Lima Puluh Tujuh

37 7 3
                                    

57.

Semakin hari Keyva merasa kehilangan dirinya sendiri. Semua luka pun ia pendam sendiri tidak tahu harus mengeluarkan keluh kesahnya pada siapa. Di luar Keyva terlihat biasa saja dan masih saja menjadi sosok yang menyebalkan kata semua orang. Tapi, dalam hatinya tidak ada yang tahu.

Keyva menghampus air mata yang terus bercucuran di pipinya dengan punggung tangan. Kepalanya kini terasa pusing akibat menangis seharian penuh ditambah belum ada satu pun makanan yang masuk ke dalam perutnya. Keyva benar-benar lupa dan kehilangan arah sendiri.

Ia kini mencoba melangkah dan berbaring di atas tempat tidur. Berusaha menenangkan diri dengan memejamkan mata dan menarik napas sebanyak-banyaknya. Masih berdengung jelas di kedua telinga Keyva rasanya. Saat sang Ayah mengakatakan.

'Ayah gak mau waktu ayah terbuang sia-sia hanya untuk mengurusi masalah abangmu itu!'

'Sudah lupakan saja abangmu itu! Anak gak berguna dan merepotkan itu gak pantas dipedulikan!'

Suara deringan ponsel yang Keyva letakkan di atas meja belajar terdengar memekak telinga. Segala pikiran carut-marut Keyva mendadak buyar.

"Halo Keyva? Lo di rumah?" tanya Hafi—dari balik telepon.

"Gua di depan rumah lo."

"Mau ngapain?" tanya Keyva.

"Gua, Denar, Mahera dan Afat mau bantuin lo. Bebasin abang lo."

Seketika jantung Keyva seperti berhenti. Keyva yang tidak percaya lantas membuka sedikit tirai kamar. Ia terkejut dengan kedatangan Hafi, Denar, Mahera dan Afat.

"Kita boleh masuk gak?"

"Woy?!" tanya Hafi gemas.

"Eh? Bo—boleh. Sebentar ya!"

Keyva turun dari tempat tidur dengan mata yang sembab. Menapaki kaki menuju tangga dengan langkah terburu-buru. Ia sangat tidak menduga jika masih ada orang yang peduli terhadap abangnya. Yang bahkan ayahnya sendiri tidak peduli dan seakan tidak menginginkan kehadiran Arhan.

Ketika membuka pintu yang langsung menghadirkan Denar, Hafi, Mahera dan Afat. Keyva mengusap kedua mata seakan tidak percaya. Memastikan pada ia sedang bermimpi atau tidak. Di saat itu air mata Keyva kembali turun tak mampu membendung rasa sedu dihatinya.

Hafi yang melihat reaksi Keyva lantas berkerut-kerut bingung begitu pun dengan ketiga cowok di belakangnya.

Kemudian Hafi perlahan mendekati Keyva. Ia memegang bahu Keyva yang mengusapnya perlahan.

"Tenang Key, kita di sini untuk bantu lo. Lo jangan merasa sendiri, ya?" Hafi tahu jika perasaan Keyva sedang tidak baik-baik saja.

***

Arhan menghentikan langkah saat melihat Mahera dan Afat bersama dengan teman dan adiknya. Tanpa sadar tangan Arhan mengepal kuat sehingga urat nadinya tercetak jelas.

"Abang!" panggilan Keyva membuat keempat cowok yang menemaninya menoleh kesumber suara.

Keyva pun lantas berdiri dari tempat duduknya. Melebur memeluk Arhan sangat erat. Arhan membalas merengkuh tubuh Keyva dan mengusap lembut pucuk kepala Keyva. Kemarahan Arhan sedikit meredam kala Keyva memeluk dirinya.

"Abang! Key seneng banget akhirnya abang bebas!" ucap Keyva dengan senyum semringah.

Arhan hanya membalas ucapan Keyva dengan senyuman. Tatapan Arhan fokus dan tidak lepas sedikit pun dari Mahera. Dalam benak Arhan mengatakan, 'Kenapa dia di sini?!'

Arhan pun melepas pelukannya dari Keyva. Ia pun tiba-tiba menarik kerah baju Mahera. Dengan tatapan sengit dan tajam.

BUGH!

Lukisan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang