Chapter 7: Scytale

8 2 5
                                    

Dalam perjalanan pulang, aku masih memikirkan siapa orang yang kutrabrak tadi. Rasanya aku pernah bertemu dengannya, meski aku tidak bisa melihat wajahnya yang tertutup masker, tapi postur tubuhnya terasa familiar bagiku.

Sampai di rumah, aku langsung berjalan ke dapur setelah menggantung mantel dan totebag di kamar. Tanpa pikir panjang, aku langsung memanaskan air dan mengambil dua bungkus ramen instan dari lemari di bawah kompor. Sejak di kereta tadi, aku sudah merasa lapar. Ya, aku pulang dengan kereta untuk menghemat ongkos pulang.

Ramen instan adalah stok makananku ketika aku malas memasak. Sebenarnya, aku bisa saja pergi ke konbini[1] dan membeli onigiri atau nasi goreng atau yang lainnya, tapi, aku merasa ingin langsung pulang. Cuaca yang dingin dan rasa lelah membuatku enggan berbelok ke konbini.

Setelah beberapa menit memasak ramen, aku langsung melahapnya dengan cepat. Ketika perutku sudah terisi, aku baru mengganti pakaianku dengan kaos dan celana tidur. Karena masih jam 7 lewat, aku mengurungkan niatku untuk tidur. Rasa lelah itu juga hilang setelah aku selesai makan. Akhirnya aku duduk di atas tempat tidur setelah mengambil ponsel dan amplop besar yang ada di dalam totebag, lalu menggeser layarnya beberapa kali.

"Gomen, aku lupa meneleponmu," kataku begitu nada sambung terdengar.

"Yah, aku sudah menduganya," sahutnya dengan suara yang kalem, apa dia sedang sibuk, ya?

"Apa kamu lagi sibuk? Kalau kamu sibuk, aku matikan teleponnya, ya," tanyaku menduga-duga.

"Ah, tidak kok. Oh ya, aku barusan mengirim foto, coba kamu lihat," pintanya dan aku langsung mengeceknya tanpa memutuskan sambungan telepon.

"Hmm, untuk apa baju-baju ini?" tanyaku setelah melihat beberapa foto yang dikirimnya.

"Dua hari lagi dia ulangtahun, dan aku juga diundang," katanya dengan menekankan kata 'dia'.

"Dia, siapa?" tanyaku lagi tidak mengerti maksudnya.

"Dia, masa kamu lupa!?" jawab Yumi dengan sedikit keras, barulah aku teringat dengan dia yang dimaksudnya. Kami membahas hal itu sampai kira-kira jam delapan. Begitu selesai telepon, ternyata baterai ponselku hampir habis. Aku mengambil pengecas yang kuletakkan di atas meja dan mencoloknya ke ponselku.

Setelahnya, aku kembali duduk di atas tempat tidur dan membuka amplop itu. Ada beberapa lembar foto dan satu lembar kertas. Pada kertas itu tertulis,

Koshimizu-san, bertemu denganmu sekali lagi sudah membuatku begitu bersukacita. Apa yang membuatmu bisa bersukacita? Boleh kutahu apa itu saat kita bertemu?

Kata-katanya terasa berbeda dengan sebelumnya. Jika sebelumnya aku merasa tertekan, kali ini aku merasa kata-katanya lebih hangat. Apa ini ulah dua orang yang berbeda? Oh ya, di dalamnya juga terdapat beberapa lembar foto, aku beralih melihat foto-foto itu dan meletakkan kertas itu di samping kiriku.

Ini, aku sewaktu kecil? Kalau begitu, siapa yang ada di sampingku? Apa dia si pengirim misterius itu? Apa ini berarti aku mengenalnya?

Aduh, ada begitu banyak hal yang tidak kumengerti. Rasanya seperti orang bodoh yang tiba-tiba berada di dunia yang asing. Aku memutuskan untuk tidur saja daripada memikirkan hal-hal itu setelah memasukkan kembali foto dan kertas itu ke dalam amplopnya, lalu kusimpan di tempat yang sama dengan kotak yang kudapat sebelumnya.

TTT

Hari Minggu kembali datang. Jika kalian tidak menyukai hari Senin, maka aku tidak menyukai hari Minggu. Seandainya saja hari Minggu tidak akan datang. Hari ini aku tidak joging karena cuacanya lebih dingin dari hari-hari sebelumnya. Salju bahkan menutupi jalanan dan itu semakin membuatku mengurungkan niat.

Your Touch in My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang