16

2K 145 3
                                    

Cerita ini sudah update sampai bab 23 ya di KBM APP atau kalian bisa mampir di Karyakarsa sudah bab 20. Di Karyakarsa aku update per 5 bab harga 6K. Murce kan??

Username: aniswiji

Username: aniswiji

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat Membaca

Malam ini nampak bintang yang bertaburan di langit. Bahkan bulan bersinar dengan terang. Aku menikmati suasana ini dengan khidmat, karena kembar dan Ayahnya sedang di kamar. Mereka merengek mengatakan jika tubuhnya capek dan butuh istirahat.

"Indah."

"Siapa?" Suara itu? Aku menoleh dan mendapati Pak Rian berdiri dengan secangkir cokelat di tangannya. "Kembar sudah tidur?" Tanyaku, tumben sekali mereka cepat terlelap.

"Sudah. Makanya saya kesini." Pak Rian duduk di sampingku, meletakkan cangkirnya dan merengkuh tubuhku. Dengan kepalaku yang bersandar di dadanya.

"Siapa yang indah?"

"Bintang, bulan. Mereka malam ini mau menunjukkan keindahannya dengan kita disini."

"Oh, benar juga apa yang kamu ucapkan." Katanya dengan mengusap rambutku lembut.

"Besok Mas dinas dimana setelah cuti ini?" Dia menoleh ke arahku, "Belum tahu, tapi sepertinya mulai bulan depan harus berkantor di luar kota."

"Maksud Mas?" Jujur aku tidak paham akan dunia mereka. Karena aku dibesarkan di tengah keluarga yang senangtiasa ada di rumah saat aku pulang.

"Saya disuruh sebagai pelatih atau bisa dibilang gurulah di sekolah buat bintara. Dan sekolah itu beroperasi sekitar enam bulan setiap pembukaan pendidikan. Dan bulan depan itu sudah pendidikan jadi saya harus disana. Minimal satu minggu sekali saya akan pulang itu kalau bisa." Aku merasa tidak ikhlas dengan apa yang dikatakannya, bagaimanapun kami baru dekat akhir-akhir ini. Dan ya, sekarang kenapa kami harus dipisahkan dengan tugas.

"Kenapa aku tidak mau berjauhan dengan Mas ya."

"Karena kamu istri saya. Jadi wajarkan."

"Apa Mas tidak bisa menunda itu?" Tanyaku. Pak Rian yang merasakan keresahanku mendekap tubuhku erat dan mengecup keningku. "Kamu tahu saya, tahu pekerjaan saya seperti apa. Jadi kamu harus paham atas apa yang saya lakukan. Berat itu pasti, tapi ini juga diluar kuasa saya. Kamu harus paham."

"Aku boleh ikut?" Tawarku.

"Kamu tidak bekerja, katanya kamu masih mau bekerja." Jawabnya.

Menghela nafas perlahan, aku mengangguk. "Masih, tapi kalau sampai berpisah dengan Mas sepertinya aku belum siap saat ini. Begini, kita baru dekat dan ya nikmatnya pengantin baru kita jalani. Tetapi kenapa Mas harus pergi."

Pak Rian tersenyum, "Saya tahu, tapi ini sudah resiko yang saya ambil saat masih muda dulu. Ketika saya harus meninggalkan keluarga saya. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, saya akan tetap menjaga komitmen kita. Bagi saya komitmen ini diatas segalanya karena ini melibatkan Tuhan."

Entah, apa yang aku rasakan. Ada rasa kelegaan saat melihat keseriusan Pak Rian saat mengatakan komitmen ini. Tetapi di sisi lain aku juga merasa ketakutan.

"Kamu percaya dengan sayakan?" Katanya kepadaku dengan sorot mata yang serius.

"Percaya, meskipun tidak sepenuhnya. Apalagi banyak diluaran sana gadis yang lebih cantik dibandingkan aku." Aku cukup realistis akan itu, apalagi di zaman seperti ini dimana selingkuh seperti sebuah kebiasaan. Bahkan banyak orang yang mengangapnya lumrah.

Tangan besar Pak Rian meraup wajahku, kami saling bertatapan. "Lihat mata saya. Saya bukan pria seperti itu. Bagi saya keluarga itu nomor satu apalagi dengan kebaikan kamu yang mau menerima saya dengan kedua anak saya. Tidak banyak wanita yang mau akan hal itu. Mungkin mereka hanya mengincar saya atau harta saya saja. Tetapi kamu beda, kamu bisa menyentuh hati saya paling dalam hanya dengan kelembutan kamu bersikap dengan kembar. Jadi jangan berpikiran seperti itu." Hingga beberapa detik kemudian bibirnya mendarat di atas bibirku, melumat dan menyesap semua yang ada disana. Aku tahu bahwa Pak Rian baik, tetapi kekhawatiran itu pasti ada meskipun ia mengatakan hal yang membuat diriku yakin.

***

"Bunda!!!"

Aku mengerjab saat mendengar suara itu. Membuka mata, aku melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Kenapa aku terbangun kesiangan. Aku bergegas membereskan baju yang berserakan, dan mengenakan baju yang tadi aku kenakan. Ya, kalian pasti tahu apa yang kami lakukan setelah menunaikan ibadah subuh tadi.

"Mas pakai bajunya, kembar mau masuk." Aku mencoba menggoyangkan lengan Pak Rian yang terlelap tidur.

"Hmm." Tanpa bergerak sedikitpun Pak Rian masih dengan posisi semula. Aku berpikir ulang dan menutupi dada bidangnya dengan selimut.

"Halo sayang." Sapaku kepada dua bocah yang berdiri di depan pintu.

"Bunda lapar." Rengekan mereka saat aku berjongkok di depan tubuh mungilnya.

"Yasudah ayo kita ke dapur, jangan ganggu Ayah, Ayah biar istirahat dulu." Kataku kepada mereka yang melihat sosok Ayahnya yang tidur.

"Kan sudah siang Bun, biasanya juga Ayah sudah bangun." Kata Quin saat mengekoriku berjalan menuju dapur.

Tersenyum aku mengacak rambut mereka. "Kan Ayah kemarin nonton televisi sampai larut malam jadi ya butuh istirahat. Sekarang Qian sama Quin duduk ya. Bunda buatkan susu dulu." Bohongku kepada mereka, maafkan Bunda ya nak.

"Ini susunya, mau dimasakin apa? Soalnya disini hanya ada telur sama nuget." Sarapan di resort ini dimulai jam delapan pagi, jadi jam segini belum ada makanan yang diantar. Alhasil aku harus mencari alternatif lain untuk mengganjal perut kecil mereka.

"Nuget aja Bun." Aku mengangguk dan menggorengkan nuget buat kembar sekalian membuatkan kopi buat Ayahnya.

"Wah harum banget ini, masak apa?" Tanya Pak Rian saat berjalan menuju meja makan disaat kami menikmati satu piring nuget.

"Nuget Ayah, Qian lapar."

"Oh, Ayah juga lapar. Mana minum Ayah." Ucapnya dengan mendaratkan tubuhnya di kursi meja makan.

"Ini sudah Bunda buatkan." Jawab Qian dengan mendorong satu cangkir kopi ke hadapan Ayahnya.

"Anak pintar." Pak Rian mengusap puncak kepala Qian.

"Qian sama Quin nanti mau bermain di playground yang di depan." Aku yang mendegarnya sontak bertatapan dengan Pak Rian, pasalnya playground itu aku pikir untuk anak di atas tujuh tahun.

"Itu tidak bisa Sayang, kan disana ada batas usianya."

"Maksud Ayah?" Kedua bocah itu saling bertatapan dan menatap tepat di wajah Ayahnya, mencoba meminta penjelasan.

"Kan disana ada aturan harus diatas tujuh tahun, kalian kan masih lima tahun. Jadi tidak bisa. Bagaimana kalau kita ke kebun stroberi saja." Tawar Pak Adnan.

"Tapi Quin mau main."

"Sayang, kalau aturannya begitu berarti kalian tidak bisa. Bermain di kebun stroberi juga asyik kok." Kataku mencoba memberi pengertian kepada mereka.

"Qian mau."

"Tapi Quin tidak mau!" Jawab Quin dengan mulut yang mengerucut.

"Yasudah Quin di sini saja. Biar Qian yang main." Jawab Pak Rian santai tanpa menghiraukan anak perempuannya yang sudah memajukan bibirnya.

"Ayah nakal!"

Tbc

Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang