•8. Lampu Malam

40 1 0
                                    


"Kak Asha memangnya darimana?" tanya Ardi sembari membersihkan luka di lutut Asha.

"Tadi habis dari warung seben ssshhh...." rintih Asha, "Pelan-pelan Di, agak pedih di bagian situ."

"Eh maaf, Kak. Soalnya nanti bisa infeksi lukanya kalau nggak di bersihin, sebentar," Ardi berlari menuju ke dalam mobilnya dan mengambil sebuah kotak putih bertuliskan P3K yang terletak di meja tengah.

Jikalau saja tadi ia tidak melamun dan tetap fokus dalam berkemudi, maka ini semua tidak akan terjadi. Apalagi sampai melukai seniornya sendiri. Malam ini benar-benar hari yang sial, dari hancurnya makan bersama di pagi minggu ini ditambah dengan kejadian yang sekarang tengah terjadi.

"Maaf ya, Kak," Ardi menempelkan sebuah plester berwarnakan kuning guna untuk menutupi luka di lutut Asha. "Beneran nih, nggak perlu dibawa ke rumah sakit."

"Iya, udah nggak begitu sakit lagi kok. Tenang aja," Asha meyakinkan Ardi yang masih resah khawatir. "Kamu lain kali hati-hati ya kalau bawa mobil, untung kamu nggak nabrak aku. Kalau nabrak kan bisa berbahaya buat aku dan kamunya sendiri,"

"Iya, hehe. Soalnya Ardi tadi lagi ngelamun," Ardi tertunduk bersalah. "Gini aja, Kak Asha aku anterin pulang ya,"

"Eh..eh.. nggak usah, nggak usah repot-repot. Aku pesen taksi online aja,"

"Udah malam kayak gini, lagipula juga sebagai permintaan maaf aku, soalnya nggak enak Ardi ke Kak Asha nya," ujar Ardi.

Asha melirik layar ponselnya yang sudah menampilkan jam setengah sepuluh. Malam juga sudah semakin kian menggelap, dengan berat hati Asha menerima tawaran Ardi karena melihat cowok itu yang meminta agar permintaannya lebih baik terkabulkan.

"Tapi nggak ngerepotin, kan?" tanya Asha sekali lagi.

"Nggak kok."

Mereka sekarang tengah menyusuri jalanan untuk mengantar Asha pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan mereka habiskan dengan obrolan yang hangat dan bernostalgia. Tentu saja, Ardi merupakan salah satu junior Asha yang satu tempat bimbel bersama Asha di Surabaya. Sudah sejak sekolah dasar mereka bersama membuat di antaranya pun sudah kenal dekat.

"Jadi, kamu pindah ke Jakarta juga ya," Asha terkekeh, "Kok nggak bilang-bilang?"

"Hehehe," Ardi tersenyum "Ini juga mendadak, kak. Karena mamah Ardi akhirnya menikah lagi dengan seseorang di sini, jadi aku mutusin untuk ikut aja buat nemenin mamah,"

"Oh ya?! Wah selamat deh kalo gitu, Aku juga udah lama nggak ketemu sama tante Rita. Lain kali boleh main kan?"

"Boleh lah, kak. Masa nggak boleh,"

Entah sudah berapa lama mereka tidak berbicara sedekat ini. Setelah Asha dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Jakarta, Ardi yang biasanya sering berbicara, belajar bersama membuatnya menjadi kesepian karena tidak ada kembali sosok kakak yang baik dan ramah seperti Asha. Ardi terkenal pintar, walaupun umurnya terbilang lebih muda satu tahun daripada Asha. Tetapi terkadang Asha justru berbalik meminta bantuan pemikiran Ardi untuk menyelesaikan suatu tugasnya yang ia rasa kesulitan.

"Jadi gimana sama keluarga barunya? Seru nggak?" Timpal Asha memecah keheningan sesaat.

"Hmm," Ardi menarik napas, "Keluargaku sama anak dari keluarga papah baru Ardi, kurang begitu akur."

Asha melirik Ardi yang masih sibuk menatapi jalanan di depannya, "loh? Kenapa?"

"Ardi juga nggak tau, sejak awak sehabis pernikahan mamah Ardi. Anak tertua dari papah kayaknya kesel banget sama aku dan mamah. Jangankan ngobrol, ngeliat satu sama lain aja dia udah keburu marah duluan. Emang apa salah Ardi dan mamah sama mereka?"

Asha termenung diam merasa tak nyaman telah menanyakan hal yang sensitif itu. "Maaf ya, Ardi. Aku nggak tau kalau..."

"Nggak apa-apa kok, kak." Ardi membalas tatapan Asha sekilas, "Ardi yang harusnya minta maaf, karena malah curhat sama kak Asha soal masalah pribadi."

"Iya hehehe, kalau kamu merasa sedih ataupun kurang senang. Cerita aja sama kakak, bakal di dengerin kok,"

"Hahaha, sejak kapan nih kak Asha jadi tempat curhatan, kayaknya udah tersuntik sama budaya anak-anak muda Jakarta ya," goda Ardi tak kuasa menahan tawanya.

"Ya curhatnya kalo yang penting-penting aja, kalau nggak perlu di ceritain ya nggak usah curhat," balas Asha berusaha menahan malunya karena sudah melontarkan kalimat yang justru membuatnya malu sendiri di hadapan Ardi.

Ardi kembali tergelak.

***

"Sekarang Kak Asha sekolah di mana?" tanya Ardi memecah keheningan sesaat.

"Di SMA Bintara,"

"Oh ya?!" Kaget Ardi, "Itu kan salah satu sekolah terbaik di Jakarta Selatan sejauh ini,"

SMA Bintara. Sekolah terelit dan terbaik yang banyak mengeluarkan siswa-siswi berprestasi bahkan sampai banyak menjuarai ajang kejuaraan. Sekolahnya tergolong berbiaya tinggi membuat pelajar-pelajar yang bersekolah di sana bukan sembarang pelajar. Biasanya sekolah ini sering dijadikan tempat sekolah favorit oleh anak-anak bergolongan mampu.

"Iya, aku juga sebenarnya sudah mengincar sekolah itu sejak pertama kali pindah ke sini." Asha mengukir senyumnya. "Dan bagusnya juga, di sana orang-orangnya ramah bahkan di sekolah itu, aku akhirnya bisa belajar arti dari kata persahabatan sesungguhnya."

Ardi menyeringai, "Wah bagus deh, Kak Asha jadi bisa bersosialisasi dengan teman-teman. Nggak pendiam seperti dulu lagi."

"Nah, sekarang Kak Asha yang mau nanya," Asha memotong pembicaraan, "Kalau kamu sekolahnya di mana? Nggak di SMA Bintara ya?"

"Hehehe," Ardi terkekeh pelan, "Aku kan masih baru kan pindah ke Jakarta, jadi masih belum begitu mengenali daerahnya. Kalau untuk bersekolah sih aku lebih memilih ke SMA Daeng. Walaupun bukan sekolah nomor satu terbaik, sekolah nomor dua juga cukup."

Ardi melirik wajah Asha, "Aku sekarang ingin lebih banyak menemani mamah, setelah selama ini aku terlalu sibuk dengan urusanku."

Asha terdiam kaku menatap Ardi yang sekarang tengah melihat ke arahnya dengan tatapan hangat namun menenangkan. Entah ada apa, namun sejak kali pertama Asha mengenal Ardi dan sering berinteraksi dengannya, selalu ada saja semacam perasaan mengganjal di dalam dirinya. Dan itu yang justru malah membuatnya bingung sendiri ketika berhadapan dengan Ardi langsung.

Tidak berlangsung lama, mobil pun terhenti tepat di depan sebuah rumah bertingkat dua dengan gerbang tinggi berwarnakan coklat. Asha yang tau dirinya sudah sampai di depan rumahnya, lekas turun dari mobil Ardi dan berpamitan dengannya.

"Makasih ya Ardi, udah mau anterin pulang," saut Asha tulus.

Ardi mengacungkan jempolnya, "Santai, makasih juga udah mau dengerin ceritaku."

"Hahaha," Asha tergelak, "Yaudah, aku masuk dulu. Kamu langsung pulang lho,"

"Siap, laksanakan." balas Ardi sembari menampilkan sikap hormat.

Asha tersenyum sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan mobil Ardi. Tak luput setibanya Asha di dalam ia seketika dihampiri oleh sesosok cowok dengan kemeja putih bersama satu orang temannya. Ardi tidak bisa mendengar percakapan di antara mereka dikarenakan terhalang oleh sebuah gerbang coklat yang tinggi menjulang di hadapannya.

~•~

Happy Read...
My Peace...
Futaa...

ALTEZZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang