“Oppa masih belum keluar dari kamarnya?” tanya Jeon Somi. Ia mengaduk-aduk sup di hadapannya, seolah kehilangan selera atas hidangan menu sarapan paginya.
“Belum. Aku sudah menyuruh pelayan untuk mengantarkan sarapan tuan muda kedalam kamar,” sahut pelayan paruh baya yang kini berdiri di samping Somi.
Somi menghembuskan nafasnya, lalu membanting sendoknya dengan cukup keras ke atas meja. Beberapa pelayan yang ada di ruang makan itu tersentak kaget dengan suara nyaring tadi. Beberapa bahkan sempat mengelus dada dan komat-kamit tak jelas.
Somi bangkit dan segera menuju kamar sang kakak yang sudah 3 hari ini mengurung diri di kamar. Saat sampai di depan kamar Jungkook, Somi menarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tangannya mulai mengetuk pintu, berharap sang penghuni kamar berminat keluar.
“Oppa …,” panggil Somi dengan lembut. Ia menempelkan telinganya semakin dekat kedaun pintu berwarna coklat itu, mencoba mendengarkan apa yang terjadi di dalam.
Pintu terbuka, menampakkan sosok Jungkook yang terlihat lusuh dan kacau balau. Somi dengan raut wajah kaget segera menjauhkan tubuhnya selangkah dari sana, cukup kaget saat sang penghuni kamar membukakan pintu untuknya.
Jungkook berjalan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Somi dan pintu yang ia buka lebar. Somi segera masuk dan duduk di pinggir ranjang. Matanya menatap iba kearah Jungkook yang tengah memainkan game di komputernya.
“Oppa,” panggil Somi pelan. Suara game yang cukup kuat membuat suaranya tak kedengaran. Atau mungkin lebih tepatnya Jungkook yang tak berminat meladeni adiknya saat ini.
“Oppa,” panggil Somi lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras.
“Hmm.”
“Jangan seperti ini. Oppa benar-benar seperti orang yang kehilangan semangat hidup. Apakah gadis itu sebegitu berharganya sampai Oppa jadi seperti ini? Ayolah, ada 7 milyar manusia di dunia ini. Oppa bisa menemukan seseorang yang lebih baik darinya,” ucap Somi dengan berapi-api. Melihat kakaknya seperti orang gila benar-benar membuatnya kesal sekaligus sedih. Ia tak tahu harus melakukan apa saat kakak yang ia kenal super ceria dan kadang menyebalkan berubah menjadi pendiam layaknya patung yang diberikan nyawa. Patah hati yang dialami Jungkook benar-benar parah sehingga Somi takut itu akan berpengaruh ke psikisnya.
“Oppa,” rengek Somi saat ia sekali lagi diabaikan oleh Jungkook. Pria itu masih sibuk dengan gamenya. Ia tampak lincah membantai habis-habisan musuh virtualnya, seolah sedang menyalurkan kekesalan dunia nyatanya kepada game dunia maya.
“Oppa bilang tak akan menyerah untuk mendapatkannya. Tapi lihatlah Oppa sekarang. Oppa tampak menyedihkan. Apakah Oppa tidak bisa mengalahkan calon suami gadis itu seperti Oppa mengalahkan musuh-musuh dunia maya Oppa itu?”
Tangan Jungkook berhenti bergerak saat melihat tulisan ‘You Win’ di layar komputernya. Ia memutar kursinya dan menatap Somi. “Aku sudah kalah, Somi-ya. Mereka akan segera menikah dan aku tak tahu harus melakukan apa. Dia memblokir nomorku, juga menjauhiku. Calon suaminya bahkan sempat mendatangiku dan memintaku menjauhinya secara langsung.” Jungkook tersenyum miring saat mengingat bagaimana Jimin menyambangi kediamannya hanya untuk mengembalikan kalung pemberian Jungkook. Ia juga masih ingat kata-kata Jimin yang seolah sedang merendahkan harga dirinya dan menyatakan bahwa ia sudah kalah. Pada akhirnya, Kang Saehee-nya akan menjadi milik orang lain.
“Jangan menyerah. Ini belum berakhir,” ucap Somi.
Jungkook hanya tersenyum simpul lalu mengacak rambutnya dengan kasar.
“Oppa mencintainya, kan?” tanya Somi dengan penuh penekanan.
“Sangat.”
“Kalau begitu, Oppa harusnya tidak melepaskannya tanpa perlawanan seperti ini.”
Jungkook bangkit dan segera menarik tubuh Somi keluar dari kamarnya. Tak peduli dengan keluhan dan omelan adiknya itu, dalam sekejap ia sudah mendorong tubuh Somi keluar kamar dan segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Telinganya sudah sangat panas mendengar nasehat dari adik yang bahkan belum pernah sekalipun berkencan. Ia tak mengerti dengan situasi dan perasaan Jungkook saat ini.
“Oppa!” Somi menggedor pintu dengan kuat. Kakinya menghentak ke lantai saat sang kakak tak menggubrisnya.
“Aish!” umpatnya kesal.
*
Saehee mempercepat langkah kakinya. Kelasnya baru saja bubar dan ia harusnya sudah berada di tempat pemotretan bersama Jimin siang ini. Sayang sekali, seorang dosen meminta kelas tambahan karena minggu depan ia memiliki jadwal seminar di luar kota. Saehee melihat kearah ponselnya sambil membalas pesan Jimin. Jarinya mengetik dengan cepat sambil terus melirik simbol baterai yang berwarna merah di ujung layar ponsel. Sialan! Ponselnya pasti akan segera mati.
Tepat setelah Saehee menekan tombol kirim, ponselnya padam. Hanya memunculkan nama merk ponsel dan sesaat kemudian ponselnya benar-benar mati. Saehee menggerutu kesal. Jika saja ia tak lupa untuk mengisi baterai ponselnya pagi ini, ia tak akan kena sial seperti sekarang. Untungnya Jimin sudah mengirim seseorang untuk menjemput Saehee. Ia hanya tinggal mencari orang suruhan Jimin di depan gedung kampus.
Sesampainya di depan gedung fakultas, Saehee langsung menoleh kesana kemari untuk menebak yang mana orang suruhan Jimin. Ada banyak orang yang berlalu lalang, juga orang-orang yang duduk di bangku panjang yang tersedia di depan gedung fakultasnya. Ia tak sempat bertanya perihal orang suruhan Jimin atau hal lainnya. Entah kenapa di situasi mendesak seperti ini ia harus bermain tebak-tebakan dengan orang suruhan Jimin tersebut.“Kang Saehee-ssi?”
Saehee langsung menoleh begitu mendengar namanya di panggil. Ia sedikit terkejut. Ia tak menduga bahwa orang suruhan Jimin berpenampilan seperti idol papan atas dengan pakaian bermerk dan wajah cantik blasteran seperti ini.
Saehee segera membungkuk sopan. Karisma dan aura elegan dari gadis muda itu menggetarkan Saehee dan membuatnya refleks membungkuk.
“Ikuti aku,” kata gadis itu dengan nada datar.
Saehee segera mengekori gadis itu tanpa banyak bertanya. Ia semakin terkejut begitu melihat kendaraan yang dibawa oleh gadis itu. Itu adalah mobil sport keluaran terbaru dengan harga jutaan dollar.
Wah! Bahkan orang suruhan Jimin Oppa mengendarai mobil semewah ini. Tak dipungkiri lagi, keluarga konglomerat dari Busan ini bukan main-main, batin Saehee.
Saehee segera masuk kedalam mobil dan duduk disamping kursi pengemudi. Gadis itu meletakkan tas jinjingnya yang kelihatan mahal di sampingnya dan tanpa berkata sepatah katapun, mobil yang mereka tumpangi segera meninggalkan area kampus.
“Selamat atas pernikahanmu.” Gadis itu buka suara. Ia melirik Saehee sebentar lalu kembali memfokuskan pandangan ke jalanan di hadapannya.
“Terimakasih,” ucap Saehee ragu. Tak lupa satu senyuman simpul ia sunggingkan agar suasana yang terasa canggung ini sedikit berkurang.
“Apakah kau … mencintai calon suamimu itu?”
Pertanyaan yang langsung membuat Saehee melongo dan terdiam sesaat. Itu adalah pertanyaan yang sama yang ia tanyakan pada dirinya sendiri selama ini. Apakah ia mencintai Park Jimin?
“Ke-kenapa bertanya seperti ini?” Saehee tertawa renyah dengan pertanyaan menohok itu. Ia melirik pengemudi di sampingnya sebentar. “Dia orang yang sangat baik dan tulus. Aku rasa … kami akan cocok.”
Gadis itu tersenyum miring. Ia menoleh sebentar kearah Saehee yang sedang memandang kearah jendela.
“Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Jeon Somi.”
Saehee menoleh lalu tersenyum, “Senang bertemu denganmu, Somi-ssi.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Baper! Kita Cuma MANTAN |Jeon Jungkook| [SELESAI]
FanficDalam hidup, pertemuan dan perpisahan adalah misteri yang kerap di simpan rapat oleh takdir. Perpisahan bisa saja menjadi hal yang menyakitkan, namun kadang kala pertemuan setelah perpisahan adalah hal yang lebih menyakitkan berkali-kali lipat. Hal...