31. Dia Sudah Tiada

45 5 9
                                    

Gamaliel mengucap salam ketika masuk ke dalam rumahnya. Setelah mengucapkan salam, dia langsung berjalan ke kamarnya dan menaruh tas kameranya di atas meja belajarnya. Sementara itu, dia langsung membanting tubuhnya ke atas kasur. Dia menghela napasnya. Menutup mata, lalu membuka dan menatap langit-langit kamarnya yang dicat putih. Memikirkan sesuatu yang menganggu benaknya semenjak perjalanan pulang.

Pikirannya dipenuhi oleh Veranda, tepatnya keraguan jika Veranda adalah Veera. Alasannya karena kejadian di rumah makan, dimana Veranda menolak makan rawon. Gamaliel masih ingat, rawon adalah makanan kesukaan Veera, jadi tak mungkin dia akan menolaknya jika Veera dan Veranda adalah orang yang sama. Di sisi lain, dia juga yakin jika Veranda adalah Veera karena dia dapat merasakan atmosfer akrab saat berada di warung makan yang merupakan langganannya dulu itu.

Entah mengapa saat memikirkan hal itu, pikiran Gamaliel menjadi kacau. Lebih kacau jika dibanding mengejar deadline tugas-tugasnya yang banyak. Akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri pemikirannya yang tidak bermanfaat dan memilih untuk menyelesaikan tugas kuliahnya yang masih belum selesai. Dia harus mengedit fotografinya dan menyelesaikan komisi yang deadline-nya tinggal dua hari lagi.

><

Air dari dalam saute pan itu meluap-luap hingga menghasilkan uap panas yang membuat Gamaliel tersentak dan langsung memasukkan mie instan yang dipegangnya. Setelah itu, dia menyetel alarm untuk mie instannya dan langsung menunggu dengan menyiapkan bumbu mie instan. Sebenarnya, hari ini ibunya sudah memasak. Hanya saja, karena hari sudah terlalu larut, dia lebih memilih memakan mie instan. Apalagi, nasi di penanak nasinya juga sudah habis. Lagipula, mana mungkin dia memakan lauk tanpa nasi.

Alarm berbunyi, tanda mie instannya sudah matang. Tanpa basa-basi, Gamaliel mematikan kompor dan menumpahkan mie instan beserta kuah rebusannya. Setelah pekerjaannya selesai, dia menaruh alat masak kotor itu di wastafel dan langsung berjalan ke meja makan sambil membawa mangkuk mie instan kuahnya.

Dia memakan mie instan rebus itu dengan kunyahan pelan, seolah tidak menikmati olahan kesukaannya itu. Wajahnya pun tertekuk dan sorot matanya berbeda seolah menunjukkan bahwa dia sedang melamun—memikirkan sesuatu.

Saat dia masih makan sambil melamun, Audrey datang ke dapur untuk mengambil air minum. Namun, saat di sana, dia tak sengaja melihat Gamaliel sedang makan mie instan. Pikiran isengnya kambuh, dan tanpa basa-basi, dia mengejutkan Gamaliel.

Namun, sayangnya Gamaliel tidak menanggapi kejutannya dan masih memakan mie instan itu tanpa nafsu. Hal itu membuat Audrey heran. Biasanya kakaknya itu memang tak acuh, tetapi dia masih terkejut dengan kejutan Audrey. Berbeda dengan saat ini, di mana dia sama sekali tidak terkejut. Dan, dia tahu, Gamaliel tidak akan terkejut saat dikejutkan saat dia memikirkan tentang Veera.

"Bang, lo lagi mikirin si Veera, ya?" tanya Audrey membuat Gamaliel tersentak. "Bang, kan gue udah bilang, lo itu harus bisa—"

"Veera masih hidup," potong Gamaliel.

Mulut Audrey menganga. Alisnya menukik tajam. "Apa? Lo bercanda kan?"

"Gue nggak bercanda, Drey."

Audrey merasakan napasnya seolah tertahan. "Mal, itu nggak mungkin! Veera itu udah nggak ada, Veera itu udah—"

"Dia masih hidup! Gue lihat pake mata kepala gue sendiri! Bahkan gue juga ngobrol sama dia, cuman dia itu—"

Audrey mengepalkan kedua tangannya. "Dia udah meninggal! Dia udah tenang di sana, Mal! Dan kalaupun ada orang yang lo sangka Veera, pasti cuma mirip doang, Mal!"

Gamaliel menggeretakkan giginya. "Dia benar-benar Veera. Dia ... dia bukan orang yang mirip sama Veera, dia Veera, dia Veera ...."

Audrey langsung menggenggam kedua bahu Gamaliel. Matanya membulat sempurna. Air mata yang ada di kedua matanya ditahan. Dia marah. Namun, di sisi lain, dia juga sedih karena melihat kondisi kakaknya yang masih belum bisa menerima kematian Veera. Dia mengerti mengapa kakaknya itu tak bisa menerimanya. Dia mengerti hal itu. Dia sangat mengerti. Hanya saja ....

"Mal ... gue tekankan sekali lagi. Veera-udah-nggak-ada!" Audrey sudah tak dapat menahan tangisnya sekarang. "Veera udah di sana, Mal! Dia udah di surga! Dan dia ingin pergi dengan tenang, Mal. Jadi, sekali aja ... tolong ... tolong banget lo relain Veera, seperti lo yang berhasil relain Papa. Ingat pesan Veera, Mal ... ingat, dia yang pernah ngomong kalau kita harus bisa ikhlasin orang yang kita sayangi saat mereka udah pergi. Please, Mal ... please ...." Isakan tangis sudah tak dapat ditahan lagi olehnya.

Namun, hal itu tetap tak membuat Gamaliel menyadarinya. Pendiriannya jika Veera masih hidup masih sangat kuat. Dan dia yakin, jika yang dikatakan Audrey itu salah, karena dia masih belum mengetahui sosok Veera yang ditemuinya. Mungkin jika dia menjelaskan tentang Veera yang ditemuinya, Audrey bisa mengerti, dan dia mungkin saja bisa mempercayainya, sama seperti dia mempercayai bahwa Veera masih hidup.

"I can't, Drey."

Jawaban Gamaliel membuat Audrey menatapnya tak percaya.

"Karena Veera itu memang benar-benar masih hidup. Dan Veera yang gue temui kali ini, bukanlah khayalan gue. Dia nyata, dan dia benar-benar Veera. Gue yakin itu."

Tanggapan yang diberikan Gamaliel membuat hati cewek itu teriris. Dia menurunkan tangannya dari kedua bahu Gamaliel. Mengusap air matanya dengan lengan.

"Kayaknya usaha gue buat jaga kewarasan lo emang bener-bener nggak guna ya?" Audrey tertawa kecut sambil memandang Gamaliel dengan sayu bercampur marah. "Tapi, apa pun yang terjadi, gue akan terus bilang ini ke lo, Mal. Veera-udah-nggak ada!"

Setelah menyerukan itu, Audrey langsung beranjak meninggalkan dapur dan melupakan tujuan awalnya datang ke sana. Dia muak. Dia marah. Namun, di sisi lain, hatinya sangat sakit ketika melihat kakaknya masih belum waras setelah kepergian Veera. Dia tahu, mungkin kakaknya itu menjadi depresi atas kepergian Veera. Apalagi kematian gadis itu hanya berjarak sebulan setelah kematian sang ayah yang sangat disayanginya.

Audrey tahu itu.

Pintu kamarnya dibuka pelan dan ditutup dengan pelan pula. Tubuhnya merosot dengan punggung bersandar di pintu. Dia menangis kencang. Dia benar-benar tak tahan melihat kakaknya yang tak waras itu. Dia benar-benar tidak bisa. Dia tak bisa terus melihat kakaknya yang makin memburuk keadaannya. Dia tak bisa terus melihat kakaknya yang tak bisa menerima kematian kekasihnya.

"Veera, maafin gue. Gue ... gue masih nggak bisa yakinin abang gue buat nerima kematian lo. Maafin gue ... maafin gue ...."

Suara isakan Audrey semakin terasa memilukan. Badannya pun makin bergetar, membuat bibir tergigit. Memandang pilu. Tak bisa apa pun selain memandang dengan perasaan yang sama. Dan memiliki harapan yang sama dengannya.

><

24 Agustus 2021

Jadi, Veranda dan Veera itu satu orang atau cuma enggak? Terus kalau Veranda bukan Veera, kenapa dia bisa ngerasa deja vu sama rumah makan langganan Gamaliel sama Veera dulu?

Mari pusing bersama walau misteri di fiksi penggemar ini ringan pake banget.

Ngomong-ngomong, saya kepengen ganti sampul ALP. Udah ada 3 kandidat, jadi, ada yang bisa milihin yang cocok?

 Udah ada 3 kandidat, jadi, ada yang bisa milihin yang cocok?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekian untuk author's note hari ini. Sampai jumpa lain waktu 🥰🥰

Ngomong-ngomong, ini perasaan saya aja apa bab kali ini terlalu menyedihkan ya?

A Lovely Princess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang