34. Masa Lalu yang Belum Usai

580 84 39
                                    

Gue beneran ke gym, lari di atas treadmill, tapi belum sampai 30 menit, Gladys nelpon kalau dia butuh uang sekarang juga.

Dia cuma mengharapkan gue.

Oke, gue paham alasan Ning cemburu ke Gladys, menganggap Gladys sebagai ancaman, tapi hati gue beneran cuma terukir nama Bening Briella Kasandra. Gladys cuma kepingan masa lalu. Gue juga nggak menemukan jawaban saat istri gue memperlakukan gue seperti laler. Iya, laler yang bisa diusir dalam sekali hempas. Atau gue terlalu tolol karena udah nurut aja? Lah nggak tau juga, tapi mengalah adalah satu-satunya jalan ninja gue untuk bertahan dalam pernikahan ini.

Sesayang itu aku sama kamu, Ning. Aku bahkan semalaman udah berusaha memaafkan kamu, walau rasanya perih banget. Kamu ratuku, sampai kapanpun aku akan memberikan yang terbaik untuk kamu.

Ada satu hal mungkin yang nggak bisa gue abaikan, adalah kehidupan Gladys. Bukan apa-apa, dulu Gladys mempunyai peran penting di hidup gue. Bahkan waktu gue sakit, dia selalu ada di samping gue, nemanin gue di bangsal sementara dia tidur di lantai yang cuma pake alas karpet santai. Dia juga nggak pernah membuat gue sakit hati. Mungkin, jika dulu kami nggak mengalami kecelakaan, mungkin sampai sekarang nggak akan ada sosok Ning di kehidupan gue. Gladys baik, gue nggak mau membalas kebaikannya dengan mengabaikan kesulitan yang sedang dia alami.

Gue buru-buru menuju rumahnya. Setiba di sana, gue melihat seorang pria bersama dua pengawal berhadapan dengan Gladys. Cewek itu langsung menggumamkan nama gue waktu melihat motor gue berhenti di depan pagar. Bibirnya yang tipis langsung tersenyum. Cute.

"Permisi, ada yang bisa saya bantu?" tanya gue kepada mereka.

"Kami dari pihak bank, ditugaskan untuk pergi ke sini untuk menagih hutang yang telah dipinjam oleh Hansel kepada bank kami senilai 50 juta dengan bunga 2% selama setahun. Kami tidak akan pernah mau menagih seperti ini jika saja Hansel berusaha untuk membayarnya, jadi—"

"Bisa saya melihat buktinya?"

Seketika mereka menyodorkan gue satu map yang isinya memang surat perjanjian dan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk meminjam uang kepada pihak bank. Mereka resmi, dan memang mobil yang mereka tumpangi untuk pergi ke sini ada logo bank juga. Gue kembali menyerahkan map itu kepada mereka.

"Apakah ada waktu sampai besok, Pak? Soalnya saya butuh konfirmasi seseorang dulu untuk mencairkan uang saya di rekening."

Dia mengangguk. "Bisa. Tapi, jika saja belum ada pembayaran, kami akan mengambil rumah ini beserta tanahnya sebagai alat pembayaran hutang-hutangnya Hansel."

Gue mengangguk. "Baik. Saya akan dengan cepat memprosesnya."

"Kalau boleh tau, atas nama siapa? Bisa kami minta nomor ponselnya?"

"Ah, boleh. Nama saya Jay." Gue merogoh ponsel di saku bomber. "Ini nomor saya."

Setelah itu, semuanya selesai. Mereka pergi, meninggalkan rumah ini sehingga gue sama Gladys bertatapan. Ada satu hal yang membuat gue sadar dari penampilan Gladys. Dia udah pake make up, dengan pakaian yang seksi juga. Shit, sepagi ini kerja jadi sales?

"Aku cuma mau minta gajiku ke sana, Jay." Gladys berusaha menjelaskan. "Lumayan, udah tiga minggu aku kerja. Kamu tenang aja, aku pasti akan nepatin janji untuk kerja di rumah kamu. Anyway, makasih ya udah mau bantu aku lagi? Suatu hari, aku pasti akan bayar semuanya."

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang