Chapter 21 - Rencana

34 10 0
                                    

Dan ternyata cincin kesayanganku benar-benar berpulang. Oh tidak, dimana cincinku sekarang? Sungguh... aku semakin lupa!

Kudengar suara pintu kamarku terbuka. Ternyata Nanny yang datang.

"Bagaimana barang-barang di dalam tasmu?" tanyanya.

Sebenarnya aku sempat khawatir bagaimana reaksi orang-orang ketika melihat isi barang milikku. Maksudku barangku sangat berbeda dari yang orang lain tahu pada masa ini.

Benar, aku memang berada di masa lalu. Mesin waktu itu... ada, menurutku saja.

"Kamu yakin semua bajuku aman dijemur di dalam... kamarmu?" tanyaku balik.

Serius, Nanny meminta aku untuk menjemur semua barang basah di kamarnya sendiri. Ia menjamin tidak seorangpun bahkan kakek dia untuk berani masuk ke sana tanpa izinnya. Wow, aku sangat kagum padanya.

"Jangan khawatirkan itu." Nanny duduk di samping aku, mengamati diriku yang tengah mengemas barang yang diselamatkan. "Kamu yakin tetap tinggal disini, Sarah?"

Aku mendesah berat. "Iya, aku akan menetap disini. Bagaimanapun caranya."

"Tapi kakek masih 'tidak ramah' padamu. Kamu tidak masalah dengan itu?"

"Ya, dia orang yang sangat menyebalkan sih." Aku berani merendahkan kakek menyebalkan itu. "Maaf aku sudah bersikap buruk pada kakek itu. Atau... mungkin kau bisa bantu aku membuat rumah pohon?"

"Rumah pohon, buat apa?"

"Rumah baruku. Ya daripada dia sendiri tidak bisa hidup tenang karena diriku."

"Jangan seperti itu," ucapnya tidak senang. "Karena itu keputusanmu, aku akan bujuk kakek untuk berdamai denganmu."

"Tidak perlu, Nan. Biarkan dia menyesal sendiri ketika sadar apa yang sudah diperbuat olehnya."

"Jadi, menurut kamu disini waktu masa lampau?" Nanny mengubah topik. "Berarti... aku pernah berada di masa depan, bersamamu."

Aku diam sejenak, menghentikan aktivitas beres-beres barang. "Mungkin, aku masih terkejut akan itu tapi... banyak perubahan gaya hidup antar-tempat dimana kita berasal. Misalnya di kamar ini." Aku mengayunkan kedua tangan, menggambarkan seisi kamar yang aku tempati sekarang. "Hanya diterangi lampu lentera, dinding dan jendela dari kayu, lantai dari batu.... Berbeda sekali dengan kamar di rumahku dulu. Semuanya jauh lebih bagus dan bersih. Dan ya... ada listrik." Lalu aku menatapnya serius. "Itu salah satu perbedaan paling mencolok dari semuanya. Zaman dimana tidak banyak tempat yang mendapat pasokan listrik sudah jadi ciri khas kehidupan di masa lalu."

"Iya... listrik. Aku dan kakek bahkan sangat terkejut ketika pertama kali mengenal itu."

Ujung-ujungnya aku jadi terlalu asyik menyimak kisah Nanny dan kakeknya saat awal-awal berada di kota aku tinggal. Ketika mendaftar ke sekolah, kakek benar-benar orang tak berpendidikan—maksudku tidak kenal kehidupan di perkotaan. Semua orang yang melayani orang itu sampai "gemas" akan kelakuannya yang... maaf, kampungan. Nanny juga diam waktu itu, seolah pura-pura mengerti. Padahal dia sama saja dengan kakeknya. Beruntung sebagian besar orang lain di sana bersikap maklum karena menganggap keduanya adalah "orang kampung".

Pertama kali aku kenal Nanny, itu ketika Nanny sendiri yang bertanya padaku waktu melakukan pembayaran SPP sekaligus melunasi uang pendaftaran sekolah. Dia sempat kebingungan karena kakeknya yang sempat mengurus pendaftaran sekolahnya juga kurang mengerti cara membayar uang pendaftaran awal. Pun ia sempat protes karena uangnya tidak cukup, itu sebabnya kakeknya berutang dan sisanya Nanny yang bayar—tentu saja tetap pakai uang dari kakeknya. Aku kebetulan baik padanya karena saat itu aku tak punya teman—memang hampir tidak punya teman sejak perginya ayah maupun ibu. Sejak itu, aku sering dekat dengannya dan berteman dengan baik, meskipun kami sebenarnya beda kelas sampai waktu lulus kemarin.

Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang