Dali tertegun mendengar ungkapan Adrial barusan. Dia yakin kali ini Adrial tidak sedang bercanda karena kalimatnya terdengar tegas.
Sementara napas Adrial melayu, menatap Dali rasanya tak sanggup.
"Stefan???" ulang Dali tak percaya. "Itu adik lo-" saking tak habis pikir ya Dali gelagapan, "Dia bukannya udah kayak adik lo sendiri?"
"Selama ini! Jauh dari sebelum kasusnya Afkar, gua selalu punya rasa cinta sama Malik, Dal! Tapi gak ada satupun yang tau, karena gua berusaha mangkirin perasaan itu dari gua sendiri. Dia adik gua, itu yang harus gua inget!"
Dali masih terdiam memandangi Adrial yang kuat dihadapannya.
"Sampe akhirnya gua tau satu kenyataan kalau ternyata gua bukan kakak kandung dia. Gua bersyukur, Dal! Gua bersyukur akan itu! Tapi nyatanya apa? Gua kalah sama Aidan! Malik terlanjur cinta sama Aidan! Sampe gue gak punya kesempatan untuk utarain perasaan gua yang sebenarnya ke dia selama ini! Dia selalu nganggep gua gak lebih dari seorang kakak!" jelas Adrial.
Dali masih dengan menganganya. "Terus ngapain lo deketin gua, hah? Lo bilang gua penting buat lo! Sampe gua pikir lo punya rasa ke gua, Yal!"
"Gua nyoba, Dali! Gua coba! Gua udah coba untuk sayang sama lo! Untuk buka hati buat lo, bahkan ke Aldo, tapi gua gak bisa! Dan gua gak mau nyakitin lo hanya karena gua munafik sama perasaan gua sendiri! Terlebih saat gua tau ternyata Aldo juga suka sama Stefan! Lo bisa bayangin itu" tukas Adrial.
Mata Dali berkaca-kaca. Hatinya hancur. Tak ada yang mencintainya. Sial. Dia menanggung malu yang teramat.
"Gua akan selalu sayang sama lo, Dali! Sebagai saudara. Gak lebih. Gua care sama lo! Tapi gua gak bisa cinta sama lo!" ungkap Adrial.
Dali menahan tangis, "Gua gak tau lagi harus benci atau kesel sama lo, Yal! Intinya lo jahat, Yal! Jahat lo!!!"
Dali mendorong tubuh Adrial ke belakang sambil menangis dan berlari pergi meninggalkannya.
Sementara Adrial masih tertegun di tempatnya. Berdiri tegak namun mungkin akan layu sedikit lagi.
Dali menangis tersedu-sedu. Berteriak di atas rooftop keras-keras. Hatinya hancur. Tak ada sisa. Sungguh sakit sekali.
Dali yang malang. Tak ada yang mencintainya sama sekali. Tak ada gunanya dia hidup di bumi.
Ingin rasanya dia loncat dari atas gedung tersebut. Namun terlalu tinggi. Dali tak terlalu gila untuk melakukan hal sekonyol itu.
Namun sekali lagi, Dali hancur. Tak ada yang sama seperti Dali saat ini.
~
Dali keluar dari pintu tangga darurat dan berpapasan dengan Tori dan Stefan disana.
Dua sejoli itu bingung melihat Dali yang menangis tersedu-sedu dengan linangan air mata di pipinya.
Stefan bingung, memegang tangan Dali dan bertanya, "Dali??? Lu kenapa??? Aidan lagi ya? Mana orangnya sini, biar gua hajar"
Dali tak kuat melihat Stefan, ditepisnya tangan Stefan dengan keras, lalu dia pergi dari sana.
Stefan yang semakin bingung itu turut berteriak menanyakan, "Dal??? Gua salah apa???"
Dali berhenti melangkah, lalu kembali menitihkan air matanya. Kali ini getir mengembang. Tak tertahankan.
Sejurus Dali berbalik menghampiri Stefan lalu memeluknya dengan erat. Begitu saja. Tiba-tiba.
Stefan tertegun, semakin bingung. Lantas dia turut membalas pelukan itu. "Dali... lu kenapa sih??? Cerita sama gua, siapa tau gua bisa bantu"
"Maafin gue, Stefaaaaan..." Isak Dali, "Maafin gue..."
Stefan masih kebingungan. Diam, tak tahu harus berbuat apa pada Dali.
Sama seperti Tori yang hanya diam disana melihat kedua lelaki yang tengah terlara sendu itu.
~
"Kak Aidan belum pulang juga, Pah?" tanya Adrial pada Arsen disana yang sibuk menelpon seluruh kerabatnya untuk mencari Aidan.
Ini sudah hari ketiga Aidan tak ada kabar. Sejak mendengar Dali menyatakan cintanya pada Adrial, Aidan menghilang lenyap bak di telan bumi.
Naasnya Adrial sama sekali tak mengetahui itu. Bahkan kedua orang tuanya sekalipun.
"Bang Yayaaan, jangan diem aja dong. Bantu cariin, anaknya ilang gini juga!" cetus Arsen pada Julian di meja makan. "Mana nomornya gak aktif sama sekali, lagi"
"Udah, biarin aja dulu, Seeen. Mungkin Aidan lagi pengen nenangin dirinya" ujar Julian. "Anak kita kan udah gede. Fasilitas masih dia gunain. Debitnya juga aktif terus. Yang penting kita gak makin nyusahin dia. Itu aja"
"Ya tapi ini udah tiga hari, Baaaaang! Kalo dia kenapa-kenapa gimana??? Kalo dia narkoba???" tukas Arsen, khawatir.
"Aidan gak akan begitu. Aku tau betul dia, Sen!" ujar Julian.
"Ada masalah apa sih disekolahnya, Yal?" tanya Arsen pada Adrial.
Adrial mengangkat kedua bahunya. "Setau Iyal, Kak Idan gak punya masalah deh, Pah"
"Ya buktinya kakak kamu sampe gak pulang gini coba!" cetus Arsen.
"Arseeeen... tenang dulu ya. Tenang. Aku juga gak akan tinggal diem kok. Aku pasti bakal bantu cari Aidan. Udah kamu sarapan dulu deh, ayo!" ujar Julian.
Arsen terduduk lemas di kursi makan. Dia bingung dan khawatir anak sulungnya kenapa-napa. "Ya Allaaahh... Aidaaaan. Kamu dimana sih, Nak"
~
"Udah tiga hari Aidan gak pulang! Kamar juga gak tau dia dimana. Orang rumah pada sibuk nyariin dia. Pada khawatir. Soalnya dia gak ada kabar sama sekali, Lik!" ujar Adrial pada Stefan di kelasnya. Tori disamping Stefan turut menatap tajam ke arah Adrial.
"Ya udah lah. Itu kan bukan urusan boti gua lagi! Kenapa harus dia yang repot sih?" cetus Tori seketika.
"Eh, lo diem dulu ya, Tor ya! Gua gak lagi ngomong sama lo" cetus Adrial pada Tori.
Stefan memandang Tori, lalu menggenggam tangannya.
"Gua cuma pengen cerita aja kok ke Malik. Siapa tau dia punya solusi" cetus Adrial.
"Cowok gua udah gak punya urusan lagi sama kakak lo maupun keluarga lo! Jadi dia gak butuh cerita mengada-ada lo, Yal!" tukas Tori.
Adrial mendengus kesal, kemudian menarik kerah kemeja Tori. "Bangsat lu ya, lu kalo gak tau apa-apa, diem lu, anjing!"
Tori melepaskan tangan Adrial dari kerah kemejanya.
"Plis lah, jangan berantem! Ini cuma masalah sepele!" cetus Stefan. Lalu dia berujar pada Tori, "Ayang juga, gak usah terlalu emosi sama Kamar ya. Kamar ini kan udah kayak kakak sendiri buat Epan. Jadi biarin dulu Kamar jelasin masalahnya ya"
Tori hanya diam, mengatur napas geramnya.
Adrial lalu bertanya pada Stefan, "Jadi gimana, Lik?"
Stefan membeku diam, memandang Tori sejenak. Lalu dia berkata, "Malik gak bisa bantu apa-apa kalau soal Aidan, Kak. Maafin Malik ya"
Adrial terlihat kecewa mendengar ucapan Stefan barusan. Ini bukan Malik yang dia kenal dulu. Bahkan Stefan sudah tak peduli lagi dengannya. Bukan karena Aidan menurutnya. Malik sudah berubah. Semenjak jadian dengan Tori.
"Denger kan lo dia ngomong apa!" cetus Tori, lalu dia menarik tangan Stefan untuk berlalu dari situ. Meninggalkan Adrial disana sendiri. Koridor sekolah yang ramai mendadak terasa hening bagi Adrial.
Stefan pergi dengan wajah yang meratap pada Adrial. Ini pertama kalinya dia memberikan penolakan tanpa paksaan pada Adrial. Stefan merasa kasihan pada Adrial disana. Tapi apa boleh buat, dia harus menunjukkan bahwa dirinya sudah move on dari Aidan.
Sampai kemudian Adrial bersuara keras ke arah Stefan, "KAMAR CINTA SAMA MALIK!!!"
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
STUCK ON YOU 4 (END 18+)
DiversosWARNING : LGBT STORY HOMOPHOBIC, DILARANG MEMBACA CERITA INI. Aidan, si cowok dingin dan galak, masih di ambang rasa ragu akan jati dirinya yang terasa samar dia rasakan. Dali sendiri tak urung berani untuk mengatakan perasaannya terhadap Aidan yang...