Eren menatap pemandangan di depannya.
Laut.
Sesuatu yang Eren kejar-kejar sejak ia masih bocah ingusan tak tahu diri yang cuma bisa berkelahi dengan berandalan pasar. Sesuatu yang ia kira bentuk dari sebuah kebebasan.
Ternyata tidak. Ini hanya bentuk kutukan yang lain.
Empat tahun dari sekarang, batu-batu karang di pesisir ini akan remuk. Para wall titan akan menginjaknya, sekalian merebus air laut dengan panas tubuh raksasa mereka.
Ulahnya. Ulah Eren.
Eren sendiri yang akan menggiring titan-titan itu untuk menginjak-injak dunia. Meratakannya, memastikan itu cukup untuk memastikan masa depan kampung halamannya.
Betapa mengerikan. Rasanya ingin mati saja daripada menanggung ingatan dari masa depan dan leluhurnya yang tak tahu kemanusiaan.
“Oh, tunggu. Mati bukan solusi saat ini, Eren.”
“Kau akan mempertaruhkan keselamatan teman-temanmu kalau begitu. Armin, Mikasa. Orang-orang yang harusnya kau lindungi.
“Kau boleh mati setelah tugasmu selesai. Mati saja sana setelah kau berhasil mengamankan Paradis dan memberi umur panjang pada teman-teman yang kau sayangi itu.
“Kau sebatang kara, tidak punya siapa-siapa. Tapi kau punya teman-teman yang menyayangi dan mengandalkanmu, setidaknya jaga mereka.
”Lagipula dosamu tak termaafkan. Tidakkah kau merasa jijik pada dirimu sendiri? Untuk manusia-manusia yang kau injak seperti serangga, untuk anak-anak dan wanita tak berdosa yang kau renggut nyawanya kelak.”
'Pikiran sesat,' batin Eren.
Suara seperti itu terus terngiang-ngiang di kepala Eren. Tak membiarkannya beristirahat, terus memberinya kengerian sebelum waktunya tiba.
Mengerikan.
"Eren." Sebuah tangan kecil dan suara praktis membuyarkannya. Sentuhan yang familiar dan akan selalu ia rindukan.
Eren berbalik.
"Ayo keluar," ajak Mikasa. "Sasha dan yang lainnya sudah membuka makan siang. Cepat makan sebelum jatahmu dihabiskan."
Eren menerima tawaran Mikasa dengan cepat. Tangan gadis itu menariknya, mengajaknya mentas dari air yang merendam sampai betisnya.
"Mikasa."
"Mhm?"
Jejak kaki mereka yang telanjang tercetak pada pasir pantai yang lembab.
"Kenapa ada pasir di rambutmu?" Eren maju dan menepuk kepala Mikasa yang ditempeli pasir. Agak banyak, bisa-bisanya gadis awas ini tidak sadar.
"Oh, ini." Mikasa ikut membersihkan rambutnya. "Sepertinya dari Sasha. Dia mengira pasirnya sama seperti salju dan melemparkannya padaku."
Eren tertawa kecil.
Selesai membersihkan, giliran ia yang menarik Mikasa duluan. Mereka makan siang setelah itu, dengan Connie dan Sasha yang bertengkar seperti biasa dan Levi yang terus menggerutu tidak keruan untuk alasan yang tidak jelas.
Eren tersenyum samar.
'Aku akan sangat merindukan kalian.'
»◇◆◇«
Execrable (adj.): extremely bad; detestable
Untuk yang belum tahu—ya, saya unpublish beberapa bab Cafuné yang merupakan bagian Leannan dan Abditory.
Leannan sudah di urus dan ganti judul juga menjadi Vernorexia. Bisa dilihat di bio saya.
Sedangkan Abditory masih dalam proses.
Itu saja. Selamat malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cafuné
FanfictionAn EreMika fanfiction by me to celebrate #eremikaday Cafuné (n.): Running your fingers through the hair of someone you love. You are free to read. Tetapi bagi anime only, ini (mungkin) berisi spoiler. . . . All characters belong to Isayama Hajime