36. Titik Lelah

747 74 40
                                    

Situasi rumah tangga gue sama Ning beneran kacau sejak ada Gladys.

Kalau boleh jujur, gue mau nendang Gladys dari sini, karena setiap apa yang dia lakukan ke gue selalu membuat Ning terintimidasi. Pernah sekali Ning marah ke gue dengan berkata, "Tugas aku ke kamu semuanya dia yang lakuin termasuk bawa tas sekolah kamu dari kamar kita, padahal dia tau aku ada di depan kamu. Lama-lama dia juga yang akan nyuci semua celana dalam kamu, terus berfantasi kalau dia bisa memiliki kamu layaknya aku kalau nggak dari sekarang kamu usir dia dari rumah kita! Apa lagi kalau itu bukan ciri-ciri pelakor?"

Gue saat itu coba menenangkan. "Mungkin bisa kamu kasih tau dia pelan-pelan?"

Ning mengepalkan tangannya, lalu pergi dari hadapan gue sambil misuh-misuh. "Terserah kamulah! Udah muak aku!"

Ketika itu terjadi, perdebatan-perdebatan kecil akan terus terjadi sehingga gue nggak menyangka malam ini Ning mendadak prepare, mengemas barang-barangnya dengan alasan ingin pergi ke Singapura. Ada acara keluarga katanya. Anehnya, dia nggak menawarkan gue sama sekali.

Ketika gue  udah capek sama semua ini, barulah gue memeluk Ning dari belakang, membuat pergerakannya terhenti. "Ning, aku ikut. Please?"

"Nggak bisa, Jay. Ini acara internal keluarga aku aja. Nggak boleh siapapun ikut, termasuk kamu."

Lagi, gue harus bisa memaklumi tingkah laku keluarganya.

"Terus nanti siapa yang jaga Jevais di sana?"

"Aku pergi sama Tante Sulli. Kamu tenang aja, Jevais masih banyak yang peduli sekalipun ayahnya sibuk sama tugas-tugas dan jarang ngajak dia main."

Shit, here we go. Gue akan selalu jadi pihak yang disalahkan.

Lantas gue tertawa. Kalau udah begini, semua kebaikan antara kami cuma sebuah casing atau berlangsung beberapa hari saja sebelum kembali bertengkar, bukankah ini yang dinamakan toxic relationship? Gue juga lama-lama muak karena harga diri gue udah nggak ada di sini.

"Jevais udah berumur empat bulan. Kasian, sejak dia lahir ke dunia, mama sama papanya cuma akur beberapa jam aja, terus kembali marahan karena hal-hal sepele."

"JAY!"

"APA?" Gue membelalak, mengatupkan rahang dengan kuat.

"KAMU YANG HARUSNYA INTROPEKSI DIRI! NGACA, SANA! SEBERAPA BANYAKNYA KESAKITAN YANG UDAH KAMU KASIH KE AKU! SEMUA KESALAHAN KAMU SELALU AKU MAAFIN! TAPI KAMU NGGAK PERNAH BERUBAH, NGGAK PERNAH MENGABULKAN KEINGINAN AKU!" Air mata Ning mengalir deras. "Bahkan kamu ngasih dia uang aku puluhan juta tanpa kamu bilang-bilang sampai sekarang!" Dia menyeka air matanya sendiri. "Aku udah capek banget hidup sama kamu, Jay. Sungguh, kepahitan hidupku terjadi cuma karena kamu doang."

Gue menelan ludah. "Mau cerai?"

"Tuan, Mbak," interupsi Bu Inah takut-takut, dia mengetuk pintu rumah beberapa kali. Untung saja Jevais lagi sama dia. "Nyonya Sulli datang."

Jeda di antara kami.

"Iya, Mbak," jawab Ning lalu berusaha berdiri. Sebelum dia narik kopernya, saat itu juga gue menahan kopernya keras-keras.

"Don't leave me, please." Gue udah nggak tau lagi apa yang harus gue lakukan. "Jangan tinggalin aku kalau kamu nggak mau liat aku gantung diri."

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang