Sebelas

404 37 4
                                    

HAPPY READING.

Aku masih memendam rasa malu, padahal Kak Irham menganggap ucapan Neneng hal yang biasa. Sampai turun dari mobilpun aku tidak berani menatap suamiku.

"De ...!" panggil Kak Irham spontan.

Aku pun menoleh ke arahnya kilat. "Iya!" jawabku menatap.

Ka Irham tersenyum dan mengulurkan tangannya. Aku bingung dengan maksud dirinya itu apa. Apa mungkin dia ingin menggandeng tangan ku karena sedari tadi jalan di belakangnya.

''Ahh ..., suamiku swett banget sih. padahal jarak dari parkiran ke pntu rumah hanya beberapa langkah saja,'' batinku. Merasa tersanjung.

Meski ragu, aku tetap membalas uluran tangannya. Tapi anehnya Kak Irham malah menaikan sebelas alisnya dan membuatku bertanya-tanya akan maksud dirinya.

''Maksud Kakak itu kunci, De ...!'' ungkapnya yang membuat aku semakin malu dan ingin tenggelam ke lautan terdalam.

"Oh, kunci. Maaf," jawabku seraya menggigit sudut bibir dan menyodorkan kunci pintu.

Untuk sesaat Ka Irham malah menghentikan tatapannya ke wajahku, entah apa yang dia perhatikan, tetap saja itu mampu membuat jantungku berdebar-debar dibuatnya.

"Kak, Ini!" seruku menyodorkan kunci yang tak kunjung di ambil olehnya.

Ka Irham seakan tersentak dengan ucapanku dan langsung mengambil kunci tersebut.

"Sepi banget rumah ini, pasti bang Fahri juga sekarang ke rumah mertuanya, untuk jemput ka Khadijah," gumamku.

"Kan ada Kakak,"jawabnya tersenyum.

"Iya, sih! Ya udah kalau gitu, Kakak Mandi dulu gih! Biar Anisa siapin minuman hangat, buat Kakak," ucapku yang langsung dia angguki. "Oh iya, Kakak laper gak?" Sambungku.

Ka Irham menggelengkan kepalanya. "Kakak enggak laper kok, De. Ya udah kalau gitu Kakak bersih-bersih dulu."

Tidak butuh waktu lama membuat teh hangat untu Kak Irham. Aku yang sudah selesai memilih meletakan minuman tersebut di atas meja kamar, karena saat itu Kak Irham belum selesai mandi.

"Sebaiknya aku mandi di kamar Bunda saja," batinku saat menyiapkan pakaian milik Ka Irham. Sesudah itu aku pun mengambil baju milikku dan pergi ke kamar Bunda.

Aku bukan tipikal orang yang betah untuk berlama-lama di dalam kamar mandi. Kalau bisa cepat, kenapa juga harus lama. Kecuali saat mendesak, seperti saat menghindari suamiku kemarin.

Aku yang sudah selesai dengan ritual mandi, pun. Segera berganti pakaian dan keluar dari kamar Bunda. Aku pikir Kak Irham sedang menungguku, ternyata dugaan ku salah. Melainkan Kak Irham sedang bermesraan dengan sebuah giling di pulau kapuk. Lihat saja bagaimana cara dia memeluk benda itu dengan begitu nyaman.

Sudahlah, mungkin dia kelelahan.

Karena tak mau ambil pusing, akhirnya akupun memilih untuk merebahkan tubuhku tepat di samping Kak Irham yang kini sedang membelakangi ku.

Aku terbangun oleh suara desahan yang asing di telingaku.
"Suara apa itu," batinku saat mulai membuka mata secara perlahan.

Mata ku terhenti pada sosok lelaki yang kini sedang tidur telentang. Dia seakan sedang bermimpi buruk saat itu, bahkan keningnya begitu berkeringat.

Namun, saat hendak membangunkannya, aku malah dikejutkan dengan suhu tubuh yang lumayan tinggi.

"Astagfirullah, Kak!" seruku sedikit kaget. "Kakak demam, aku harus gimana ini."

Aku begitu bingung harus berbuat apa saat itu, mungkin karena aku terlalu panik dan khawatir, jadi bingung untuk berbuat apa terlebih dulu. Atau mungkin aku tidak berpengalam mengurusi orang sakit.

Menghubungi Dokter adalah pilihanku saat itu. Sembari menunggu kedatangannya, aku memilih untuk menyiapkan air hangat.

Ka Irham begitu mengigil, dan itu membuat kepanikan ku semakin bertambah. Aku yang sedang mengompresi keningnya di buat semakin panik.

"Dokter udah sampai mana, yah?" tanyaku mencoba mengirim pesan.

Dengan begitu cepat notifikasi di ponsel ku muncul. "Saya sebentar lagi sampai," jawab Dokter yang membuatku sedikit lega.

Benar saja, tak lama kudengar suara bel yang di bunyikan. Aku yang menyadari kalau itu dokter, memilih bergegas membuka pintu.

"Apa masih menggigil?" tanya dokter yang langsung aku angguki.

Dokter Raisha tepatnya. Dokter sekaligus sahabat baikku saat SMA.

"Maaf, menganggu istirahatnya, padahal kamu beru pulang dari luar kota," kataku sedikit tak enak hati. "Aku tidak tau mau telepon siapa tadi. Di rumah juga gak ada siapa-siapa." Sambungku yang membuat dirinya tersenyum.

"Kaya ke siapa aja, Nis. Kita udah temenan lama. Dan maaf kemarin gak sempat datang ke acara pernikahan kamu," kata dokter Raisha.

"Di mana yang sakitnya, Nis?"

"Di kamar, ku."

Aku dan dokter Raisha pun berjalan cepat ke arah kamar. Sesampainya di kamar dokter Raisha mendekat ke arah Kak Irham. Ada keanehan yang kurasakan saat itu. Saat dokter Raisha menjatuhkan pandangannya tepat di wajah suamiku dengan waktu yang tak biasa. Bukankah tugas pertama dokter saat itu harusnya memeriksanya. Tapi kenapa dokter Raisha malah terdiam dan menatapnya tanpa memeriksa kondisi suamiku terlebih dahulu. Atau mungkin, dokter Raisha mengenalnya?






Semua Karena CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang