•9. Tabrak

34 1 0
                                    


Ia menatapi kepergian Asha sampai selamat masuk ke dalam rumahnya. Tetapi matanya tak kunjung berkedip tertuju melihat seorang lelaki dengan berjaketkan warna hitam ke emas-emasan sedang berbincang serius dengan satu orang lelaki lainnya yang berdiri tepat di depan teras rumah Asha.

Untuk apa mereka berbicara di malam yang sudah larut ini? pikir Ardi. Dan Asha juga tidak begitu memikirkan kegiatan mereka, ada apa sebenarnya hubungan Asha dengan dua orang itu?

"Ah, sudahlah." Ardi kembali tersadar dalam lamunannya dan terus pergi meninggalkan rumah kawasan Asha. Hal itu justru mengundang perhatian cowok berkemeja putih tadi.

"Ada yang mendengarkan kita?" tanyanya pada orang di sampingnya.

"Tidak mungkin, tempat ini kedap suara."

Pria berkemeja itu kembali menatap tajam ke arah mobil Ardi yang kian menghilang dari pandangannya, "Ku harap begitu."

***

Sial.

Di pagi ini, di saat awan yang terang bersamaan dengan sinar sang mentari yang setia memancarkan kesenangan justru malah membuat Asha jadi kalang-kabut. Sekarang ia tengah sibuk berlari-larian di bilik sekolah karena ia tiba di tempat ini di waktu yang salah. Asha terlambat.

Ini bisa terjadi dikarenakan semalam ia justru sibuk berkeliling kota bersama Ardi membuatnya harus bangun telat dan terlambat datang ke sekolah. Sebenarnya saja ia sudah di izinkan masuk oleh Satpam sudah sangat bersyukur. Terjadi sedikit tawar-menawar di antara mereka tadi di gerbang depan. Entah apa alasan Asha yang akhirnya bisa meyakinkan sang satpam guna masih memperbolehkannya tetap memasuki kawasan sekolah.

"Sial, sial, sial..." umpat Asha, "Bisa-bisanya gue bangun telat. Mana jam pertama ada ulangan lagi."

Jleb! Sekarang Asha juga terkena masalah kedua. Ia terus berlari dengan kencang melewati tiap-tiap kelas. Hanya satu kata sekarang yang sedari tadi berputar mengelilingi lapangan benaknya yakni,

ULANGAN.

Di tengah larian dan gelisah hatinya, sekarang harus kembali lagi muncul kesialan dalam hidupnya. Di saat Asha melewati sebuah pertigaan bilik ruangan, tiba-tiba saja muncul sosok Ezza dengan dua temannya berjalan keluar dari arah sebelah kiri. Asha yang tidak merperkirakan kehadiran mereka langsung saja menyambar tubuh Ezza yang tengah meminum sebuah botol air mineral di lengannya. Parahnya, air di dalam botol itu seketika tumpah begitu saja membasahi sekujur tubuh pria tegas itu.

"Anjing!" kaget Ezza, "Sialan lo!!"

Asha sebenarnya ingin berhenti dan meminta maaf atas kesalahannya kepada Ezza. Namun karena melihat jam pelajaran yang sudah kian menyempit di tambah lagi ia masih harus dikejar-kejar oleh waktu ulangan yang sebentar lagi akan dimulai. Membuatnya dengan berat hati, terpaksa pergi meninggalkan kesalahan yang ia buat sendiri.

"Woi!!!" Panggil Ezza sembari menunjuk cewek yang masih sibuk berlarian di ujung lorong. "Lo gue panggil!! Jangan kabur lo."

Tringggg Tringggg

Lonceng sekolah seketika berbunyi, membuat Berto dan Rakel lekas menenangkan temannya yang masih emosi atas kejadian beberapa saat yang lalu.

"Za, Ezza," sergah Berto menahan tubuh Ezza yang hendak pergi mengejar Asha. "Udah bel tuh, entar kita di marahin lagi sama guru BP,"

"Nggak! Gue masih ada urusan sama tuh cewek. Peduli apa gue sama BP," ketus Ezza.

"Ezza. Lo tahan dulu ya emosi lo, nanti pas jam istirahat kita datangin tuh cewek." Sambung Rakel ikut menarik seragam temannya itu.

Memang benar-benar menyebalkan. Bagi Ezza cewek bernamakan Asha itu selalu saja berhasil membuatnya kesal dan baru pertama kali juga ia melihat orang berani membuat kesalahan di depannya. Jangankan teman-temannya, guru saja tidak berani mencari masalah padanya. Paling hanya guru BP yang berani memanggilnya, itu pun mereka hanya memberi sepatah nasehat yang sama sekali tidak dipedulikan Ezza. Mereka juga tidak menghalalkan sistem skor kepada Ezza, karena guru-guru tahu bahwa jika lelaki itu diberikan sistem skor, maka tidak akan ada gunanya juga.

"Awas lo!!!" Teriak Ezza untuk Asha sesaat sebelum ia pergi menuju kelasnya, "Habis ini, tamat riwayat hidup lo."

Setelah satu jam melaksanakan ulangan yang membuat seluruh siswa-siswi di kelas XI IPA 1 sampai deg-degan bukan main, akhirnya telah usai. Sebagian dari mereka memang ada yang sudah belajar seperti Asha dan Diora yang memang sudah pintar dalam mata pelajaran tersebut. Namun setengah lainnya seperti biasa, akan menjalin hubungan kerja sama dalam mengerjakan soal. Di tambah lagi, guru pengawas ulangan hari ini agak sedikit aneh. Ia justru membiarkan siswa-siswinya saling bekerja sama sedangkan ia sibuk membaca layar ponselnya.

"Huff, akhirnya," Vania menghembuskan napasnya lega, "Selesai juga waktu ulangannya. Padahal dari tadi sebenarnya gue udah eneg banget tau nggak sama soalnya. Masa pagi-pagi udah disuruh ngerjain soal matematika, untung aja gurunya nggak begitu perhatian."

Asha melirik Vania dengan senyum, "Hahaha, lo nggak belajar ya?"

"Gimana mau belajar," Vania merubah posisi duduknya ke arah cewek di sampingnya, "Kalau urusan matematika, mau satu hari penuh pun gue baca bukunya, tetep aja ilmunya nggak bakalan masuk ke otak gue. Gue sendiri aja sampai heran."

Asha terkekeh, "Sabar, ini ujian"

"Lah, ini kan emang ujian,"

Gedubraggg!!!

Tiba-tiba saja pintu kelas XI IPA 1 di tendang dengan kuat oleh seorang lelaki dengan pakaian seragam yang berantakan dan terlihat mimik raut wajahnya luar biasa marah. Tidak hanya sendiri melainkan ditemani oleh kedua temannya yang setia berdiri di belakang tubuhnya. Suara nyaring itu lekas membuat seluruh siswa di dalam kelas bahkan Asha dan Vania terpelonjat kaget bak habis mendengar suara ledakan bom atom.

Ezza melirik-lirik seisi kelas itu, hingga matanya terhenti kepada seorang cewek yang sedang duduk di ujung dengan sikap yang sudah nampak ketakutan. Tak berpikir panjang Ezza langsung menghampirinya kemudian lekas menggebrak meja duduk Asha.

"WOI!!" gertak Ezza, "LO NANTANGIN GUE HAH?!!"

Asha diam seribu bahasa, tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya sekarang. Ia lupa kalau dirinya masih memiliki masalah dengan sesosok serigala sekolah itu. Kesal, ini semua gara-gara ia yang datang terlambat.

"Kalau gue tanya itu jawab." ketus Ezza.

"Ma...ma...maaf," gugup Asha berusaha memberanikan dirinya untuk berbicara. Sesekali ia melirik Vania yang juga bersikap ketakutan menatap kaku ke arah lelaki di depannya itu.

"Maaf?" Ezza menaikkan alisnya, "Lo baru minta maaf sekarang? Daritadi lo ngapain aja?!"

Asha mengatur napasnya, "Gue tadi ada ulangan, makanya buru-buru. Tapi gue juga nggak bermaksud kok untuk tumpahin air itu ke badan lo."

"Cih!"

Asha menunduk, "Maaf,"

Ezza menarik napasnya. Walaupun sekarang ia sedang kesal dan marah terhadap sesosok cewek didepannya ini, tetapi, setelah melihatnya ketakutan dan di penuhi akan rasa bersalah yang tulus membuatnya perlahan mulai meredakan emosinya. Ezza bingung kepada cewek ini, mengapa dia selalu bersikap lembut ketika dirinya sedang memarahinya. Padahal dia bisa saja kan membantah bentakannya, namun itu tidak dilakukannya untuk Ezza.

"Lo..." Asha melirik wajah lelaki di depannya yang sekarang masih tertegun menatapi dirinya, "Lo mau maafin gue kan?"

Ezza hening tak membalas.

"Oke-oke, sebagai gantinya gue bakal turutin satu permintaan lo khusus untuk hari ini, deh." Asha memberi opsi perdamaian.

"Permintaan?"

***

~•~

Happy Read...
My Peace...
Futaa...

ALTEZZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang