Aku melirik jam tanganku sekali lagi. 15 menit berdiri di bawah terik matahari, pinggiran Sudirman, mana sambil bawa boks berisi barang-barang. Gerah banget, dan aku mulai gak nyaman pakai sepatu tinggi, jadi tiap detiknya berasa banget.
Mobil Inyo menepi di depanku, ia membuka pintu dan keluar dengan ekspresi kesal yang kentara.
"Kamu disuruh tunggu di dalem aja kenapa siiiih masih bandel, ya ampuuun!" Ia mengambil boks dari tanganku, membuka pintu dan bergerak ke bagasi."Kamu lama sih."
"Macet, Nda. Masuk." Ia mendorongku lembut ke dalam mobil.
Aku duduk dan membiarkan Inyo menutup pintu, dan udara dingin membuatku menggigil seketika."Dingin gak?" Ia masuk dan menarik jaket dari jok belakang, menyampirkannya di pundakku.
"Terimakasih, Inyo." Aku berkata sambil membuka masker.
"Serius, Nda, aku gak suka kamu pakai sepatu setinggi itu, bawa barang sebanyak tadi, dan berdiri di pinggir jalan." Ia mulai ngomel, "Kamu tuh hamil udah 6 bulan. Sadar diri dong..."
"Ya, besok-besok udah gak bakalan lagi kok." Aku menjawab, mengulurkan tangan untuk ambil gelasnya Inyo...
"Enggak! Kamu ini aja." Ia menepis tanganku dari es kopinya sebelum memberikan botol berisi air.
"Aku mau itu."
"No caffeine."
"Nyo, ini anak kamu yang mau. Aku gak suka kopi sama sekali. But I'm craving coffee everyday like crazy."Inyo menyerah dan akhirnya memegangi gelas. Aku cuma dikasih 2 detik doang untuk nyedot isi ice coffee. Pelit.
"So. Are you excited?" Ia bertanya, mengusap perutku.
"Kamu nanya aku atau..." Aku mengerutkan kening.
"Kamu jawab juga boleh."
Ih. Nyebelin."Aku udah tau banget sih mukanya bakalan mirip kamu."
Hari ini, aku dan Inyo mau USG 4D di salah satu klinik yang antreannya tuh lamaaaaa banget. Soalnya, dia murah dan beneran cuma nerima beberapa orang doang per hari supaya gak bikin kerumunan. Jadi gak pake antre-antre dan nunggu ramean, harus datang tepat waktu langsung masuk. Penting banget di masa pandemi. Kami beruntung karena yang punya, temannya Tante Inyo jadi pas 24 minggu bisa cek."Hear that, baby? We're going to see your face for the first time!" Inyo berkata super excited. Kebiasaan baru, kalau ngobrolnya dengan nada gumush-gumush-ututayang-zheyeng, itu lagi bicara ke bayi. Kalau normal, ke aku. Kebayang kan, sedetik dia nanya aku dengan datar seperti biasa...lalu ujug-ujug bicara manis-manis sama perut? Nah. Itulah. Nyebelin awalnya karena aku refleks jawab, tapi sekarang udah paham.
"Gimana kantor?"
"Yah, gitu deh. Virtual farewell sama yang WFH." Sejujurnya, gak terlalu gimana-gimana juga, sih. Gara-gara trimester pertama yang menantang (muntah melulu, sering flek, anxiety, gampang stress dan moody banget) aku udah gak pengen kerja lagi sebetulnya. Jadilah aku WFH full sampai akhirnya minta resign dan dikabulkan segera sama kantor. Mereka kayaknya lega aku berhenti deh, lagi pandemi begini kannnn... Hari ini aku ambil sisa barang di kantor, dan tau-tau diajakin farewell videocall sama orang-orang."Sedih gak?" Inyo mengusap rambutku.
"Enggak, kok."
"Aku beliin kamu makan siang, kalau udah laper..." Ia menunjuk jok belakang, bikin aku menoleh dan melihat kotak-kotaknya Armeals yang segera kuambil penuh suka cita. Pas dibuka isinyaaaa...tumis daun pepaya, tempe tepung dan ayam woku!Pas lagi gak bisa dan gak pengen makan apa-apa, Inyo bawain Armeals yang enak dan rumahan banget ini, daaaan...keterusan deh aku. Awalnya Inyo agak sedih karena anaknya lebih suka makanan lelaki lain (yep, it's a guy who cooks all these foods!) tapi lama-lama dia ketagihan juga. Sekarang kalau males makan udah tinggal Armeals. Cocok banget sama menu-menunya yang Indonesia dan porsi mantapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tujuh Belas Tahun
RomanceNda dan Inyo, sudah berada di tepi jurang perceraian. Pernikahan keduanya, membosankan dan sangat melelahkan. Saat keduanya harus liburan di tengah-tengah pandemi, beberapa rahasia dan kisah masa lalu muncul, membuat Nda dan Inyo memikirkan ulang se...