Enam belas

368 33 4
                                    

Entah kenapa perasaanku hari ini merasa tak karuan. Apa mungkin aku terlalu memikirkan kejadian tadi pagi yang seakan menghidari suamiku. Atau mungkin karena aku takut dia marah kepadaku.

Entahlh, semakin aku berusaha memikirkan itu semakin gelisah juga hatiku.

"Kamu yakin gak pulang bareng aku aja, Nis?" tanya Neneng yang saat itu sedang melajukan motornya pelan di sebelahku.

"Enggak, Neng!" jawabku tak yakin.

Ka Irham meminta ku untuk menunggunya. Dia bilang akan menjemputku. Itu yang jadi alasan kenapa aku tidak pulang bersama Neneng.

Sudah satu jam aku duduk sendiri di halte bus. Tidak ada tanda-tanda kalau suamiku akan menjemput. Bahkan tiba-tiba saja no nya sulit di hubungi.

"Duh ..., kok makin gak karuan gini," batinku mengusap dada sembari menghubungiku Ka Irham.

Sampai akhirnya sebuah mobil jazz merah berhenti tepat di hadapanku. Jelas itu bukan kendaraan milik suamiku, karena mobil miliknya bukan seperti itu. Kaca mobil pun terbuka perlahan, sebuah senyuman indah menyambut ku ramah.

Perempuan cantik dengan jas putih itu melambaikan tangan ke arahku pelan. Dia wanita yang beberapa hari lalu datang ke rumah.

"Nis, kamu lagi ngapain di situ? Ayo cepetan naik!" pinta Raisha.

Aku pun beranjak dan menghampiri perempuan berparas cantik itu. "Sebenarnya aku nungguin suami. Tapi kayaknya dia lagi sibuk," jawabku mencoba menutupi kegelisahan.

"Terus sekarang kamu mau ke mana? Biar aku antar kamu pulang, yah!" ucapnya memberi tawaran.

Akupun melihat layar ponsel. Berharap ada pesan dari suamiku. Tapi kenyataannya dia belum juga menghubungi, bahkan mengirimiku pesan.

"Aku mau ke Resto suami, Ra. Kayaknya kita gak satu arah deh!"

Dia kembali tersenyum dan membuka pintu mobil. Kali ini kami berdiri sejajar. Saat melihat Raisha menatku. Aku malah teringat kembali tatapan dirinya beberapa hari lalu.

"Emangnya sejauh ap resto suami kamu, sampe merasa gak enak begitu. Biar aku antar!" ucapnya yang membuat aku mengangguk begitu saja.

Raisha jelas masih sahabatku yang baik hati di putih abu. Meski kita berteman hanya tiga tahu. Tapi itu tak merubah semuanya.

Dia wanita cantik dan smart pada masa itu, banyak lelaki yang mengaguminya. Tapi Raisha seakan acuh akan hal itu.

"Kamu hebat yah, Ra," ucapku memecahkan keheningan di antara kami berdua.

"Hebat apanya dulu, nih ...!"

"Yah hebat. Kamu sudah jadi perempuan sukses sekarang. Jadi seorang dokter di usia muda seperti apa yang kamu cita-citakan."

"Tidak seperti yang terlihat. Kamu juga harusnya sekarang sudah jadi wanita yang jauh lebih sukses dari aku. Kalau kamu dulu gak memilih menunda pendidikan sarjanamu, aku ingat betul bagaimana kita bersaing dalam pelajaran saat itu" ucapnya yang membuat aku kembali memikirkan masa lalu.

Kalau suruh menunda atau tidak. Aku akan memilih tidak menundanya. Tapi saat itu aku memilih berjuang sendiri tanpa merepotkan Bunda dan Kakak ku.

Hidup memang sebuah pilihan, tapi terkadang pilihan yang kita ambil selalu tak sesuai dengan apa yang di inginkan.

"Ke arah mana resto suami kamu, Nis?"

"Dari lampu merah kita ambil kiri," jawabku.

"Kamu sudah kenal berapa lama sama suami sampe akhirnya memilih untuk menikah?" tanya Raisha yang membuat aku menoleh ke arahnya.

"Hah!" aku yang tak yakin dengan pertanyaan yang di lontarkan Raisha.

"Ah, maksud aku kamu itu bukan perempuan yang suka pacaran. Dan kamu juga bukan tipikal orang yang mudah percaya dengan ucapan laki-laki. Yah aku kaget aja pas denger kamu mau nikah," ucap Raisha.

"Aku kenal suamiku sebentar, tidak butuh waktu lama untuk kami memilih jalann menikah," jawabku membuat Raisha mengangguk seakan mengerti apa yang aku ucapkan.

"Terus kamu, kapan?"

Raisha terdiam sejenak seakan mencerna apa apa yang aku ucapkan. "Mungkin harusnya sudah, sama seperti kamu." Raisha seakan menampakan wajah sedihnya.

Akupun mengusap lembut pundak Raisha. Mencoba memahami apa yang dia ucapkan. Meski aku sendiri tidak tau apa yang sekarang dia pikirkan.

"Mungkin aku harus banyak belajar dari kamu, Nis. Untuk dapetin laki-laki baik kaya suami kamu."

"Hem."

"Iya maksud aku gak mungkin juga kalau suami kamu bukan laki-laki baik, kan. Buktinya kamu memilih dia buat jadi suami kamu."

Aku mengangguk pelan. "Yah, kamu benar. Dia lelaki baik. Itu yang membuat aku yakin akan dirinya. Oh iya Ra. Kita berhenti di depan. Itu resto suamiku."

Aku mencoba memberi arahan pada Raisha. Dia pun memperlambat laju kendaraanya.

"Restonya besar, dan sukses!" Raisha menggumam pelan.

"Iya, dia lelaki sukses. Aku beruntung memilikinya."

Memang terdengar seperti pujian. Mataku tak lepas dari cara Raisha menatap tempat itu. Tatapan yang sama seperti yang aku lihat sebelumnya.

Semua Karena CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang