Love Ticket

274 42 2
                                    

.

.

.

Point of View : Himawari
.

.

.

..Happy Reading..
.
.
.

"Hoi Kawaki! Bunuh musuh dibelakang mu, sialan!"

Suara bariton itu mengalun dengan sangat baik. Berteriak dan memaki secara bersaman.

"Berisik kau kuning! Bantu aku, jangan diam saja!" Jawab Kawaki dengan tidak kalah keras. Membuatku yang sedang sibuk berselancar di dunia maya pun menoleh. Menatap malas pada kedua pria yang tengah serius dengan ponselnya.

"Aaarrgghh!! Kita akan kalah dari Shikadai dan Inojin kalau begini terus."

Dasar para pria ini. Sudah di skors selama tiga hari, tapi tidak ada efeknya. Mereka justru merasa seperti sedang liburan. Apalagi jika kau di hukum dengan saudaramu sendiri.

Aku kembali beralih pada komputer milikku, berusaha fokus untuk menemukan sebuah destinasi wisata yang cukup menarik. Meskipun aku sudah punya rencana sendiri, sih.

"Berpikirlah! Kau bilang kau jenius! Dasar payah."

Aku mendesis pelan sembari menghembuskan nafas dengan pasrah. Mendengar serentetan umpatan dan suara berdesing dari masing-masing ponsel mereka secara bergantian. Melirik kedua mahluk yang kini tengah memonopoli tempat tidurku dengan begitu seenaknya.

"Kawaki!!! Inojin akan menyerangku! Inojin akan menyerangku! Lindungi aku bodoh!" Ucapnya setengah berteriak, sembari sebelah kakinya menyenggol lengan Kawaki yang sedang fokus menyerang lawan.

"Singkirkan kaki busukmu dari lenganku sialan! Aku sedang konsentrasi!" Kawaki balas menyenggol lengan kakak dengan kasar, membuatnya mengaduh pelan.

Merasa tak terima, kakak akhirnya menghentikan permainan lalu menatap Kawaki dengan sinis.

Kita semua pasti tahu kan, akhirnya akan bagaimana?

"Sialan kau, Kawaki!" Kakak melempar bantalku tepat pada wajah Kawaki. Membuat pria itu tersentak kaget dan menghentikan gerak jemarinya pada layar ponsel.

'Game over'

Suara yang menandakan permainan telah berakhir pun mengalun seketika. Mereka kalah.

Aku mendengus, berusaha mengabaikan kedua orang yang kini sudah mulai berkelahi. Saling memukul bantal dengan cara yang amat brutal.

Ingatkan aku untuk mengadukan hal ini pada mama nanti.

Dan saat aku akan kembali menggulir layar komputer untuk melihat beragam tiket lainnya, sebuah banda empuk dan lembut itu mendarat tepat diatas kepalaku dengan kasar.

Membuat keheningan menyelimuti ruang kamarku seketika. Bahkan kedua orang itupun mengatur nafasnya dengan susah payah.

Aku menggeram marah, dengan cepat tanganku meraih kotak pensil dan sebotol essence yang masih penuh untuk kemudian ku lemparkan kearah kepala mereka dengan kencang.

Can I get you?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang