Jujur saja, Jackson bukanlah pria gelap mata seperti ini dulu nya. Dia terlahir sebagai putra yang manis, ramah dan hangat pada siapapun. Dia sangat menyayangi Bae Aruem meski sang ibu sering menolak untuk memeluknya dan jarang sekali memperhatikannya. Kasih sayang seorang ibu yang Jackson dapatkan dari Aruem tidak sebanding dengan bagaimana Sora merawatnya.
Tapi tetap, bagaimana kentalnya minyak, kentalnya darah tidak akan pernah bisa di bandingi oleh apapun. Meskipun sebesar itu kasih sayang yang terang-terangan Sora berikan kepada anak tirinya, tetap saja, sayang seorang anak kepada ibu kandung nya tidak pernah bisa di gantikan oleh siapapun. Bagaimana pun Aruem, seperti apapun Aruem, yang Jackson mau hanyalah di dekat Aruem.
Tapi wanita itu terus saja menangis sepanjang waktu. Matanya terus sembab dan memerah. Padahal yang Jackson mau hanyalah seutas senyum manis yang ingin ia lihat dari wajah Aruem. Sejak Jackson lahir--ah tidak, lebih tepatnya saat Jackson pandai bicara dan mengingat wajah seseorang, Jackson tidak pernah melihat sang ibu tersenyum lepas seperti yang Sora lakukan.
Saat itu Jackson tidak mengerti apa masalah yang sudah terjadi. Jackson tidak tahu kenapa Aruem selalu menangis dan sering berkata ingin mati karna hidup pun dia tidak di anggap, bernapas pun rasanya tidak berarti, ada pun serasa tiada. Selalu mati menjadi pilihan nya. Setiap hari, itu yang selalu Jackson dengar. Menangis dan keprustasian yang tidak kunjung berakhir.
Sampai akhirnya dia mengerti, kenapa sang ibu menjadi seperti itu. Cintanya ternyata direbut, hidupnya di ambil, harapannya di rampas, masa depannya di hancurkan, dan pelakunya adalah kakek Jackson sendiri, sang ayah dan ibu tirinya.
Jackson membenci mereka bertiga. Sangat-sangat benci.
Saat menatap wajah Jimin yang berdarah dari kepalanya, rasanya belum setimpal dengan tangisan Aruem setiap waktu, setiap hari, dan selalu begitu. Wanita itu sangat-sangat tidak sanggup menerima takdir barunya. Tubuhnya kering kurus tak lagi terurus. Aruem sangat prusatasi tapi wanita itu tidak bisa mengikhlaskan suaminya bahagia begitu saja di atas penderitaannya. Bercerai enggan, bersama pun tak memungkinkan. Dan, seperti itulah Aruem. Merusak diri dalam kesepian nya.
Itu yang sangat Jackson tidak bisa terima.
"Hei, bangun!"
Jackson menepuk-nepuk pipi Jimin sedang kedua tangannya sudah di ikat dengan tali.
"Bangunlah, sebelum kau tidak lagi bisa bangun." Jackson berucap lagi. Tapi Jimin tetaplah sama, kedua matanya masih mengatup rapat. Entah pingsan atau memang perlahan berhenti bernapas?
Byuurrr
Air bercampur garam yang sudah Jackson sediakan di dalam ember berwarna hitam itu ia siramkan tepat di atas kepala Jimin.
Mengingat perkataan nenek-nenek jaman dahulu, ketika luka bertemu asam, maka luka itu akan semakin dalam layaknya anak yang ketakutan saat tahu kalau tangan nya akan di iris pisau.
"Aakkhhh...." Jimin spontan terpekik.
Kejam!
Melihat Jimin semakin merasakan kesakitan sebab air yang sudah di larutkan bersama garam, Jackson menyeringai puas. Sebelah tangannya memberikan kode ke para tukang pukul itu untuk menyiramkan ember kedua.
Byurrrr...
Jimin sekali lagi memekik kesakitan.
"AKHHHH....."
Teriakan Jimin kali ini sangat keras sebab kadar garam yang sudah di larutkan lebih banyak dari ember pertama yang di siramkan.
Tubuh Jimin bergelinyang seperti ayam yang baru di potong lehernya tapi belum mati. Perih, sangat-sangat perih saat luka di kepalanya di biarkan begitu saja lalu di siramkan air garam.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY IN MY LIFE || [PJM]✓
Fanfiction"Anak kecil harus pulang." Jimin menggenggam tangannya. Berharap yang ia cari sedari tadi bisa ia bawa kembali. Namun Alisa tidak berharap demikian. "Tidak, aku tidak ingin pulang." "Alisa," "Aku mau kita bercerai." Start : 21maret