A Way to Go Home

57 5 2
                                    

Rumah, bagi dirinya yang hanya hidup sendiri tanpa keluarga ataupun teman akrab, adalah sebuah bangunan beratap yang bisa melindunginya dari hujan, badai dan terik matahari. Seringkali manusia lain melihat rumah sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar tempat berlindung. Namun baginya tidak penting, karena apapun yang terjadi ia akan selalu sendiri. Memiliki uang yang cukup, tempat berlindung dan makanan sederhana sudah lebih dari cukup baginya. Sebagian dirinya sudah terbiasa dengan kesunyian dan sebagian lainnya tidak pernah menolak hal tersebut. Ia hanyalah seorang pria sederhana yang akan menghabiskan siang harinya di ladang untuk bertani atau di sungai untuk memancing ikan, dan di malam hari ia akan duduk sendiri menatap langit seraya bergumam kecil, atau memakan ikan hasil tangkapannya di sungai.

Sama seperti hari ini, ia mengambil kail pancingnya dan mulai memancing beberapa ikan disekitar sungai ketika dirinya mendengar percakapan beberapa orang disekitarnya. Ternyata mereka membicarakan tentang kedatangan gerhana bulan total malam ini. Beberapa dari mereka terlihat begitu tertarik dan yang lainnya menanggapi dengan datar, seolah hal tersebut sudah biasa terjadi.

"Gerhana bulan ya, malam ini akan menjadi malam yang indah sepertinya" ucapnya pelan

Matahari telah tenggelam sepenuhnya dan semburat senja pun sudah menghilang. Menyisakan kegelapan malam yang dinginnya begitu menusuk tulang. Langit begitu cerah dengan bulan purnama yang sudah bertengger di singgasananya. Ikan yang sudah ia panggang perlahan masuk ke mulutnya, berikut kentang goreng sebagai teman dari ikan bakarnya. Menjelang tengah malam, sedikit bagian dari bulan mulai menjadi hitam, ternyata proses gerhana sudah dimulai. Tatapannya terpaku pada pemandangan hebat yang tersaji didepannya ketika secara tidak sengaja telinganya menangkap suara lain; suara wanita yang sedang bersenandung. Seketika bulu kuduknya merinding mendengarnya. Suara itu terdengar cukup kecil, bertanda sumber suara sedikit jauh dari tempatnya duduk saat ini. Dirinya ingin mengabaikan suara itu namun hatinya seketika penasaran dan memberontak untuk mencari tahu si pemilik suara. Berbekal sebuah lentera dan keberanian, ia mulai mencari arah sumber suara yang ternyata berasal dari padang bunga yang ada dibelakang rumahnya.

Perlahan dirinya menelusuri jalan setapak sembari melihat sekitar yang sudah menjadi lebih gelap karena bulan sudah tertutup sebagian. Suara tersebut semakin terdengar jelas dan membuatnya semakin penasaran, seakan tersihir atau terhipnotis oleh sesuatu. Kini yang ada dipikirannya hanyalah mencari pemilik suara indah itu. Hingga akhirnya ia tiba di padang bunga yang sangat luas bersamaan dengan gerhana bulan yang juga sudah mencapai puncaknya. Ia menatap langit sejenak dan melihat bulan yang kini berwarna merah. Ia menurunkan pandangan matanya dan seketika melihat sesuatu yang tidak biasa. Saat ini, ditengah padang bunga yang berada tepat dihadapannya, duduk seorang wanita yang sedang mengamati langit dengan bibir yang tersenyum tipis. Jemari tangannya menggenggam sekuntum bunga krisan.

Wanita tersebut adalah bidadari, setidaknya itulah yang ada dipikirannya. Rambut panjangnya tergerai menyentuh tanah. Jemarinya begitu lentik dan ramping. Bibir tipisnya terus bersenandung hingga sekian detik kemudian, wanita tersebut terkejut dan memalingkan pandangannya menuju sumber suara, dimana disana berdiri seorang laki-laki yang tidak sengaja menginjak ranting pohon dan menimbulkan suara yang cukup nyaring untuk suasana saat ini. Hening, dan tak ada dialog yang terjadi diatara mereka berdua. Masing-masing tatapan mereka terkunci satu sama lain. Wajahnya begitu cantik dengan dagu sempit dan kelopak mata yang bulat.

"Tenang-tenang, aku bukan orang jahat. Aku sampai disini karena mendengar suara senandungmu" Ucap pria tersebut seraya mengangkat tangan nya.

"Bagaimana bisa terdengar olehmu?" Tanya wanita tersebut.

Ya Tuhan, suaranya membuatku meleleh.

A Way To Go HomeWhere stories live. Discover now