MAGANTARA - 01 PERJODOHAN

1K 150 17
                                        











Sebuah perusahaan di bidang industri dan perdagangan di depannya terlihat berdiri kokoh, gedung 23 lantai itu dapat di pastikan menampung ribuan orang di dalamnya.

Gedung MGT grup juga sudah di akui sebagai gedung tertinggi di Indonesia, terletak di tengah padatnya ibukota sebagai kantor pusat dan beberapa cabang di berbagai daerah.

Tak heran jika keluarga Magantara juga di nobatkan sebagai salah satu keluarga dengan jumlah kekayaan yang mampu menyaingi keluarga para petinggi di Asia, urutan ke empat dari seluruh keluarga se-benua Asia.

"Mungkin Fans berat Pak Artama," bisik wanita muda di depannya.

Naka menatap wanita paruh baya di depannya agak gondok, dari dua puluh menit yang lalu. Dia tetap tidak di perbolehkan masuk, bahkan saat ini beberapa orang melihatnya aneh.

Rasa malu tiba-tiba saja menghantam kepala, "Tetep gak bisa, Mbak?"

"Tetap tidak bisa Bu, sebelumnya anda harus buat janji dulu dengan beliau." Ucap wanita itu penuh pengertian.

"Kalo gitu-"

Naka Menggeleng tidak setuju, sesibuk apapun orang jika dalam keadaan terdesak seperti ini harusnya Artama bisa meluangkan sedikit waktu untuk bicara dengannya.


Naka mengendus, bukan pria itu saja yang sibuk. Naka juga, bahkan saat ini Naka sedang di kejar waktu; Jam 9 nanti, dia ada meeting untuk masalah jantung kronis seorang wanita paruh baya yang juga memiliki penyakit komplikasi. Waktunya jauh lebih berharga, ini menyangkut nyawa.

"Hanya lima menit, saya mohon."

Wanita di depannya menggeleng, Naka meremat ujung jas putih yang dia bawa. Tidak ada cara lain, Naka celingak-celinguk melihat lokasi sekitar lalu tanpa ba-bi-bu berlari masuk begitu saja, mengabaikan sosok satpam dan wanita paruh baya yang mengejarnya.

Naka masuk lift, menekan tombol lantai secara asal. Naka tidak peduli jika harus mengganti kerusakan lift, sekarang yang penting dia lolos dari kejaran dua orang itu, jujur dia takut.

Sesampainya di lantai atas, Naka berlarian mencari ruangan Artama, tepat di ujung ruangan yang di tuju Naka melihat siluet sosoknya. Naka tahu hanya dalam sekali lihat di foto yang Ayahnya kirim, Naka menahan pintu yang hampir tertutup sempurna.

Tama mengernyit bingung, dia menoleh, menatap wanita di depannya dengan tatapan aneh.

"Artama Magantara?" Tanya Naka yang di angguki sosok jangkung di depannya, Naka menghela nafas lega, tangannya terulur menyerahkan bekal makanan. "Saya mohon, tolak perjodohan anda dengan saya."

Tama mengernyit bingung, tapi tak urung dia menerima kotak makan yang wanita itu sodorkan. Bukan apa, masalahnya Tama di paksa. Tak berselang lama, sekertaris dan satpam kantor ikut menghampiri.

Tama menggeleng, menyuruh keduanya untuk tidak ikut campur. Dehem. "Bisa jelaskan lebih detail, saya masih kurang paham."


Naka melirik arloji. "Saya masih ada schedule, intinya anda harus tolak perjodohan kita, saya bukan cewek baik-baik."

Naka balik badan, sedikit kaget melihat dua orang yang tadi mengejarnya sudah ada di depan mata. Dia tersenyum tak enak, tanpa sengaja sudah membuat keributan di tempat kerja orang lain.

"Maaf, Pak. Saya lalai."

Tama tidak menggubris, dia menatap punggung Naka lalu memungut nama tag yang tak sengaja jatuh; Dr. Nakayla A.

Tama memotret nama itu, lalu mengirim ke salah satu orang kepercayaannya; cari tahu tentang wanita ini.











***















Tama selesai dengan kertas di depannya. Sebenarnya masih ada sebagian lagi pekerjaan yang harus dia selesaikan hari ini, tapi akibat kejadian tadi pagi, fokusnya terpecah belah.

Perkataan Ayahnya dan kedatangan wanita tadi sukses buat pikirannya penuh, Tama menatap wajah wanita tadi dalam diam.

Hanya dalam beberapa detik, orang suruhannya dapat dengan mudah menemukan biodata lengkap sosok Nakayla Andromeda, termasuk media sosial wanita itu. Tidak main-main, bahkan latar belakang dan profesi yang di gulati.

"Tidak buruk," katanya mengangguk.

Walaupun sedikit terusik dengan rencana konyol sang Ayah, tapi entah kenapa, kali ini dia sedikit tertarik dengan sosok Nakayla. Dari sekian banyaknya wanita yang Tama temui, hanya gadis itu yang mampu menolak pesonanya secara terang-terangan.

Lagi, wanita itu bahkan memberinya suap dengan beberapa potong roti sandwich; Tama akui enak. Tapi, hal itu mencoreng harga dirinya sebagai orang dengan kasta tertinggi.

Bahkan jika mau, Tama dengan mudah dapat mengusik pekerjaan Nakayla saat ini. Tapi sayangnya Tama tidak se-kurang kerjaan itu, meninggalkan kursi yang dia duduki sekarang sama dengan membuang uang jutaan dolar.

"Gue kira lagi sibuk,"

Tama mendongak, menatap tak minat wajah layu Samuel yang tanpa sopan santun langsung duduk di depannya. Tama berdehem singkat sebagai respon, menggulir laptopnya ke beranda, bisa gawat kalau sampai Samuel tahu dia sedang stalking akun cewek.

"Ini gue lagi sibuk." Balas Tama sangsi, dia masih suka kesel sama kakaknya.

Berkat Samuel yang ingin menjadi seorang dokter, dari umur 22 tahun hingga sekarang, Tama yang harus menggantikan Samuel mengurus perusahaan.

Walaupun cita-citanya dari dulu memang ingin menjadi orang sukses seperti sang Ayah, tapi tidak semuda itu juga. Tama rasanya mau mati setiap kali harus melihat tumpukan kertas di meja, beruntung sekarang dia bisa beradaptasi.

"Udah tahu soal perjodohan kita, Ar?" tanya Samuel tanpa menatap wajah sang adik, dia sedang sibuk membalas pesan dari temannya yang mengajak makan siang bersama.

"Baru aja, kenapa? Lo mau ngelimpahin masalah perjodohan juga ke gue?"

"Masih aja sewot, gue udah minta maaf berkali-kali elah. Lagian Lo sekarang udah sukses, MGT grup udah perkembang melebihi ekspektasi gue." Samuel menggebu, dia merasa bersalah tapi juga bangga dengan sang adik.

Tama Dehem.

Samuel mendengus, "Tapi masalah perjodohan, Ar. Gue kayaknya bakal terima deh, dulu doi pernah jadi junior gue pas koas. Anaknya baik, gak neko-neko. Menurut Lo gimana? Lo gak papa?"

Tama diam. Melihat mata Samuel yang berbinar saat menceritakan tentang Nakayla, entah kenapa, sebagian dari diri Tama ingin protes. Tapi, Tama lebih memilih bungkam.

Beberapa detik ruangan yang keduanya tempati terasa hening dengan keterdiamannya, sampai dimana Artama mengangguk, kembali meraih pulpen lalu berujar.

"It's okey, lagi pula gue gak kenal dia." Kata Tama acuh, sorot matanya menatap tak minat wadah makanan yang ada di sana.
















***










MAGANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang