Keinginan

415 47 2
                                    

Setelah makan kami kembali ke ruangan sendiri-sendiri, mas Andre berkutat dengan leptopnya untuk mempersiapkan materi perkuliahan karena bulan depan sudah mulai tahun ajaran baru. Sedang aku memilih nonton tv sambil tiduran di ruang tengah. Lalu hp ku berbunyi, tanda ada wa masuk. Ternyata dari grup kampus lama. Mereka share tentang beasiswa keluar negeri, mereka asyik berdiskusi dengan teman kami yang sudah lolos tahun kemarin untuk menempuh pendidikan S2 di Selandia Baru. Aku hanya menyimak, sebenarnya tahun lalu pun aku sudah mempersiapkan diri untuk mengambil S2 di Jepang. Riset sudah beres, proposal tesis untuk diajukan ke professor yang aku pilih pun sudah, tinggal mengirim berkas ke profesornya. Namun aku urungkan karena ternyata hadiah dari Allah lebih indah dibandingkan dengan lanjut kuliah S2. Ku tatap suamiku yang masih berkutat dengan leptopnya sambil tersenyum. Sadar bahwa di awasi dari kejahuan ia pun menoleh ke arahku.

"Kenapa dek?"

"Nggak apa-apa..." senyumku berbohong. Ia menatap hape yang ada di tanganku dan menghampiriku. Hape ku diambilnya dan dibacalah ocehan teman-teman di grup. "Apa sih mas...? Adek belum selesai baca chatnya..." kataku sambil mencoba mengambil kembali hape ku.

"Adek ingin lanjut S2 kah?" aku hanya tersenyum. Mas Andre tidak pernah tahu bahwa aku memang sudah mempersiapkannya namun karena tidak jadi maka aku memilih menyembunyikannya.

"Adek dulu punya mimpi ingin seperti mas Andre, jadi dosen. Sebelum usia 30 tahun aku ingin jadi dosen seperti mas. Tapi ngajar anak-anak les kan sama saja toh?! Sama-sama ngajarnya." Ujarku.

"Ya memang sama-sama ngajarnya namun levelnya berbeda. Kalau adek ingin lanjut S2 silahkan. Mas nggak akan melarang, mas akan bantu."

"Nggak perlu mas, adek menikmati banget kondisi adek sekarang. Biar uangnya bisa di tabung untuk masa depan kita."

"Uang untuk mencari ilmu itu pasti ada dek, jangan khawatir kan itu. Lagi pula adek masih fresh, jadi jika mau start sekarang masih bisa ngikutin. Mas pasti dukung dan bantu kok. Ya?"

"Nggak mas, adek ingin jadi ibu rumah tangga saja. Lagi pula adek nggak bisa jauh-jauh dari mas, gampang kangen. Ntar malah nggak konsen sama studinya." Godaku.

"Jangan gitu lah dek... adek kuliah tinggi masa Cuma jadi pengajar les anak-anak dan ibu rumah tangga?" hmm.. kenapa nih mas Andre kok gini?

"Apa salahnya mas jadi pengajar les anak-anak? Salah adek jadi ibu rumah tangga? Mas mau adek juga nyari duit lebih banyak gitu?" aku mulai terpancing.

"Bukan gitu dek, mas Cuma ingin adek meraih mimpi adek. Bukan ingin adek kerja nyari uang banyak..."

Aku pun tersenyum simpul, "Lihat nanti aja mas, aku masih belum tahu."

"Tapi dek..."

"Sudah lanjutin kerjanya." Kataku sambil mendorong mas Andre ke mejanya.

Memang sih suami mengatakan baik-baik saja jika aku mengambil S2 namun tak semudah itu. Aku sudah tak single lagi namun seorang istri, tugas yang sungguh mulia. Aku tak mau waktu melayani suami harus terpotong karena kuliah. Mungkin bagi cewek mandiri di luar sana, aku hanya alasan. Namun bagiku sekarang, aku ingin focus ke keluarga kecilku. Aku yakin nanti kalau memang ada waktunya akan tiba juga.

"Mbak Fia?" panggil ibu. "Bisa ngomong sebentar nggak?" Aku langsung berdiri dari malasku dan mengikuti ibu. Ibu mengajakku ngobrol di kamarnya. Disitu juga ada April.

"Ada apa bu?"

"Mbak, ibu minta maaf sebelumnya. Mungkin ibu akan membebanimu setelah ini."

"Maksud ibu?"

"Ibu ingin mengajukan gugatan cerai mbak. Ibu sudah pikir masak-masak. Ibu juga sudah pensiun. Jadi ibu ingin di masa tua ibu focus ibadah." Aku melihat April menatapku.

"Yah kalau bagi ibu itu yang terbaik, ya sudah. Fia dari dulu juga berharap ibu bisa selesai sama ayah. Karena nggak ada gunanya juga mempertahankan ayah. Banyak mudharatnya."

"Ibu belum bilang kakakmu, nanti sore dia kerumah, kalian berdua bantu ibu ngomong ya."

"Menurutmu gimana tanggappannya kakak ya mbak, kak Awan kan cukup dekat dengan ayah dibanding kita berdua?"

"Aku harap sih dia legowo, karena bagaimanapun ini demi kebaikan ibu dan kita semua. Insya Allah ini yang terbaik. Ibu tinggal banyak berdoa supaya di lancarkan urusannya."

"Aamiin." Ucap ibu dan April bersamaan.

Sorenya kakakku ke rumah dan setelah ngomong panjang lebar dia hanya tertunduk lesu.

"Yah, gimanapun ayah disana juga sudah punya kelurganya sendiri, disini kita baik-baik saja tanpa ayah. Dan memang ini demi kebaikan ibu."

"Alhamdulillah, makasih ya kak. Ibu Cuma butuh kalian semua. Ibu mau hidup lebih lama supaya bisa lihat cucu-cucu tumbuh besar."

"Kamu sudah isi Fi?" Tanya kakakku.

"Isi nasi barusan." Celetukku. April tertawa.

Karena aku sekarang banyak senggang, maka aku yang membantu ibu untuk mengurus ke Pengadilan Agama. Awalnya kakak menyuruh memakai pengacara saja, namun aku sudah konsultasi dengan beberapa teman yang pengacara bahwa kalau urusan perceraian lebih baik jalan sendiri namun saat masalah harta gono gini bisa pakai pengacara jika tidak dapat titik temu. Lagi pula jika dengan pengacara biaya bisa berkali-kali lipat. Maka aku pun siap sedia untuk jalan sendiri dengan ibu ke Pengadilan Agama. Hanya butuh sabar dan tawakal supaya di lancarkan.

"Berkasnya ibu sudah lengkap semua dek?" Tanya mas Andre.

"Sudah sepertinya mas, adek tadi sudah masak, kalau sampai siang adek belum pulang dan mas Andre keduluan pulang untuk makan siang, nggak apa-apa ya mas makan sendiri?"

"Iya sayang, nggak apa-apa. Hati-hati ya, banyak istighfar, kuatin ibu." Sambil membelai kerudungku.

"Iya mas, mas juga hati-hati ya. Hanya di kampus atau rapat ke kampus lama?"

"Iya ada rapat nanti jam 10. Hmm.. dek, apa nggak lebih baik pakai taksi online aja? Mas agak khawatir kalau kamu boncengan kesana, jauh lho!"

"Nggak apa-apa mas, kalau pake mobil susah, Kantor Pengadilan Agama agak susah aksesnya."

"Kok adek tau? Memang pernah kesana? Dan kok bisa aksesnya susah?"

"Yah sebelumnya pernah di ajak ibu konsul. Tau tuh, kok bisa kantor pemerintahan posisinya di dalam pemukiman, mana nggak punya parkir." Pikirku melayang, parkir sepedah motor juga bakalan penuh kalau aku nggak berangkat sekarang.

"Ya sudah, bawa motornya hati-hati dan pelan-pelan ya! Kabarin mas terus! Okey?" aku mengangguk dan mas mencium keningku tanda berpamitan.

Setelah AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang