0.4 | Hypocrite

696 171 8
                                    

Heeseung, Jay, Jake, dan Sunghoon sedang duduk di sebuah kafe setelah selesai kelas, hendak mengisi perut yang kelaparan sambil melepas lelah usai belajar cukup lama.

"Tangan lo kenapa, Jay?" tanya Heeseung kala melihat sedikit luka pada punggung tangan Jay yang duduk di hadapannya.

Jay melirik luka di tangannya sekilas, lalu kembali menelan makanannya. "Kena cakar kucing."

"Tapi bukannya lo alergi kucing?" sahut Jake, menuangkan kejanggalan dalam dirinya yang tak sempat ditanyakan sejak kemarin.

"Terus kenapa?" tanya Jay santai sambil memutar spaghetti dengan garpu.

"Kalo lo alergi kucing, kenapa bisa dicakar kucing?" Sunghoon ikut bertanya.

"Gue alergi kucing, bukan kucing yang alergi sama gue."

Heeseung mengernyit. "Maksudnya?"

"Gue dicakar kucing liar pas buang sampah. Gue nggak tau ada kucing di dalam tong sampah itu, jadi gue asal buang aja dan kayaknya kena dia. Dia langsung loncat dan nyakar gue, makanya tangan gue jadi begini," jelas Jay singkat.

"Serius?"

"Emang gue kelihatan bohong?"

"Mungkin aja, kan?"

Jay memandang Jake tak mengerti. "Buat apa gue bohong masalah begini doang?"

"Enggak tau."

"Terus kenapa lo mikir gue bohong?"

"Gapapa."

"Aneh."

Jay memilih melanjutkan kegiatan makannya, mengabaikan gangguan yang Jake beri melalui pertanyaan aneh tadi.

"Btw, kabar Jungwon gimana?" Heeseung membuka topik pembicaraan baru. "Dia udah masuk sekolah, kan?"

"Tadi pagi gue telfon, katanya sekolah." Sunghoon memberitahu. "Kayaknya dia udah baikan."

Heeseung mengangguk-angguk. "Syukur deh, gue pikir dia sakit."

Jake mengernyit. "Kenapa mikir gitu?"

"Karena pas gue masuk ke kamar Jungwon buat ngasih tau tentang surat yang Sunoo dapet, gue lihat ada botol kecil isi obat di atas nakas."

"Obat apa?" tanya Jay penasaran.

"Enggak tau, nggak ada tulisan di botolnya."

Hening kemudian mengisi kekosongan. Keempat pemuda itu kembali melanjutkan makan dengan isi kepala yang mulai dipenuhi pertanyaan; Jungwon sakit apa?

••••

"Makasih, Ki," ujar Jungwon sambil menerima sebotol air mineral yang Riki beri.

"Iya," balas Riki, lalu duduk di kursi kosong yang ada di hadapan Jungwon.

Riki mulai menyesap sekotak susu coklat, tidak makan karena sedang tak lapar, sedangkan Jungwon menikmati roti kejunya dengan tak selera. Kekosongan di tengah dua pemuda itu diisi dengan suara riuh kantin pada jam istirahat ini.

"Lo tuh ada maag, jadi harus mikirin kesehatan lo, Kak." Riki mencoba mengingatkan. "Laper atau enggak, lo harus tetap makan meskipun sedikit, jangan sampe perut kosong."

Beberapa menit sebelum jam istirahat, Riki sedang mengikuti pelajaran olahraga dan mendapati Jungwon berjalan sendirian di luar kelas. Ternyata, lelaki itu hendak pergi ke UKS karena maagnya mendadak kambuh.

"Iya," balas Jungwon seadanya, lalu kembali menyantap rotinya.

Jungwon sama sekali tak berselera untuk makan setelah kematian Sunoo, ia masih dikerumuni rasa kehilangan dan bersalah. Karena itu, Jungwon merasa stamina tubuhnya mulai menurun.

"Kak Sunoo nggak bakal suka ngelihat lo sedih sampe nggak peduli sama kesehatan sendiri cuma karena dia," ujar Riki, paham betul apa yang membuat Jungwon berantakan seperti sekarang.

Jungwon menghela napas. "Kalo lo jadi gue, emang lo nggak bakal ngerasa bersalah?"

"Gue pasti ngerasain. Tapi kalo emang beneran ngerasa bersalah, gue bakalan ngelakuin sesuatu sebagai bentuk permintaan maaf."

"Apa yang bakal lo lakuin?"

"Nyari pelakunya."

"Nggak segampang itu kali," balas Jungwon cepat. "Nggak ada barang bukti apapun. Polisi aja kesusahan, apalagi gue."

"Seenggaknya itu lebih baik daripada lo terus-terusan nyalahin diri sendiri, kan? Emang dengan terus ngerasa bersalah bakal bikin Kak Sunoo hidup lagi?"

Serangan dari Riki berhasil membuat Jungwon bungkam, tak tahu harus membalas dengan kalimat apa.

"Kalo lo emang ngerasa bersalah, mending lo coba cari pelakunya supaya Kak Sunoo bisa tenang." Riki kembali melanjutkan. "Kalo lo begini terus, yang ada lo bisa ikutan mati karena sakit."

"Tapi gue clueless banget," curhat Jungwon. "Gimana caranya buat nemuin si pelaku sedangkan bukti atau petunjuk nggak ada satupun?"

"Coba aja pake petunjuk dari surat yang Kak Sunoo dapetin."

Satu alis Jungwon terangkat, memandang Riki bingung. "Lo nggak salah ngomong? Kemarin lo bilang kalo surat itu mungkin cuma pengecoh, tapi kenapa sekarang malah nyuruh gue jadiin surat itu sebagai petunjuk?"

"Daripada nggak ada clue sama sekali."

"Iya juga sih, tapi surat itu cuma ngasih petunjuk kalo pelakunya kemungkinan salah satu dari kita," lanjut Jungwon. "Masa gue harus selidiki kalian?"

Riki mengendikkan bahu tanda tak tahu, membuat Jungwon mendengus karena lelaki itu tak terlalu memberi saran yang membantu.

"Semalam, gue kepikiran sesuatu," ucap Riki, memecahkan keheningan yang sempat tercipta selama beberapa saat.

"Apa?"

"Kak Sunoo cuma cerita ke Kak Heeseung soal surat itu? Dan nggak ada orang lain yang tau?"

Jungwon mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan Riki.

"Kalo Kak Sunoo emang dapet surat yang isinya ancaman pembunuhan, harusnya dia lapor ke polisi atau minimal ngasih tau ke orang terdekatnya supaya aman." Riki menuangkan pendapat. "Tapi kenapa dia cuma cerita ke Kak Heeseung?"

Jungwon terdiam sejenak, nampak berpikir. "Karena dia nggak mau bikin orang lain khawatir, mungkin?"

"Masa Kak Sunoo lebih takut bikin orang lain khawatir dibanding takut mati?"

Perkataan Riki masuk akal, membuat Jungwon mulai berpikir keras.

"Gue curiga kalo sebenernya Kak Sunoo nggak nerima surat apapun."

Alis Jungwon bertaut. "Maksudnya?"

"Mungkin aja, surat yang katanya diterima sama Kak Sunoo itu ditulis sendiri sama Kak Heeseung." Riki berterus terang tentang pemikiran acak yang hinggap di kepalanya sejak semalam. "Dan Kak Heeseung sengaja ngelakuin itu, biar kita mikir kalo dia orang kepercayaan Kak Sunoo, jadi dia nggak akan dicurigai."

••••

Sore ini, Heeseung datang ke rumah salah satu temannya untuk mengerjakan tugas kelompok yang tak kunjung dikerjakan sejak seminggu lalu, karena para anggotanya kesulitan untuk meluangkan waktu.

Selama tiga jam bergelut dengan tugas, akhirnya mereka dapat pulang ketika matahari telah tenggelam dan jam telah menunjukkan pukul enam.

Heeseung bergegas memakai jaket, menutup kepala dengan topi hitam yang ia bawa dan melangkah menuju mobil untuk pulang. Namun dalam perjalanan menuju mobil yang terparkir di halaman rumah temannya, ponsel Heeseung berbunyi.

"Halo," sapa Heeseung kala telah mengangkat panggilan yang masuk.

Heeseung bersandar pada pintu mobil untuk berbincang dengan seseorang melalui telfon, sambil sesekali menyapa teman-temannya yang membunyikan klakson kendaraan untuk berpamitan.

"Ok, nanti saya transfer uangnya."

Tak lama kemudian, panggilan pun berakhir. Heeseung bergegas masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin dan melaju pergi dari halaman rumah sang teman dengan laju mobil yang cukup tinggi.

Hypocrite | EnhypenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang