25 | Gamon

832 68 9
                                    

"Hidup sering kali membuat seseorang merasa menderita. Namun sebenarnya, penderitaan itu disebabkan oleh manusia itu sendiri. Seorang korban hanya mampu menahan rasa pedih sampai tangannya mengepal kuat dan melangkah mantap untuk mengakhiri segala nestapa yang memeluknya erat."



Langit malam tampak bersinar dengan adanya sang rembulan, juga gugusan bintang. Namun gemerlap itu tidak bisa menerangi hati Bagas yang tengah merasa sunyi. Lelaki berbadan tegap itu hanya bisa membisu tanpa menghiraukan pemandangan indah yang tersaji.

"Saras, kenapa lo selalu muncul di pikiran gue? Gue udah nyoba buat benci sama lo, buat ngelupain lo. Tapi semakin gue berusaha, semakin gue tersiksa," ucap Bagas seraya menatap lurus ke depan.

"Lo harus tau apa alasan gue jadian sama Gisya. Dan lo juga harus tau, kalo cuma lo satu-satunya cewek yang ada di hati gue sekarang."

Jujur, Bagas sangat membenci situasi ini. Bukan Bagas namanya jika di buat galau oleh seorang gadis. Karena biasanya para gadis lah yang merasa digantung olehnya. Sepertinya Saras benar-benar membuat Bagas gila.

"Kenapa harus gue?"

Flashback on

"Bagas, kamu harus bisa pacaran sama Gisya. Gisya itu dari dulu udah suka sama kamu," ucap Remon, ayah Bagas.

"Nggak. Bagas udah ada cewek yang Bagas suka," tolak Bagas dengan tegas.

"Cuma kamu harapan keluarga satu-satunya buat nyelametin perusahaan kita, Bagas. Perusahaan kita itu udah di ujung tanduk. Cuma Cakra yang bisa nolongin kita, dengan syarat kamu harus jadi pacar anaknya, Gisya."

"Tapi Bagas nggak suka sama Gisya, Pah. Stop jadiin Bagas sebagai alat kalian. Bagas juga punya pilihan sendiri," bantah Bagas.

"Mau nggak mau kamu harus ngelakuin itu. Atau kamu angkat kaki dari rumah ini!" bentak Remon.

Flashback off

Napas Bagas terdengar sangat berat, seperti beban hidupnya. Terkadang dia merasa bahwa hidup itu kejam, dunia tidak adil. Mengapa harus dia yang menanggung semua ini? Bahkan mereka terlalu egois untuk mengatur pasangan hidup seseorang.

"Saras, gue kangen sama kita yang dulu. Kita yang sering nongkrong bareng, ketawa bareng." Layaknya orang yang sudah putus asa, Bagas nyengir kuda. Menertawakan dirinya sendiri.

"Gue pengecut ya, Sa. Bahkan gue nggak bisa kuliah karena bokap nggak ngijinin gue jauh dari Gisya. Padahal sebelum lulus gue yang paling semangat buat kuliah bareng Aldo, Raka, sama Rio. Tapi sekarang apa? Gue jadi robot, Sa."

Di depan jendela, Bagas masih setia menatap langit. Berharap jika angin mendengar ucapannya dan menyampaikan semua isi hati Bagas kepada Saras. Berharap jika Saras akan menerima alasan yang Bagas berikan. Berharap jika Saras akan menjadi penguat dirinya dalam menghadapi tekanan hidup yang dia jalani selama ini.

Raka Call

"Weh, apa kabar Bos?"

"Ya gini."

"Gue tau, Gas. Gue cuma bisa berharap kalo lo bisa. Bisa ngelewatin itu semua. Kenapa lo nggak bilang dari awal kalo lo nggak boleh kuliah sama bokap lo? Jadinya kan kemaren gue bisa jawab pertanyaan Saras, Men."

Hijrah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang