Chapter 6: Origami

12 2 9
                                    

"Ah, Senpai. Hujannya lebat sekali, ya," sapaku sambil sedikit membungkuk pada senpai yang sedang berdiri di pintu masuk gedung apartemen. Aku lantas menutup payung setelah menyibak air yang ada di payung. 'Apa senpai sedang menunggu seseorang?' pikirku sebelum mendengar balasannya.

"Begitulah. Padahal aku baru berpikir ingin ke kedai ramen," balasnya dengan nada rendahnya yang khas.

"Ooh." Aku hanya ber-oh pelan menanggapi kata-kata senpai, sementara benakku sibuk mengingat apa yang ada di kulkasku, lalu cepat-cepat menambahkan, "Eh, Senpai mau makan malam denganku? Aku akan membuat pasta".

"Boleh juga," kata senpai lalu kami berjalan sambil mengobrol. "Ngomong-ngomong, kamu tidak membuat pasta karena aku bilang mau makan ramen 'kan?"

'Sial! Apa sejelas itu!?' makiku dalam hati. "Tidak, aku memang sudah berpikir akan membuat pasta sejak di jalan tadi," bantahku yang jelas-jelas bohong. Kami terus mengobrol selama berjalan ke apartemenku dan selama aku memasak di dapur. Banyak hal yang kami bincangkan, termasuk juga ke mana aku pergi tadi. Apa itu penting dibahas?

Kami makan di ruang tamu setelah aku membereskan laptop, tab, kamus, kertas, dan pulpen yang ada di atas meja. Maklum saja, ini bukan apartemen mewah yang luas dan makan berdua di dapur yang sempit bukan pilihan yang bagus.

"Gochisousama[1]," kata senpai begitu selesai makan. Aku yang sudah selesai makan juga ikut membawa piring senpai dan meletakkannya di wastafel untuk dicuci. Senpai juga mengikutiku untuk mengambil minum. Setelah berbincang-bincang sejenak di ruang tamu, senpai pamit pulang dan barulah aku mandi. Sebenarnya, aku biasa hanya mandi sekali jika tidak ke kantor dan cuacanya tidak panas.

Setelah mandi dan memakai piyama, aku baru teringat dengan kotak yang kubawa pulang tadi. Aku meletakkannya di atas meja di kamarku saat sampai di apartemen karena ada senpai yang datang. Kalau tidak, pasti ada di ruang tamu. Aku mengambil kotak itu dan duduk di tepi tempat tidur.

Kotak ini bentuknya melebar dan tidak terlalu tebal-mungkin seukuran binder A5-dibungkus rapi dengan kertas berwarna cokelat dan tali berwarna senada. Aku menarik ujung simpul tali itu dan melepas selotip yang menempel di kertas lalu membuka kotak yang sudah tidak terbungkus. Selain kertas yang digunting kecil-kecil yang ada di dalamnya, ada sebuah foto yang sudah terbingkai di dalamnya. Baru saja melihatnya, aku menjatuhkan kotak itu ke lantai dengan tidak sengaja. Akibatnya, kacanya sedikit retak. Tanpa memedulikan hal itu, aku langsung menutup kembali kotak itu dan menyimpannya di dalam lemari, lalu membuang kertas pembungkus dan talinya ke tempat sampah.

Aku kembali ke kamar dan meringkuk di bawah selimut di atas tempat tidur. Hingga akhirnya aku terlelap.

TTT

Minggu pagi berikutnya, secara was-was aku membuka pintu apartemenku. Aku benar-benar merasa seperti seseorang yang sedang mengintip orang lain. Begitu melihat tidak ada amplop di sana, aku benar-benar merasa lega. Amplop itu membuatku terus terancam, apalagi setelah kata-katanya di amplop minggu lalu dan foto yang kudapat.

Meski merasa ketakutan seperti ini, aku tidak ingin ada satu orangpun yang mengetahuinya, hingga Yumi menelepon hari Rabu kemarin sepulang kerja. Aku terpaksa menceritakannya setelah didesak oleh Yumi. Entah bagaimana dia tahu kalau aku punya masalah. Namun, tentu saja aku tidak menceritakan versi komplitnya pada perempuan itu. Ini masalahku dan aku tidak ingin dia terlalu mengkhawatirkanku.

Aku hanya bilang, aku menemukan 7 amplop yang dikirim setiap minggu dan begitu aku pergi ke Yoyogi Kouen untuk bertemu dengannya, tidak ada siapa-siapa di sana.

"Mungkin ini hanya iseng," kataku setelah menceritakannya sambil berpura-pura ini bukan masalah besar.

"Tapi, untuk apa? Maksudku, tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya dengan melakukan ini, bukan?" balas Yumi seakan protes pada si pengirim misterius.

Your Touch in My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang