TOMORROW
"Ayah jika nanti aku sudah besar aku ingin jadi seperti ayah, seorang jenderal angkatan darat," ucap seorang anak sambil mengenakan topi jendral milik ayahnya, mereka sedang bersantai di teras rumah.
"Maka kau harus segara tumbuh besar dan belajar yang rajin supaya bisa seperti ayah," ujar seorang remaja laki-laki yang berumur sekitar tujuh belas tahun yang tiba-tiba datang dan ikut dalam pembicaraan.
"Iya dong kak, nanti aku akan menjadi seperti ayah yang kuat dan hebat"
"Tentu nak, dan jika kau tewas di medan perang maka dirimu akan menjadi salah satu bintang dilangit, juga bisa menjadi panutan banyak orang," ucap sang ayah sembari membetulkan posisi topi di kepala anaknya
Begitulah sekiranya impian seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun itu, mimpi yang begitu tinggi dan mulia di usia yang masih belia.
Tian Pradana putra, nama si anak yang bermimpi untuk mengikuti jejak sang ayah untuk menjadi seorang yang mengabdi kepada negara dan menjaga perdamaian.
Lalu sang kakak bernama Sanji Pradana Wijayanto, remaja yang berusia sepuluh tahun lebih tua dari adiknya, ia sudah lulus sekolah menengah atas dan akan melanjutkan kuliah di jurusan kedokteran.
Kehidupannya berjalan lancar seperti pada umumnya keluarga yang harmonis teman-teman yang baik, semuanya berjalan lancar selama beberapa tahun hingga sang anak pemimpi tersebut berusia tujuh belas tahun dan ia akan merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas bersama dengan keluarganya seperti tahun-tahun sebelumnya. Ia hanya sedang menunggu kepulangan sang ayah dari tugas nya, ia sangat tak sabar menunggu ayahnya pulang sampai-sampai terus berjalan bolak-balik di depan pintu rumah, yang akhirnya membuat sang kakak jengah dan berakhir menegurnya.
"Ian, berhentilah berjalan seperti itu. Kau terlihat seperti setrikaan berjalan bolak-balik" tegur kakaknya yang disertai candaan di akhir perkataannya
"Kak, kenapa ayah lama sekali ya? Harusnya ayah sudah pulang satu jam yang lalu. saat ayah pulang nanti aku akan memberitahunya bahwa aku daftar di akademi militer"
"Tenanglah lagipula di luar sedang hujan, mungkin ayah terkena macet atau sebagainya, bersabarlah daripada kamu mondar-mandir gak jelas di sini lebih baik bantu ibu di dapur menyiapkan semuanya ayo" ajak sang kakak, karena ia agak sedikit jengah melihat tingkah sang adik yang berjalan kesana-kemari
"Euhm...baiklah ayo kak, kita bantu ibu agar cepat selesai."
Pada akhirnya kedua kakak beradik itu membantu sang ibu menyiapkan pesta ulang tahun kecil-kecilan di dapur.
"Bu... kenapa ayah lama sekali? Ini sudah lewat dua jam dari yang seharusnya"
Sang ibu yang ikut merasa cemas pun melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore, tak bisa dipungkiri ia pun mulai khawatir pada suaminya yang tak kunjung pulang.
"Bersabar sebentar lagi Ian, mungkin ayahmu sedang membeli hadiah untukmu" ucap sang kakak berusaha menenangkan sang adik.
Tian tetap bersabar menunggu kepulangan ayahnya hingga beberapa menit kemudian ibunya mendapat telepon dari Seseorang.
"Apa itu dari ayah?" tanya Tian tak sabaran.
"Sebentar ibu angkat lebih dulu" sang ibu pun berdiri dan mengangkat telepon tersebut.
"Iya, Hallo selamat sore"
"Apa benar ini dengan ibu Mira?" Tanya seseorang di seberang telpon
"Iya saya sendiri, kenapa yah?"
"Saya hanya ingin mengabarkan bahwa suami anda tewas saat sedang menjalankan tugas, kami akan segera mengantarkan jenazah beliau secepatnya"
KAMU SEDANG MEMBACA
TOMORROW
Short Story"jadi apa kita nanti?" Semua kita yang menentukan nya sendiri, semua keputusan ada di tangan kita.