Kerwin the Stoic

67 24 12
                                    

Tanah ini basah mengikuti pakaian hitam yang kukenakan, seolah Gaia juga ikut bersedih dan membawa hujan sebagai pengekspresian diri pada prosesi pemakaman ini.

Beaufort, South Carolina, 22 Mei, tahun ini. Ibuku mengalami sebuah kecelakaan fatal yang diakibatkan oleh sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi. Pria bernama Darren Smith yang merupakan sopir truk tersebut, diringkus oleh warga dalam keadaan mabuk berat. Jaksa penuntut umum menuntutnya dengan hukuman 15 tahun penjara sesuai dengan undang-undang yang ada. Setidaknya itulah yang diceritakan ayahku kepadaku. Aku sendiri tak terlalu tahu apa lagi berita tentang pria itu sekarang, aku juga tak peduli.

Tapi apa mungkin aku bisa tak peduli?

Berkali-kali bahuku ditepuk oleh orang-orang yang tak kukenal sepanjang prosesi pemakaman ibuku. Wajah mereka iba seolah memahami kehilanganku sembari memberi ucapan maaf padaku atau aku turut berduka cita. Sudahlah, aku sudah muak.

***

"Kerwin!" aku merasa namaku disebut, kuangkat perlahan kepalaku yang terasa sangat berat. Aku tertidur ditanganku sendiri saat pelajaran berlangsung. Seperti biasa.

"Kerwin Gallacher!" bentak nyonya berambut pirang itu kembali padaku, kali ini tubuhku sudah kutegakkan dengan benar meski pandanganku masih berkunang-kunang karena mengantuk.

Tak terasa waktu berlalu, sudah 60 menit aku berdiri di depan pintu kelas dengan dua ember penuh air di kedua tanganku.

Ketika bel pulang berbunyi dan teman-teman kelasku berhambur keluar bagai semut yang sarangnya tersiram air, sebuah tawa familier terdengar dari belakangku bersamaan dengan tepukan ringan di pundakku.

Aku turut berduka, kata itu dengan cepat kembali merayap ke dalam otakku hingga sontak kugerakkan pundakku seolah jijik pada gestur yang biasanya bermakna menyapa dan ramah tersebut.

"Aku tak suka pundakku ditepuk," ucapku ketus sembari meletakkan ember-ember ini di atas lantai. Tak perlu dikembalikan, sudah ada yang akan mengurusnya, bukan?

"Iya iya," ucapnya ringan menampilkan senyuman lebar sembari lanjut berjalan dengan aku mengekornya dari belakang. Anak laki-laki didepanku ini namanya Nolyn, Nolyn Davis. Aku sudah sangat lama mengenalnya, seolah-olah kami sudah saling mengenal sejak lahir. Rambut hitam panjangnya tergerai gemulai indah namun jangan salah, dia adalah tukang pukul pribadiku.

Seolah dalam mode autopilot, tak terasa diriku sudah berdiri di depan ruang klub debat. Tiga tahun sering kesini tak sekalipun aku pernah mendaftar untuk bergabung dalam klub. Aku kesini semata-mata karna Nolyn adalah anggota klub dan sekarang naik pangkat menjadi ketua klub.

Selagi mereka memulai diskusi mereka tentang berbagai topik yang akan keluar dalam kompetisi debat nasional, kutarik keluar buku yang telah kubaca dalam beberapa bulan ini, yaitu Meditasi karya Marcus Aurelius.

Oh! Filsafat!
Oh! Cinta kasihku!

Hanya itu yang dapat kukatakan mengenai jenis literasi yang satu ini. Aku menganggap jenis literasi ini lebih dari hanya bacaan rumit yang memberi sakit kepala lebih dari sebulan ketika baru memulainya. Filsafat bagiku adalah gaya hidup, seni dalam berpikir lurus dan rasional, seni menjauhkan diri dari pathe alias rasa sakit.

Ini bulan Agustus dan di South Carolina artinya temperatur akan panas, terakhir kuperiksa temperatur hari ini adalah 78° Fahrenheit dan itu benar-benar panas.

Terkutuklah kepala sekolah pelit yang menolak memberikan pendingin ruangan bagi klub ini. Terpaksa kubuka jendela ruangan demi mengharapkan angin sepoi-sepoi untuk masuk ke dalam dan mendinginkan tubuhku.

Kusipitkan mataku, sejurus dalam jarak pandangku, seorang gadis duduk di bawah pohon di area lapangan sekolah, dia tak tampak seperti adik kelasku maka kuasumsikan bahwa dia berada di tingkat yang sama denganku, namun aku tak pernah melihatnya sama sekali.

Kulitnya putih pucat seperti Kimba, rambutnya berwarna cokelat bergaya soft bangs sepunggung. Aku masih ingin memandanginya hingga suara berisik dari sisi lain ruangan memaksaku untuk mengalihkan pandanganku pada gadis itu dan menoleh ke sumber berisik.

Kimberly, Kimberly Hall. Gadis menyebalkan yang sering membuat keributan, aku tak memahami jalan pikirannya. Kurasa dia mengalami masa pertumbuhan yang sulit di rumah.

"Tim debat kalian ini payah!" katanya sambil berkacak pinggang tepat di depan pintu klub.

"Tim yang tak pernah memenangkan perlombaan apa pun sebaiknya tutup saja!" katanya lagi, hal ini menyulut emosi Nolyn yang bergerak cepat mendekatinya. Semua orang di seluruh sekolah ini tahu untuk tidak memiliki masalah dengan Nolyn, namun sepertinya Kimberly tak termasuk dalam kategori "Orang".

Nolyn berdiri di hadapannya, tubuh Nolyn yang tinggi tegap memaksa Kimberly untuk mendongak ketika melakukan kontak mata.

"Sebaiknya kau menutup mulutmu, Kim!" perintah Nolyn geram dengan wajahnya yang mulai memerah dan keringat yang bercucuran. Kimberly malah tersenyum dan tertawa.

"Hah! Astaga! Kau terdengar seperti penguasa otoriter yang sakit hati mendengar fakta bahwa sebenarnya negaranya adalah sebuah kegagalan besar," Kimberly tertawa lepas dan wajah Nolyn semakin memerah marah.

"Tapi kau juga tak perlu mengatakan hal yang merendahkan itu di sini!" bela Nolyn.

"Itukah argumen terbaik yang bisa kau beri? Tak heran kalian tak pernah memenangkan apa pun." Kimberly kembali tertawa dan karena merasa menang ia pun akhirnya meninggalkan tempat itu. Sulit untuk mengakuinya, namun aku setuju dengan Kimberly, Nolyn memang buruk dalam berdebat.

Dengan wajahnya yang masih memerah Nolyn mendekatiku dan duduk di sebelahku lalu menunduk dalam kekalahan.

"Masih saja kau terpengaruh dengan sikapnya," ucapku mencoba menenangkannya.

"Tetap saja 'kan!" balasnya berusaha membela diri.

Sulit mengambil sudut dalam kejadian ini. Kimberly memang ahli dalam hal provokasi, itulah yang memungkinkan tim debatnya memenangkan kompetisi debat nasional 2 tahun berturut-turut.

Kualihkan pandanganku kembali keluar jendela berharap gadis itu masih duduk di sana, sayangnya ia tak lagi di situ dan aku hanya membuang nafas kecewa.

***

Kubuka pintu rumahku, kosong seperti biasa, kulepas sepatuku dan meletakkannya di rak dengan rapi.

Aku singgah di dapur untuk melihat apakah ada sesuatu yang ditinggalkan untuk dapat kumakan dan benar saja, ada sebuah mangkuk kecil dengan sebuah penutup di atasnya. Didekatnya terdapat secarik kertas yang kuasumsikan ditinggalkan untukku.

Malas dengan drama keluarga, aku memilih naik ke lantai dua dan masuk ke kamarku. Kamarku berukuran sedang dan dindingnya dihiasi dengan poster-poster para pemikir yang kukagumi.

Sokrates, Plato, Aristoteles sampai Marx dan Sartre. mereka semua terpampang rapi di dinding kamarku. Buku-buku filsafat juga berjajar rapi di rak buku. aku membaca banyak buku dalam tiga bulan ini, lebih banyak dari seumur hidupku sebelum kejadian itu.

Kubaringkan tubuhku di atas kasurku, kupandangi langit-langit kamarku lekat-lekat. Tak lama, pikiranku terhanyut mengenai prosesi pemakaman yang sudah terjadi tiga bulan lalu itu.

Dimana aku saat itu? Aku tak dapat mengingatnya, apa ini suatu pertanda lain? Kenapa aku tak ingat di mana diriku berada di saat ibuku meninggal? Apakah keberadaanku relevan dengan kejadian kematian ibuku?

Pikiran-pikiran ini sering terlintas di kepalaku dan tak satu pun yang kukembangkan dengan benar dan semata-mata hanya kegiatan overthinking yang tak berarti.

Rasa sakit pada kepalaku memaksa mataku untuk tidur dan melupakan rasa hampa ini untuk sesaat dan dalam sesaat alam pikirku telah dibawa ke dunia mimpi yang indah.

Oh! Philosophy!, Oh! My Dear Love!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang