Dua Belas

374 33 3
                                    

Aku dan dokter Raisha pun berjalan cepat ke arah kamar. Sesampainya di kamar dokter Raisha langsung mendekat ke arah Kak Irham. Ada keanehan yang kurasakan saat itu. Saat dokter Raisha menjatuhkan pandangannya pada suamiku dengan waktu yang tak biasa. Bukankah tugas pertama dokter saat itu memeriksanya. Tapi kenapa dokter Raisha malah terdiam dan menatapnya tanpa memeriksa terlebih dulu bagimana kondisi suamiku.

"Dok!" panggilku menyentuh bagian pundaknya. Sontak saja ucapanku itu seakan memecahkan lamunannya.

"Akh, iya," jawabnya kikuk.

"Ini suami saya, Dok. Tolong di periksa," pintaku yang langsung dia angguki.

Meski begitu, tetap saja aku merasakan gelagat yang aneh pada dokter Raisha.

"Apa Raisha mengenal ka Irham?" batinku bertanya-tanya. "Tapi sikapnya Raisha memperlihatkan kalau dia seakan mengenal suamiku. Apa sebaiknya aku tanyakan saja padanya. Tapi ..., ah sudahlah. Sebaiknya aku tidak usah menanyakan itu pada Raisha." Aku yang terus saja menggumam dalam hati.

"Nis, ini cuma demam biasa. Kayaknya sumi kamu kelelahan dan kurang tidur. Aku sudah bawakan beberapa obat untuk meredakan nyeri dan menurunkan demamnya. Untuk kekurangannya kamu bisa tebus di apotek." Dokter Raisha menjelaskan dengan detail.

"Makasih banyak yah, dok."

"Ya ampun, Nis. Aku harus berapa kali bilang sama kamu. Kita itu teman, jangan panggil aku dengan sebutan itu terus. Panggil aku Raisha, oke!" pinta Raisha.

Aku pun tersenyum dan mengangguk. "Iya, Bu dokter. Eh maksud aku, iya Raisha."

"Yasudah, kalau begitu aku pulang dulu, Nis," ucapnya yang ku jawab anggukan.

"Biar aku antar!"

"Ga usah, Nis. Sebaiknya kamu jagain suaminya, entar kenapa-kenapa lagi," sarkasnya yang membuat aku tersenyum miring.

Aku memilih membuat sup kepiting untuk makan malam Ka Irham setelah kepulangan Raisha. Tapi entah kenapa pikiranku masih teralih pada sorot mata Raisya saat menatap Kak Irham tadi. Seperti ada sesuatu yang akan tidak tau.

"Astagfirullah. Resepnya obatnya belum aku beli!"

Aku yang sedikit panik bingung harus berbuat apa, di satu aku juga harus membangunkan Kak Irham, dan menyuruhnya makan. Tidak mungkin juga aku meninggalkan Kak Irham seorang diri dalam.keadaan sakit. Mengingat di rumah juga tidak ada siapa-siapa.

"Apa sebaiknya aku telepon Neneng aja, yah? Buat minta bantuan sama dia," gumamku yang entah kenapa malah kepikiran sahabat terkonyolku.

Aku yang tak mau buang-buang waktu memilih untuk segera menghubungi Neneng. Tidak butuh waktu lama untuk dia mengangkat panggilan tersebut.

"Assalamualaikum, Neng!"

"Iya, waalaikum'salam pengantin baru. Gak biasanya dikau telepon daku. Apa ada yang bisa Neneng bantu," sarkasnya yang membuat aku meringis geli saat mendengarnya.

Aku pun menghela napas berat. "Iya, Neng. Aku mau minta bantuan kamu," ucapku ragu.

"Siap, laksanakan. Neng Anisa mau minta tolong apa sama Neneng!"

"Beliin aku obat yah! Resepnya aku fotoin nanti. Yah, neng. please ....!" ucapku merajuk.

"Kamu sakit? Sakit apa? Kok bisa? Tuh kan ..., pasti karena keseringan olah raga malam, yah!" ucapnya yang membuat dirinya tak berhenti bertanya.

"Bukan, Neng. Gak gitu juga."

"Terus apa? Ah giliran enak-enaknya gak inget aku. Giliran sakitnya aja inget sama aku. Sahabat macam apa coba itu," ucap Neneng yang membuat aku menggaruk kepala.

"Astagfirullah, Neng! Udah akh aku tutup teleponnya, tar resepnya aku kirim!" Seruku.
"Anisa ...., aku belum selesai ngomongnya!"

"Dah Neneng ....! Assalamualaikum."

Aku yang langsung menutup panggilan Neneng. Aku bisa tebak, pasti saat ini dia sedang menggerutu kesal.

Salah sendiri kenapa juga tak berhenti bicara. Tapi setidaknya aku di buat bersyukur dan bahagia karena memiliki sahabat seperti dia. Meski terkadang ucapannya itu tidak terkendali.

Semua Karena CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang