Bab 9

16.9K 1.6K 41
                                    

Setelah semalaman merenung aku sampai pada kesimpulan oke aku tidak boleh begini. Awalnya aku berpikir Mas Krisna sungguh keterlaluan bercanda seperti itu. Menurutku tidak seharusnya dia mengatakan hal yang sangat sensitif  kepadaku. Bukannya aku kebaperan. Bukan. Aku hanya merasa statusku sebagai janda terusik. Aku sangat menghindari status baruku itu dilecehkan.

Di masyarakat status janda masih sering dibuat lelucon. Sekalipun janda karena ditinggal mati suami. Masyarakat seakan masa bodoh dan menganggap mereka orang yang kesepian, haus belaian, butuh perlindungan dari para lelaki. Hal inilah yang membuatku selalu bersikap hati-hati agar tidak ada orang yang menganggapku begitu.

Makanya aku kaget ketika Mas Krisna berbicara seperti kemarin sore. Harga diriku terusik. Kalau itu hanya lelucon sungguh terlalu karena hal yang paling tabu bagiku dibuatnya lelucon. Namun, kalau bukan lelucon berarti serius itu lebih menyakitkan lagi. Seakan-akan aku ini adalah janda kesepian yang perlu hiburan. Dipandang dari sudut manapun omongan Mas Krisna menyakiti hatiku.

Hal itu yang membuatku merasa berada di titik nol kembali. Susah payah aku bangkit dari keterpurukan setelah ditinggal Mas Juna. Baru bisa ikhlas dan menerima takdir itu setelah seratus hari kepergiannya. Kemarin sore aku seperti kembali ke titik awal lagi. Merasa ditinggalkan. Merasa dibiarkan sendiri berjuang untuk hidup bersama anakku. Merasa kepergian Mas Juna adalah akhir dari kebahagiaanku. Betul-betul menyedihkan. Aku terpaksa harus mengasihani diriku sendiri.

Setelah salat tahajud tadi aku berpikir lagi. Berharap otakku bisa jernih sehingga bisa netral dalam mengambil sikap. Kesimpulannya adalah aku memaafkan Mas Krisna. Mungkin dia tidak bermaksud membuat lelucon yang tidak lucu. Mungkin dia juga kebingungan jawaban apa yang akan diberikan kepada Er karena Er selalu bertanya tidak ada habisnya.

Namun, andaikan itu bukan lelucon tetapi serius bagaimana? Apa aku juga akan memaafkannya? Kalau itu serius maka alasan apa aku bisa memaafkannya. Karena  sesuai teoriku kalau dia serius maka itu sangat menyedihkan. Berarti dia menganggap aku adalah janda kesepian. Aarrggh, aku pusing. Tetapi sejahat itukah dia? Setega itukah dia padaku? Sepertinya tidak mungkin. Dia terlalu baik. Baik sekali. Jadi mengapa dia bisa bilang begitu? Mungkin aku harus menanyakannya langsung mengapa dia membuat jawaban yang melukai harga diriku ketika ditanya Er.

*****

Aku menghidupkan kembali ponselku yang sejak kemarin sore aku matikan. Ada sepuluh kali Mas Krisna menghubungiku malam-malam. Mungkin setelah Er tidur dia bermaksud mengklarifikasi sikapnya yang membuatku marah. Ada juga chat dari grup bidangku. Pak Reno dan Pak Indra masih membahas masalah naik ranjang. Astaga. Apa tidak ada gosip lainnya lagi yang bisa digosok semakin sip selain membahas tentang aku? Aku kan bukan selebritis yang layak diberitakan. Dasar bapak-bapak kurang kerjaan.

Setelah mandi dan merasa segar aku keluar kamar langsung menuju meja makan. Melihat Mbak Sumi memasak apa untuk sarapanku pagi ini. Kubuka tudung saji. Hmm, nasi goreng dengan telor ceplok lengkap dengan kubis dan timun kesukaanku. Masih panas. Baunya yang harum membuat cacing-cacing di perutku berteriak-teriak meminta jatah untuk diberi makan.

"Ibu mau dibuatkan teh sekarang?" tanya Mbak Sumi dari arah belakang. Mungkin dia baru memasukkan pakaian kotor di mesin cuci di belakang.

"Aku ingin kopi aja, Mbak," jawabku sambil memulai menyendokkan nasi goreng ke mulutku. Karena harus makan dengan tangan kiri aku harus ekstra konsentrasi agar nasi bisa kusendok dengan baik dan masuk sempurna ke dalam mulut.

"Kopi hitam aja, Bu? Lebih sehat kata Pak Krisna. Beliau sampe nyetok kopi sendiri lho di sini. Habis Ibu sukanya kopi sachet."

"Ya udah kopi hitam aja. Awas kalau enggak enak ya!"

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang