoga Dita terus punya waktu untuk bikin ayah dan bunda bangga." Ucapku begitu terharu sambil menghapus bulir lembut di pipiku.

Salah satu mimpiku sejak dulu adalah punya buku yang bisa dibaca banyak orang. Aku ingin tulisanku menjadi teman sepinya seorang gadis remaja, aku mau kata-kataku menjadi penguat laki-laki untuk terus memuliakan wanita, dan aku berusaha agar ceritaku menjadi inspirasi untuk manusia yang telah mengenal cinta untuk tetap baik dalam menerima dan menjaga.

Ketika aku menuju perjalanan pulang, tiba-tiba aku teringat dengan Dimas yang tak terduga hadir di hari besarku ini. Dia tampak bukan spesial ada untukku, hanya saja kebetulan bertemu karena profesinya sebagai si pencari berita.

Sungguh seseorang yang selama ini aku tunggu, tapi sepertinya saat bertemu tadi aku seakan tak pernah mengharapkan kehadirannya. Kini, aku merasa menyesal.

****

Dalam Diam Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang