Pagi itu aku terbangun dengan sebelah pundak yang cukup sakit jika digerakkan. Mungkin karena semalaman posisi tidur ku terus menghadap ke arah suami yang terus saja memeluk. Pegal, bukan main rasanya, dan sebisa mungkin aku pun mencoba menggerak-gerakannya agar aliran darah kembali lancar dan tidak merasakan sakit terlalu lama.
Kulihat Kak Irham masih tertidur pulas saat itu. Ku coba meraba keningnya kembali, untuk memastikan demamnya sudah benar-benar turun atau belum. Entah kenapa perasaanku masih harap-harap cemas. Padahal demamnya sudah berlalu dua hari.
"Syukurlah, udah gak demam lagi. Sebaiknya aku Sholat lebih dulu, setelah itu baru bangunin Kak Irham." gumamku.
Ternyata gumaman yang aku lontarkan membuat tangan Ka Irham bereaksi dan menahan pergelangan tangan milikku.
"Kemana?" tanya Kak Irham dengan begitu manja.
Akupun menghela napas berat. "Sholat, Kak. Ini udah subuh," jawabku yang malah membuat dirinya melingkarkan tangan di bagian perutku.
Kenapa semenjak sakit, suamiku manja begini. Atau jangan-jangan lagi ada maunya.
"Kakak ..., lepasin yah!" pintaku mencoba melepaskan pelukannya.
"De ...!" Panggilnya dengan tatapan teduh.
"Apa?" jawabku pura-pura tak mengerti akan maksudnya.
"Adeknya sini makannya, geser ...!"
Aku pun menyeritkan dahi saat melihat kelakuaanya. "Gak mau, akh. Anisa mau Sholat. Kakak juga sana ih ke masjid," sindirku yang membuat dia beranjak dan langsung mengecup sebelah pipiku.
"Tungguin Kakak yah, kalau udah pulang dari masjid!" Serunya tersenyum genit dan pergi begitu saja tanpa mendengar jawaban dariku.
"Kakak belum dengar jawaban Anisa. Kalau aku mau nemuin dosen bimbingan pagi ini," ucapku bicara pada diri sendiri.
Jujur saja, sampai detik ini aku dan Kak Irham belum pernah melakukan aktifitas ranjang kami. Ada saja kendala untuk melakukannya. Tapi, dari situlah aku bisa bisa menemukan sosok lain dari suamiku, memahami dirinya, kalau dia seorang lelaki yang penyabar, dan tidak arogan.
Entah mengapa senyumku selalu dibuat merekah saat memikirkan sosoknya, sosok yang membuat pikiranku kehilangan akal.
Mungkin hari ini aku akan memberikan semuanya pada suamiku. memberikan apa yang seharusnya aku berikan dari awal kami menikah. Rasa takut itu seakan sirna setelah beberapa hari bersamanya.
****
"Ko udah rapi? De mau kemana?" tanya Kak Irham yang baru pulang dari masjid.
"Pagi ini Anisa harus nemuin dosen bimbingan, Kak. Gak apa-apa, kan?"
Ka Irham tersenyum tipis dan mendekat ke arah ku. "Yah gak apa-apa dong, De. Masa iya Kakak harus larang kamu untuk urusan pendidikan. Oh iya, biar Kakak antar yah, Kakak juga harus mampir ke Resto hari ini. Tau sendiri beberapa hari terakhir Kakak gak kesana," ucapnya yang membuat aku tersenyum lega.
Aku pikir Kak Irham akan marah saat tau aku akan pergi. Ternyata dugaanku salah. Dia begitu mengerti akan posisiku yang masih menyandang seorang mahasiswa. Betapa bersyukurnya aku saat itu. Memiliki suami yang baik serta pengertian seperti Kak Irham.
Ka Irham bergegas berganti pakaian, sedangkan aku menyiapkan teh hangat, dan roti bakar untuk sarapannya pagi ini.
Hanya butuh waktu tiga puluh tujuh menit untuk ka Irham bersiap-siap dan sarapan. Kami yang sudah merasa siap bergegas untuk berangkat.
Perjalanan ku pagi ini terasa singkat saat di lalui bersama suamiku. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang terasa begitu lama. Selain canda tawa Kak Irham, pagi ku kembali si sambut oleh teriakan sahabat terkonyolku. Dia berteriak, memanggil namaku lantang, menyuruhku untuk segera menghampirinya yang saat ini sedang berdiri depan gerbang kampus.
"Pacarnya udah nungguin noh!" Sarkas Kak Irham yang membuatku memonyongkan bibir. "Untung saja Neneng itu cewe, kalau cowok Kakak bisa cemburu tuh sama Neneng." Sambungnya.
Aku pun mendekat ke arah suamiku, meraih tangannya dan menciumnya. "Besok aku sulap si Neneng jadi cowok. Biar ada yang cemburu!" Sarkasku yang membuat dia mengulum senyum dan mengecup keningku.
"Sampai ketemu nanti, Istriku," ucapnya lembut dan ku jawab anggukan.
Bagaikan bunga yang sedang bermekaran di taman. Senyuman terasa kembang kempis dibuatnya. Ini pertama kalinya Kak Irham memanggil namaku dengan sebutan Istri.
"Sampai ketemu Nanti juga, suamiku," jawabku perlahan.
Kak Irham menyapu lembut pangkal kepala ku yang terbalut kerudung itu. Dia seakan berat untuk berpisah. Begitu juga aku yang merasa sangat bersalah.
"Istri Kakak ternyata lucu juga kalau pipinya merah gini."
Perkataan Kak Irham yang membuat aku menutup rapat kedua pipi dengan tangan.
"Apa benar pipiku merah." Batinku yang merasa malu dan salah tingkah.
"Kalau Kakak tidah sibuk, nanti biar Kakak yang jemput!" Serunya saat aku sudah ke luar dari mobil miliknya.
Akupun menganggukan ucapannya dan melambaikan tangan setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semua Karena Cinta
Romance"Ukhti Anisa kamila Khiyari. Mau kah engkau menerima khitbah ku?" ucap seorang lelaki yang saat itu jadi motivator di acara seminar. Dirinya secara tiba-tiba mengkhitbah seorang perempuan di depan banyak orang. Dalam sekejap suara bergemuruh dalam r...