Meet & Perdebatan.

1K 80 16
                                    

Hari semakin malam, langit semakin gelap, jalanan sekitar semakin sepi karena sudah waktunya istirahat dan bersiap untuk menyapa esok hari. Di pinggir jalan yang sepi dan hanya ada lampu penerang, seorang gadis berjalan santai sambil menikmati sebuah lagu dari ponselnya menggunakan earphone.

Bibir gadis itu komat-kamit menyanyikan lagu tersebut tanpa suara, ia sangat menikmati angin malam ini. Tanpa dia sadari, ada seseorang yang mengikutinya dari belakang, hanya berjarak beberapa meter dari dirinya sambil tersenyum.

Drrtt! Drrttt!

Getaran panjang mengejutkannya. Jiani langsung menekan tombol hijau di layarnya.

"Halo?" sapanya pertama kali mengangkat telepon dari nomor yang tak di kenal.

Tak ada jawaban dari seberang sana.

"Halo?" Jiani mengeluarkan suaranya lagi. Tiba-tiba ia merasakan ada yang mengikutinya dari belakang. Jiani menoleh namun tak ada siapa-siapa di sana, hanya ada dirinya sendiri.

Jiani mematikan telepon itu dan kembali memutar lagu yang sempat terhenti, ia bahkan berjalan lebih cepat dari sebelumnya saat merasakan ada yang aneh.

Sampainya di depan rumah, Jiani tidak langsung masuk karena ia tidak ingin orang asing yang tengah mengikutinya tahu rumahnya. Jiani memilih untuk pergi ke rumah seseorang yang mungkin bisa menolongnya nanti.

Tak jauh dari sana, ia melihat seseorang yang baru saja tiba di depan rumah besar, mungkin ini kesempatan untuk dirinya meminta pertolongan. Jiani berlari ke arah rumah besar itu dan menghampiri sang pemiliknya.

"Permisi, boleh ak—"

"Jia?"

"Jimin?"

Kedua menatap satu sama lain tak menyangka bahwa mereka akan bertemu lagi, dan dalam keadaan seperti ini. Jimin menarik Jiani ke dalam pelukannya, Jiani yang tak tahu harus apa ia memilih untuk diam dan membalasnya. Jujur, dia juga sangat merindukan cowok itu.

Setelah Jimin melepaskan pelukannya, ia bertanya pada Jiani.

"Kenapa kok keliatan takut gitu?" tanya Jimin. Jiani mengedarkan pandangannya mencari sosok yang mengikutinya tadi.

"Tadi ada yang ngikutin aku," jawab Jiani setengaj berbisik. Jimin terkejut mendengarnya.

"Sekarang masuk dulu ya, nanti aku anterin pulang," kata Jimin. Mau tidak mau Jiani harus mau daripada ia bertemu sama orang asing itu.

Di dalam rumah Jimin, terlihat sangat sepi karena itu rumahnya seorang diri. Perlengkapan di dalam rumah itu pun tidak lengkap dan hanya ada sofa di ruang tamu tanpa adanya televisi, dapur yang kosong seperti tidak terpakai, kamar tidur hanya ada sebuah kasur single dan lemari pakaian.

"Aku baru tau kamu tinggal di sini," ucap Jiani sambil meneliti setiap ruangan yang ada.

"Aku baru tempatin kemarin."

"Kemarin?"

Jimin mengangguk pelan. "Cuma buat istirahat aja, soalnya kalo di Penthouse terlalu rame," jawabnya.

Jiani langsung paham apa yang dimaksud Jimin. Ramai dengan anak buahnya apalagi pasti ia sering diganggu dengan tumpukan berkas penting yang menanti.

"Kamu tinggal dimana sekarang? Aku nyariin kamu bertahun-tahun dan sekarang kamu yang datang sendiri ke aku," ujar Jimin. Jiani tertawa kecil mendengarnya.

"Gak sengaja ketemu, aku tuh niatnya mau minta tolong eh malah ketemu kamu," balas Jiani sekenanya.

"Jodoh ya kita."

"Hah?"

"Kamu laper?" Jimin mengalihkan pembicaraan.

"Engga," jawab Jiani.

"Kenapa harus ketemu Jimin sekarang sih? Kan gue belum siap!" Batin Jiani.

Jimin memberikan segelas orange jus kesukaan Jiani. Gadis itu tampak ragu ingin menerima atau menolaknya.

"Gak aku masukin apa-apa kok aman," ujar Jimin seolah tahu apa yang ada dipikiran Jiani.

Dengan kikuknya Jiani menerima minuman itu dan meminumnya sedikit demi sedikit. Lumayanlah untuk menghilangkan dahaga dan kebetulan Jiani sangat kehausan.

"Kenapa kamu menghindar dari aku?" tanya Jimin mendadak.

Jiani menoleh sekilas lalu membuang muka kesembarang arah. "Gue masih benci sama lo"

"Sorry."

"Gausah minta maaf. Maaf lo gak bakal bisa balikin anak gue," ketus Jiani. Jimin menundukkan wajahnya merasa bersalah pada Jiani.

"Gue masih cinta sama lo, Jia..."

"Cinta lo hanya sesaat, Jimin. Gue gak percaya sama omongan lo lagi. Gue mau pulang," ucap Jiani lalu ia beranjak dari duduknya dan bersiap untuk pergi namun Jimin menahannya.

"Gue anter pulang."

"Gausah," tolak Jiani. Ia benar-benar ingin sendirian dan pergi dari hadapan Jimin saat ini juga.

"Udah malam. Gue khawatir sama lo," ucap Jimin membuat Jiani tertawa renyah dan menatap cowok itu jijik.

"Khawatir sama gue? Setelah apa yang lo lakuin ke gue, lo masih bisa bilang khawatir sama gue?" balas Jiani sarkastik.

"Jia, gue beneran cinta sama lo." Jimin mencoba untuk meyakinkan Jiani.

"Bullshit!"

"Gue serius," ucap Jimin. Perlahan ia melangkahkan kakinya mendekati Jiani membuat gadis itu sedikit ketakutan.

"Jangan macam-macam lo!" bentak Jiani.

Jimin menarik tangan Jiani lalu memeluk tubuh mungil Jiani. "Gue bakal terus berusaha buat dapatin lo lagi apapun itu caranya, Jia," bisik Jimin.

Jiani menggedik ngeri mendengar perkataan Jimin. Dasar, cowok sinting!

"Lepas," kata Jiani. Ia mulai merasakan sesak nafas ketika Jimin memeluknya makin erat.

"Maaf, gue terlalu kangen sama lo," ucap Jimin lalu melepaskan pelukan itu.

Tanpa mengatakan sepatah kata apapun, Jiani melenggang pergi namun Jimin tidak sebodoh itu membiarkan Jiani pergi seorang diri. Dia terus mengekori gadisnya kemanapun Jiani melangkah.

"Lo ngapain sih ngikutin gue mulu?" omel Jiani merasa risih ketika ada orang yang membuntutinya.

"Gue mau ke minimarket," jawab Jimin bohong.

Jiani mendengus kesal. "Minimarket belok kanan bukan kiri, lo ngikutin gue kan?!"

"Iya, gue takut ada yang ngikutin lo lagi."

"Gue makin takut sekarang ada yang ngikutin gue. Apalagi orang yang ngikutin gue itu lo!"











To be continue!

Still a Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang