Tubuh Dearni mendadak kaku dan bergeming saat seseorang yang ia tunggu ternyata tidak kunjung menampakkan diri. Yang ada sekarang adalah justru orang lain dihadapannya. Orang yang selalu ia usahakan untuk menjauh.
"Kak Mahera?!" ucap Dearni. Ia memainkan kuku-kuku jari dengan sangat gugup.
"Gua mau ngomong sama lo."
"Maaf saya gak ada waktu, kak." Dearni meraih tas sling bag yang berada di atas meja. Saat hendak pergi. Lengan Dearni dihadang oleh Mahera.
"Duduk sebentar ya? Please?" Ada raut wajah sedu yang terlihat dari wajah Mahera. Membuat Dearni tak tega. Akhirnya ia pun kembali duduk dengan sikap canggung.
"Sorry, sebelumnya. Gua yang minta Davindra untuk ketemu sama lo. Sorry juga udah buat lo nunggu lama."
"Gua ke sini cuma pengen minta maaf sama lo." Mahera sejenak menatap Dearni yang saat itu tidak berani menatap balik manik matanya.
"Gua minta maaf atas semua perlakuan tidak enak gua sama lo. Gua salah dan gua bodoh. Dan gua akui itu."
"Dearni. Gua gak bisa lama-lama. Gua cuma pengen ngasih lo ini. Gua harap lo mau membacanya. Gua pamit ya?"
"Makasih udah baik sama Nadira. Makasih juga udah ada buat gua saat gua koma waktu itu. Dan mungkin kata makasih ini gak bisa ngobatin rasa sakit lo."
"Besok gua pindah rumah dan yang berarti gua pindah sekolah juga. Ini hari terakhir gua di sini. Gua mau ketemu sama lo cuma ingin minta maaf sekaligus pamit."
Mahera menarik napas sejenak saat tak ada respon sama sekali dari gadis dihadapanya."Gua pamit. Jaga diri lo baik-baik ya!"
Mahera menyodorkan sebuah surat tepat dihadapan Dearni. Cukup singkat pertemuan antara mereka. Mahera tahu bahwa gadis itu sangat membenci dirinya. Maka dari itu, Mahera memutuskan untuk mempersingkat pembicaraan di antara mereka dengan cara memberikan sebuah surat pada Dearni. Berharap ia mau membacanya.
Tepat usai Mahera beranjak dari kursi yang ia tempati. Dearni mendongakkan kepala. Meraih surat pemberian dari Mahera. Sejenak Dearni menarik napas berharap ia tidak terkejut akan isi surat itu. Perlahan Dearni pun membuka surat itu.
Karena, luka hati bisa membuat seseorang menjadi bukan dirinya sendiri. Untukmu yang pernah ku jadikan mainan. Untukmu yang hanyaku singgahi. Dan Untukmu yang hatinyaku sakiti. Maaf, mungkin hanya kata itu yang dapat ku katakan. Meskipun aku tak tahu bagaimana rasa sakit yang kamu rasakan. Bagaimana pedihnya dirimu ketika ku tinggalkan tiba-tiba. Dan bagaimana airmatamu mengalir deras ketika itu.
Bagaikan sebuah lukisan yang ditoreh seorang pelukis diatas kanvas putih. Yang awalnya putih dan bersih namun, kutorehkan luka hati padamu. Yang sekarang menjadi sebuah lukisan luka. Yang akan selalu kamu ingat. Bagaimana jahatnya aku pada dirimu.
Aku mohon maaf atas segala kesalahan yang ku lakukan. Entah ketika kamu membaca ini, kamu akan memaafkanku atau tidak.
Kamu itu lebih dari sekadar lukisan. Indah yang terpancar dari senyum manismu serta kebaikan hatimu.
-Farras Mahera Putra
Dearni menarik napas dalam. Tanpa sadar tulisan sederhana itu membuat jantungnya berdetak dengan cepat dan terasa nyeri. Namun, sebisa mungkin Dearni mencoba mengontrol kesetabilan perasaan yang sekarang sedang berkecamuk di dalam rongga dadanya itu.
Tanpa sadar air mata mengalir dari kelopak mata Dearni. Entah kenapa ia menangis tersedu-sedu selepas membaca surat dari Mahera.
'Makasih udah pernah ada di hidup gua. Meskipun tak terlalu indah.'
Davindra yang sudah menunggu di luar kafe segera melangkah untuk masuk. Ketika melihat Mahera yang sudah menyembulkan kepala dari pintu kafe.
"Gua pamit, Bro!"
***
Mahera mendekap tubuh mungil Fanessia. Ia berusaha menenangkan Fanessia yang terkejut mendengar jika cowok dihadapannya ini akan pindah. Ia mengusap bahu Fanessia."Fan, jangan nangis lagi dong. Kan kita masih bisa teleponan, video call."
"Tapi Maher, nanti gak ada lagi yang nemenin gua di rumah ini. Dan gua pasti bakal ngerasa kesepian," lirih Fanessia yang tanpa sadar air matanya kembali turun.
Mahera memegang wajah Fanessia dengan kedua tangannya. Perlahan mengusap air mata yang membasahi pipi Fanessia dengan kedua tangannya.
"Fan dengerin gua. Meskipun gua nanti gak di samping lo lagi. Lo masih bisa kontakan sama gua dan kalau pun lo ngerasa kesepian gua bakal 24 jam stand by in hp. Biar lo bisa telepon, sms ataupun Video call."
"Dan..."
Mahera mengambil sebuah barang dari jok motornya. Sebuah kotak berpita pink. Lalu, memberikan kotak itu kepada Fanessia.
"A—apa ini?" tanya Fanessia.
"Buat lo. Buka aja," jawab Mahera.
Terlihat dalam kotak itu terdapat beberapa foto polaroid mereka berdua yang disusun dalam bingkai. Ada juga sebuah buku diary yang tebalnya setebal buku pelajaran olahraga. Dan sebuah jaket hoodie merah yang selalu Mahera kenakan.
"I-ini buat gua?!" tanya Fanessia kembali.
"Iya. Foto itu sengaja gua cetak biar kalo lo kangen bisa langsung lihat gua dan kebersamaan kita."
"Kalau buku ini. Karena gua nanti mungkin ga bisa sepenuhnya ada. Gua mau kalo lo ngerasa kesepian, sedih atau bahkan bahagia. Lo nulis semua rasa itu di dalam buku ini. Anggap aja buku ini adalah gua, yang bisa menjadi pendengar lo."
"Dan yang terakhir. Jaket gua, sengaja banget gua kasih sama lo supaya lo bisa peluk jaket gua biar lo merasa ada gua yang berada di samping lo. Seperti saat ini."
Fanessia tersenyum meskipun tidak dapat dipungkiri jika keadaan hatinya masih tidak baik-baik saja. Kenapa harus pindah? Kenapa Mahera gak selamanya aja tinggal di rumah Ayah dan Bundanya?!
Mahera mengangguk kecil. Netranya kini menatap Fanessia yang terlihat menunduk memainkan tali pita pada kotak.
"Kalo gitu gua pamit, ya? Salam buat Bunda sama Om Bara."
Baru saja Mahera ingin berajak tangannya diraih oleh Fanessia. Tiba-tiba saja Fanessia memeluk tubuhnya dari belakang sangat erat seakan tidak ingin kehilangan.
"Maaf kalo gua lancang. Tapi izi kan gua untuk memeluk lo yang mungkin gak bisa gua peluk lagi."
"Makasih udah selalu ada buat gua. Makasih udah jadi sosok sahabat sekaligus abang buat gua," cetus Fanessia.
Mahera lepaskan tangan Fanessia dari pinggangnya. Ia berbalik kembali menatap Fanessia dan lantas tersenyum.
"Makasih juga udah selalu ada buat gua juga. Makasih mau menerima gua dan Nadira di keluarga lo."
"Gua gak tau kalo misalnya gua gak ketemu sama Bunda, lo dan Om Bara. Mungkin sekarang gua cuma anak jalanan yang mengais rejeki di jalanan."
"Maaf gua ngerepotin lo sekaligus bunda."
Fanessia mengelengkan kepala kuat. "Engga ... Engga lo gak ngerepotin gua ataupun Bunda maupun Ayah. Gua senang kok lo ada di sini."
"Inget ya, jangan lupain gua kalo lo udah di Jogja?!" ingat Fanessia.
Mahera tersenyum tipis. "Ya engga bakal dong!" Dengan tangan kanan mengacak rambut Fanessia.
"Minggu depan gua berangkat jam sepuluh. Anak-anak katanya mau ikut anter ke bandara. Lo kalo mau ikut bareng mereka aja ya?"
Fanessia terkekeh. "Siap bos!"
Fanessia masih dibuat tidak percaya jika Mahera akan pergi dan benar-benar tidak di sampingnya lagi. Ia pun tersenyum miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Luka
Подростковая литератураFaras Mahera Putra adalah seorang pentolan di SMA Valletta Nusantara. Dia ingin sekali menghancur hidup seorang gadis bernama Dearni. Karena dia atau lebih tepatnya orang tua dari Dearni telah membuatnya terusir dari rumahnya sendiri dan membuatnya...