15

2.2K 142 0
                                    

Silakan mampir di cerita baruku, oh iya mau ingetin kalau cerita ini juga ada di KBM APP sudah bab 22.

Username : aniswiji

Atau kalian bisa mampir di Karyakarsa link ada di bio.

Selamat Membaca

Sesuai kesepakatan kemarin, kami berlibur di salah satu resort tidak jauh dari rumah. Resort yang menampilkan pemandangan hijaunya pegunungan. Tadi anak-anak bermain dengan Ayahnya, jadi aku memilih untuk me time. Aku menatap pemandangan yang tersuguh dihadapan ini dengan menyesap teh hangat, anganku kembali ke beberapa tahun yang lalu dimana aku masih single dengan kesibukan sebagai mahasiswa.

Saat itu aku sedang mengikuti kajian dengan tema keikhlasan. Tema yang cukup banyak diambil untuk didiskusikan. Disana ada bintang tamu dimana hidupnya penuh dengan cobaan, dia bercerita bahwa apa yang dilaluinya tidak pernah ia harapkan tetapi ia harus menerimanya. Yaitu pengangkatan rahim setelah melahirkan anak pertama.

Terpuruk itu pasti, bahkan pikiran dia seperti mengatakan bahwa ia sebagai wanita tidak beguna disaat anaknya membutuhkannya karena ia harus berjuang di rumah sakit. Pikiran-pikiran buruk itu hilir mudik menghias pikirannya hingga ia sadar bahwa ada hikmah yang diberikan Allah yaitu ia masih diberikan waktu untuk hidup bersama anaknya dan suami. Saat itu, ia menangis. Menangisi kebodohannya kenapa ia bisa abai dengan semua ini. Hingga mereka sama-sama menangis, menangis bahagia di balik luka. Mereka sadar bahwa apa yang dimiliki di dunia itu hanya titipan, dan saat pemiliknya meminta kembali maka kita harus melepas dengan keikhlasan. Hati yang rela dengan menekankan bahwa kita hanya hamba yang lemah.

Aku juga berpikir tentang pernikahan ini, apalagi setelah pertemuan dengan mantan istri Pak Rian. Ditambah kedekatan anak-anak dengannya. Dilihat bagaimanapun pasti pikiran negatif itu akan datang.

"Ada apa?" Lamunanku terbuyarkan saat suara Pak Rian datang dari belakang. Aku menoleh dan tersenyum, "tidak, hanya mengingat peristiwa beberapa tahun lalu."

"Apa?"

"Dulu aku pernah ikut seminar tentang ikhlas dan aku mengingatnya sekarang Mas." Wajah Pak Rian menatapku penuh tanya. "Maksud kamu apa?"

"Mas, sekarang aku bahagia memiliki kamu, anak-anak, rasanya duniaku lengkap. Tapi semua ini hanya titipan Allah, aku tidak tahu ini akan berjalan berapa lama."

"Jangan bilang kamu mau meninggalkan Mas?"

Kepalaku menggeleng, "tidak, aku hanya ingin berjaga-jaga. Apalagi sekarang ada Mamanya anak-anak, semua itu bisa saja terjadi."

Pak Rian merengkuh tubuhku dari belakang, "saya tidak akan pergi kemanapun. Saya dan dia sudah selesai beberapa tahun lalu itu yang harus kamu percaya." Katanya dengan kepalanya di atas pundakku.

"Kenapa kamu tanya seperti itu?" Lanjutnya.

"Aku hanya ingat, bahwa posisiku disini hanya ibu sambung jadi aku bisa pergi kapan saja."

"Saya tidak mengizinkanmu pergi. Kamu tetap istri saya, ibu anak-anak saya. Apa kamu tidak percaya dengan saya?"

Aku memutar tubuhku menghadap ke tubuh Pak Rian. Menatap tepat di wajahnya, "kan aku berjaga-jaga Mas, aku akan pergi jika Mas menyuruhku pergi kelak."

Tangan besarnya meraup wajahku, mendaratkan kecupan di dahi. "Tidak akan Mas lakukan itu. Meskipun usia hubungan kita masih terbilang hari tapi Mas bisa merasakan ketenangan jika berada di dekat kamu. Anak-anak juga begitu. Jadi jangan banyak berpikir negatif."

"Iya, maaf ya. Gara-gara aku, kita jadi melow." Pak Rian mencubit hidungku, "wajar buat kamu berpikir seperti itu apalagi beberapa hari ini kita bertemu dengan Mamanya anak-anak."

"Iya, maaf ya Mas." Pak Rian mendekapku kembali dengan mendaratkan kecupan di seluruh wajahku. "Jangan kaya gini Mas, nanti dilihat anak-anak."

"Mereka sudah tidur." Memang setelah malam pertama kami, sedikit sikap dingin Pak Rian berubah lebih hangat.

***

"Ayah! Bagun!" Ucap Qian saat membangunkan Ayahnya. Bocah itu sudah berdiri disamping Ayahnya dengan menggoyangkan lengan besar Ayahnya.

"Hmm, apa?"

"Ayo berenang. Quin sudah bawa baju renang." Quin menduduki tubuh Ayahnya yang tengkurap.

"Iya nanti, Ayah masih ngantuk." Tubuh Quin kian kencang menduduki tubuh Ayahnya. Aku yang tidak tega mendekati mereka, mengangkat tubuh Quin. "Jangan kaya gitu Quin, Ayah nanti sakit."

"Lah Ayah nggak mau bangun Bun." Mulut Quin mengerucut dengan kedua tangannya dilipat di depan dada.

"Yasudah Quin dan Qian ganti baju dulu, Bunda juga mau ganti buat berenang. Kita bertiga saja." Aku menurunkan Quin, dan dengan senyum cerah mereka berlari menuju kamarnya. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkah mereka.

Aku bergegas mengambil baju yang sudah aku siapkan untuk berenang. Mengenakannya dan melihat pantulan di cermin, ternyata tubuhku juga tidak kalah dengan Mamanya anak-anak. Meskipun ada rasa rendah hati. "Mau kemana?"

"Berenang." Jawabku dengan berjalan meninggalkan kamar tidur. Sebelum tubuhku sempurna keluar teriakan Pak Rian menggema. "Nanti saja susul."

Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar kembar, dimana mereka sudah berganti dengan baju renang. "Ayo Bunda!"

Tangan kiri dan kananku berkaitan dengan tangan mungil kembar. Kami berjalan menuju kolam renang yang berada di belakang resort. Disana sudah disiapkan dua pelampung khusus kembar.

"Ayo sini Bunda bantu pakaikan." Aku menatap gemas dua bocah ini saat mengenakan pelampung.

"Ayo kita turun." Belum juga kataku selesai, mereka sudah menceburkan tubuhnya ke dalam kolam. Teriakan dan senyum mereka menghiasi kolam renang ini.

"Qian jangan! Mata Quin perih."

"Namanya main air ya gitu."

Aku menggelengkan kepala atas apa yang mereka lakukan. Aku bergerak berenang dari pojok ke pojok. Rasanya sungguh menajubkan, mungkin karena aku sudah lama tidak berenang apalagi disini airnya menggunakan air gunung jadi lebih segar.

"Bun! Quin nakal!" Pekikan suara Qian yang membuatku harus berhenti. Aku menatap mereka berdua yang sedang berperang air dengan menyemprotkan air ke wajah masing-masing.

"Quin dulu Bun." Bukannya mereka berhenti tetapi tangannya masih sibuk. Hingga suara Pak Rian menyapa, "kalian mau berenang atau berantem?"

"Qian dulu Ayah!"

"Sudah jangan saling tuduh, ayo kita berenang lagi." Ujarnya dengan menceburkan tubuhnya yang tidak menggunakan pakaian dan hanya celana renang saja yang melindungi bagian bawah.

Pak Rian dengan sigap berenang kesana kemari, mengelilingi kolam ini. Bahkam ia mengajak kembar berenang dengan benar. Aku memilih untuk memperhatikan kedekatan mereka, "Bun ayo turun lagi!"

"Tidak Bunda sudah capek, kalian saja."

"Ayo Ayah juga sudah disini." Ujar Qian tanpa henti mengajakku untuk bergabung dengan mereka. Aku yang tidak enak karena ditatap Pak Rian akhirnya menyetujui apa yang mereka inginkan.

"Qian sama Ayah, Quin sama Bunda. Ayo kita main."

Tbc

Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang