Rasa was-was seketika menyergab tubuhku. Tawaran Willy barusan benar-benar racun. Ternyata benar firasatku tadi, ia sedang merencanakan hal gila untukku. Ia kembali mengusiliku lagi. Jika sudah seperti ini, pada akhirnya akulah yang selalu jadi korbannya. Aku sama sekali tak ingin mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan.
“Nggak mau!” protesku cepat, aku kapok menerima tantangan dari Willy. Terakhir ia menantangku membeli kondom di alfamart lengkap dengan sayap peri mainan anak kecil. “pokoknya aku nggak mau! Pasti kamu mau ngerjain aku lagi!” jawabku berusaha melindungi diriku sendiri.
“Dengerin dulu dong tantangannya,” bujuk Willy berusaha menyakinkanku, “nggak bakal aneh-aneh kok! Suer!” tambahnya sambil membentuk huruf “V” dengan jari tangannya.
“Nggak mau!” tembakku langsung, “jahilmu itu udah kebangetan tahu nggak? Udah berapa kali coba aku jadi korban kejahilanmu?”
“Yaelah Bell, gitu banget sih kamu sama aku? Belum juga aku sebutin tantangannya apa, masa kamu langsung nolak gitu?”
“Kalau aku bilang enggak ya enggak! Aku tuh daritadi udah was-was tahu nggak sih pas lihat kamu natap aku dengan ekpresi itu”
“Ekspresi yang mana?” jawab Willy sok kebingungan.
“Ekspresi yang aku jadiin firasat kalau kamu punya niat jahat sama aku!”
“Niat jahat apaan sih? Lebay deh kamu, tahu tantangannya juga belum,”
“Mendingan aku sama sekali nggak tahu tantanganmu Will, pasti endingnya aku terus yang kamu jahilin!”
“Nanti aku kasih hadiah deh!”
“Okey Deal” langsung kujabat telapak tanganku, sedetik kemudian langsung kutarik telapak tangan itu.
“Et nggak bisa” kata Willy cepat, meremas telapak tanganku, seulas senyum jahanam yang terbit diwajahnya membuatku merutuki diriku sendiri. Betapa bodohnya aku tertipu umpan permainannya. “kita udah deal,”
“Tapi kamu-“
“-Nggak ada tapi-tapian. Kita udah deal,”
“Okey gini-gini biar adil,” kataku berusaha bernegoisasi dengannya, “aku bakal ngelakuin apapun yang kamu mau asal kamu juga harus ngelakuin apapun yang aku mau plus ngasih hadiah yang tadi udah kamu janjiin. Gimana?”
“Deal!” serobot Willy langsung tanpa fikir panjang. Menjabat erat tanganku.
“Sip kalau gitu,” jawabku dengan nada bergetar, “apa tantangannya?” kataku dengan suara sok mantap, padahal jauh di dalam tubuhku, hatiku bergetar menunggu tantangan ajaib apa yang Willy berikan padaku.
“Beliin aku BH sama cawet merah muda disana!” tunjuk Willy di salah satu stand penjual pakaian dalam, seketika tubuhku lunglai, aku merasa jika tulangku mendadak berubah menjadi agar-agar. Aku menyesal terbujuk rayuan Willy dan mengiyakan permintaan konyolnya, “yang ada renda-rendanya,” tambahnya membuat tubuhku tambah lemas.
“Hah? Apa? Kamu itu geblek banget sih jadi orang!” protesku kesal, “nggak mau ah. Gila aja kamu! Itu sama juga kamu mau bunuh aku!”
“Tuh kan curang!” tembak Willy sengit, “Tadikan kamu udah setuju, udah deal lagi. Udah deh nggak usah rese gitu!”
“Lebih rese aku apa kamu? Gila aja kamu nyuruh aku ngelakuin hal konyol kaya gitu,”
“Kita berdua sama-sama rese sayang, udah deh jalanin aja. Tadikan kita udah deal, nggak baik narik ulang omongan yang tadi udah di ucapin. Kamu cowok lho Bell, yang di pegang omongannya,”
“Udah! Bahas aja semuanya!” kataku murka, ”tapi kamu lihat dong Will! Standnya ramai gitu! Banyak ibu-ibu lagi, masa iya kamu tega nyuruh aku ngelakuin itu?”