prelude ▪︎

121 35 24
                                    

"Mau jenguk Khairen?"

Suara mas Jefhan membuka gerbang konversasi antara kami selepas sepuluh menit membiarkan hening melingkupi. Kami sedang berada di depan ruang inap pasien– yang namanya baru saja dieja oleh kakak sepupuku ini.

Aku masih bungkam, tak berniat— lebih tepatnya memang tak pernah bisa menjawab pertanyaan yang selalu mas Jefhan utarakan saban hari ketika aku datang kemari. Bukan apa-apa, hanya saja diriku sendiri tidak percaya bahwa faktanya aku melakukan hal itu secara berulang setiap kegiatan kampus telah selesai.

Meskipun pada penghujung konklusi aku tidak masuk ke dalam sana dan memilih berkutat dengan geming, menatap pintu ruangan hingga pandanganku memburam. Aku merasa langkahku tetap menggiring diriku untuk hadir setidaknya dua puluh menit sehari guna terisak atau sekedar melamun, memutar isi kepala.

"Kata dokter, kondisi Khairen setelah colapse i–"

"Mas..."

Arah pandangku bergeser usai sebelumnya menginterupsi mas Jefhan untuk memutus tuturannya. Mas Jefhan menatap tepat ke netraku, tampak jelas sorotannya jatuh dengan bubuhan sebuah iba di sana. Ahhh aku sangat membenci tatapannya.

"...aku mau pulang aja." putusku sembari bangkit berdiri. Membenahi posisi totebag di sisi kiri.

Mas Jefhan turut berdiri, "Yakin ngga mau lihat Khairen? Dia pasti kangen kamu."

Tempurung kepalaku terangkat cepat, entah perasaan macam apa yang tengah menggelayuti dadaku sekarang. Namun rasanya begitu menyesakkan, membuat netraku memanas dan berkaca-kaca tanpa alasan.

"Khairen harusnya bangun dan bilang gitu sendiri ke aku, mas."

Mencoba tersenyum diakhir ucapan, pun malah senyum getir yang aku ciptakan. Khairen benar-benar membuat seisi duniaku hancur hanya dengan memilih untuk tidak segera bangun dari tidur panjangnya.

"Jangan kaya gini, Luna." Mas Jefhan mengusap lenganku.

"Nanti–"

"Kalau Khairen udah sadar?" huluku menengok, membingkai mas Wiga– kakak Khairen di dalam netra. Membiarkan liquid yang semenjak tadi menumpuk di ujung mataku terjun bebas tanpa bisa kukendalikan.

Mas Wiga mendekati kami, membebaskan tangannya dari plastik berisi air mineral yang sepertinya untuk kami bertiga. Ia memposisikan tubuhnya berdiri tepat di hadapanku, melihatnya dalam jarak sedekat ini– seharusnya mas Wiga menyadari bahwa ia dan Khairen memiliki tingkat kemiripan yang hampir sempurna. Tapi akulah satu-satunya orang yang dipukuli kenyataan, bahwa pemuda yang tengah aku tatap sekarang bukan Khairen, bukan ia.

"Bukan cuma kamu yang terpuruk, Kaluna." ujar mas Wiga dengan tangan yang terulur, mengusap suraiku– sialnya hal itu malah membuatku semakin merindukan sosok adiknya.

"Kita ada di garis yang sama, tapi mas yakin Khairen lebih lebih lebih sayang kamu. Jadi, jangan sampai sakit dan kamu harus siap-siap buat cepet masuk ke dalam, ya. Jenguk Khairen."




¤¤¤











.

.

.

.

.

hai.. akhirnya setelah sekian lama.
cuma mau bilang selamat menikmati alurnya, selamat tersakiti di chapter-chapter berikutnya. ah, semoga aku berhasil buat kalian nangis hehe.

aku bakal balik kalau moodku baik :v

KHAIRENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang