Bab 32

9.3K 713 41
                                    

Mobil yang dikendarai Bayu mulai memasuki kawasan perumahan yang sepi, hanya ada satu mobil sedan putih di depan mobil kami. Mobil masuk ke halaman rumah bergaya modern yang berwarna putih dan tanpa pagar, di halaman rumah itu juga Bayu berhenti dan memakirkan mobilnya.

“Jadi dari tadi itu mobil dia?” tanyaku tidak percaya.

“Kau tidak menyadarinya daritadi?” kata Bayu, melepaskan kaitan sabuk pengamannya. “Ayo keluarkan kopermu.” Ajaknya.

Bayu sudah lebih dulu keluar dari mobil, sementara aku masih memandangi mobil didepanku. Pengendaranya belum juga keluar, dan aku sendiri menunggunya. Setelah apa yang kukatakan pada Aldo, dan semua bentakannya padaku, aku jadi malas melihat wajahnya lagi. Walau sebenarnya jauh di dalamku ada rasa takut, takut dia tidak mau melihatku.

Pintu mobil disampingku terbuka, “Tidak mau turun?” tanya Bayu.

Dengan enggan aku melepaskan sabuk pengamanku dan keluar dari mobil Bayu, dan Aldo juga turun dari mobilnya bersamaan denganku. Kami bertatapan kurang dai dua detik sebelum saling mengalihkan pandangan dan aku berpura-pura sibuk membantu Bayu dengan koper-koper.

Seorang wanita paruh baya mungkin hampir tua, bertubuh kurus, dengan rambut yang sebagian hampir memutih, dia memakai daster kuning dan sendal jepit warna biru. Saat Aldo menurunkan koper-kopernya, wanita itu ikut meraih salah satu koper.

“Tidak usah.” Terdengar suara Aldo yang khas.

Wanita paruh baya itu mengangguk menyetujui lalu berjalan kearahku dan Bayu. “Saya saja yang bawa.” Katanya sambil meraih salah satu koperku. Dilihat dari dekat, wanita ini tampak terlihat lebih tua. Pipinya sudah mengendur, dan keriputnya yang banyak jadi terlihat makin jelas.

“Tidak usah.” Kataku, menepis dengan lembut wanita ini. Koper-koperku ini sangat berat, membayangkan wanita di depanku ini mengangkatnya membuatku tidak tega. Dia beralih ke Bayu dan mendapat penolakan lembut yang sama.

Wanita itu menghampiri Aldo lagi yang sedang membanting pintu bagasinya sampai tertutup. Aku mencuri dengar apa yang dikatakannya pada Aldo. “Semua ruangan sudah saya bersihkan, saya juga sudah menyiapkan dua kamar tamunya.”

“Terimakasih.” Kata Aldo sopan sambil berjalan masuk.

Aku dan Bayu mengikutinya dari belakang, masuk kedalam rumah Aldo. Aku merasakan sebuah kenangan yang kuat, kerinduanku akan tempat ini membuatku bergidik. Saat aku masih kecil, sudah tidak terhitung berapa kali aku main bahkan menginap disini. Dan tempat ini tidak berubah sedikitpun, tidak satu barangpun yang berpindah tempat dari terakhir kali aku melihatnya. Seluruh dinding rumah ini di cat warna putih, membuat kesan luas sekaligus mewah. Namun ada satu benda yang membuatku terenyuk sedih, satu figura foto besar yang menempel di dinding ruang tamunya. Di dalam foto itu ada tiga orang yang sedang tersenyum, mereka nampak bahagia. Mendiang orangtua Aldo, Om John dan Tante Lia berdiri mengapit seorang bocah pria yang kelihatannya nakal dengan setelan jas yang kelihatan dipakasakan untuk dipakai olehnya.

Om John adalah pria kebangsaan Australia sedangkan tante Lia orang Bandung. Om John adalah sahabat ayahku, karena itu aku, Bayu dan Aldo sangat dekat ketika kecil. Rasanya begitu ganjil, masuk kerumah ini tanpa sambutan hangat dari tante Lia dan Om John.

Terlalu asik dengan kenangan di pikiranku, aku jadi di tinggal oleh yang lainnya. Aldo dan Bayu sedang menaiki tangga, aku langsung menyusul mereka dengan terburu-buru. Tangga di rumah ini tanpa pegangan atau trali besi sama sekali, jadi aku harus berhati-hati menaikinya terutama saat menenteng koper besar seperti sekarang.

Bayu terlihat sedang masuk ke ruangan pertama. “Aku pilih kamar yang ini.” Teriaknya lantang.

Aku langsung  meninggalkan koperku dan berlari ke dalam ruangan yang dimasuki Bayu, melewati Aldo yang sedang berdiri di ambang pintunya. Ini adalah kamar tamu, dan seingatku ini adalah kamar tamu terluas di rumah ini. Warna kamar ini tidak berbeda dari warna ruangan lainnya, putih. Tapi yang paling bagus adalah, jendela kamar ini menghadap ke taman belakang. “Tidak bisa, aku ingin yang ini.” Pekikku tidak mau kalah.

Vagsat Academy #1: Just a Good SPY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang