Sepuluh

432 36 4
                                    

Sesungguhnya apa yang kita miliki semuanya akan hilang. Dan apa yang bernyawa semuanya akan mati.

Ini bukan pertama kalinya untuk aku dan keluarga di tinggalkan oleh orang tercinta. Dulu ayah, lalu kakek, dan sekarang nenek.

Dari setiap peristiwa kematian, kita dipaksa untuk bersabar, bersabar untuk mengikhlaskan kepergian itu.

Pagi ini Nenek kembali dikebumikan. di situlah tempat peristirahatan terakhir beliau.

"Nis, kamu sama suami kamu boleh pulang sekarang kok, Bunda masih pengen di sini dulu," ucap Bunda.

"Bun, biar Anisa temani yah!" pinta ku.

Tidak mungkin juga aku meninggalkan Bunda yang masih dalam keadaan berduka atau sedih. Aku ingin jadi anak yang bisa di andalkan ketika dirinya butuh. Karena aku tau kalau dirinya membutuhkan pundak untuk bersandar.

Bunda tersenyum, dan menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak, sayang. Kamu sekarang adalah seorang istri. Kemanapun suami kamu pergi kamu harus menemaninya."

Entah sejak kapan Ka Irham mendengar obrolan aku dan Bunda. "Biar kami temani Bunda di sini, yah Bun!" Ka Irham yang saat itu mendekat ke arah kami yang sedang duduk di atas tempat tidur Nenek.

"Nak, Bunda di sini tidak sendiri. Ada Bibi dan juga paman kamu. Biarkan Bunda di sini, sampai empat puluh hariannya Nenek. Kalian boleh ke sini sesekali jika kalian mau," ucap Bunda mencoba menjelaskan kepada aku dan Kak Irham.

"Lagi pula kamu itu harus pokus dengan wisuda kamu, terus suami kamu juga, kan?" sambungnya menatap ke arahku.

Aku pun menghela napas pasrah. "Baiklah, tapi kalau ada apa-apa Bunda harus janji sama aku, kalau Bunda akan langsung hubungi Anisa."

"Iya, sayang. Itu sudah pasti," jawab Bunda meraih sebelah tangan milikku, sedangkan tangan satunya meraih tangan milik Ka Irham.

"Nak Irham, Bunda titip Anisa yah!" pinta Bunda yang langsung Ka Irham angguki.

Di satu sisi saat kami sedang berdua dan hendak pulang, aku melihat Kak Irham seperti orang yang kelelahan dan kurang tidur. Memang semalaman dia tidak tidur sama sekali. Dia memilih untuk mengaji di depan jenazah nenek bersama Bang Fahri yang saat itu datang menyusul kami sendirian.

"Kakak yakin mau pulang dalam keadaan seperti ini?" tanyaku merasa ragu.

Dia tersenyum dan mengangguk pelan. Sebelum akhirnya menjawab. "Insya Allah, Kakak enggak kenapa-napa, De."

Meski dia bicara seperti itu, hati kecil ku merasa tak yakin dengan apa yang telah di lontarkannya. Tapi tetap saja dia meyakini ku.

"Andai saja Anisa bisa nyetir. Pasti udah gantian bawa mobilnya," ucapku.

"Gak apa-apa kok, De. Ya udah, yuk!" ucapnya mengajak masuk ke dalam mobil.

Tapi sebelumnya kami berdua berpamitan kembali dengan Bunda. Sedangkan bang Fahri ikut berpamitan juga bersama kami, karena besoknya dia harus kerja kembali.

"Kalian harus hati-hati di jalan. Ingat jangan ngebut!" pinta Bunda yang kami iyakan.

***

Sepanjang perjalanan entah kenapa pandanganku tidak bisa berpaling dari Kak Irham yang kini sedang menyetir. Berkali-kali aku melihat dirinya menguap, bahkan wajahnya saja terlihat begitu lesu.

Beda halnya denganku, meski semalam hanya tidur sebentar setidaknya aku tidak begitu ngantuk.

"Kak, apa tidak sebaiknya kita berhenti di Rest area saja. Kita makan sekalian Kakak juga bisa tidur dulu meski sebentar," usulku yang membuat dia menatap ke arahku untuk sesaat.

Ka Irham meraih sebelah tanganku dan mengecupnya.

"Sepertinya Kakak harus ikutin saran, De. Gak bisa juga kalau terus di paksakan," ucapnya yang membuat aku sedikit bernapas lega.

Akhirnya Kak irham mau juga menuruti ucapan ku.

Kurang lebih dua jam kami di Rest area. Setidaknya kondisi Kak Irham lebih baik dari sebelumnya.

Sepanjang perjalanan aku mencoba mengajak Kak Irham berbincang-bincang. Agar dia juga tidak merasa bosan atau mengantuk. Bahkan Kak Irham juga banyak bercerita tentang usahanya. Aku baru tau dengan detail bagaimana perjuangannya selama ini. Pasalnya dulu saat seminar dia hanya menyceritakan intinya saja.

Di saat sedang asik-asiknya mengobrol, ku dengar suara getar yang berasal dari ponselku.

Aku menoleh ke arah Kak Irham seakan meminta izin padanya untuk mengangkat panggilan tersebut, dan saat itu juga Kak Irham memberi isyarat untuk mengangkatnya.

Panggilan yang tak lain berasal dari sahabat ku, Neneng. Aku pun segera megangkat panggilan tersebut dan melospekernya.

"ANISA .... KANGEN!! KAMU LAMA BANGET SIH ANGKATNYA. JANGAN BILANG KALO KAMU LAGI CETAK GOL, Yah!"

Teriak Neneng yang membuat aku malu setengah mati dan memutuskan panggilannya sesegera mungkin.

"Ya ampun Neng. Malu-maluin aja," batinku menggerutu kesal.

Entah seperti apa raut wajahku saat ini. Mungkin aku tak beda jauh dengan warna kepiting yang di rebus. Bahkan aku saja tak berani menatap wajah suamiku. Membayangkannya saja aku enggan apalagi menatap Kak Irham.

Malu .... sungguh, rasanya aku malu setengah mati.

Semua Karena CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang