Don't ever forget, wherever you are
Please remember my love
.
.
.
Kata orang, tidak ada persahabatan di antara laki-laki dan perempuan. Yang ada, salah satunya bertepuk sebelah tangan, atau keduanya saling cinta, tapi sama-sama tidak menyadari. Aku tidak setuju dengan statement tersebut. Karena faktanya, aku dan Ares bersahabat dan tidak ada dari kami yang menyimpan rasa terhadap satu sama lain.
Namun, minggu pertama pada tahun ketiga kami di SMA, Ares menyatakan perasaan padaku.
Aku bingung bukan main. Bukan, itu bukan pertama kalinya seseorang menembakku. Hanya saja terasa … berbeda. Karena yang menyatakan perasaannya adalah Ares, sahabatku. Saat itu, kami sedang duduk berdua di ayunan yang berada di halaman depan rumah Ares.
“Gue tau ini nggak masuk akal,” ucap Ares, membuang pandangan dariku. “Tapi gue serius.”
Ayunan yang kami duduki bergerak pelan, sesekali berdecit mengeluarkan suara yang familiar di telingaku. Seperti halnya dia, aku pun membuang muka. “Kenapa—kenapa gue?” tanyaku pelan.
Ares mendesah pelan. “Gue juga nggak tahu.”
Kami sama-sama terdiam setelah itu.
“Res,” panggilku, beberapa saat kemudian.
Ia menoleh dengan ragu, menatapku tepat di manik mata. Aku menghela nafas, memantapkan keputusanku. “Kita nggak usah berhubungan dulu untuk sementara waktu, ya?”
Ares tampak tersentak, namun dengan sigap menyembunyikan keterkejutannya itu dengan bertanya, “Kenapa?”
“Kita butuh waktu, Res,” jawabku. “Seenggaknya gue. Gue butuh waktu buat nerima perasaan lo ke gue berubah. Buat nerima persahabatan kita yang udah nggak sama lagi.”
“Nggak perlu ada yang berubah, Ra,” sanggahnya. “Kalo lo nggak nerima perasaan gue, nggak masalah. Gue baik-baik aja.”
“Lo emang baik-baik aja, tapi gue nggak.” Nada suaraku mulai meninggi. “Gue nggak bisa pura-pura nggak ada yang berubah, sementara semuanya nggak sama kayak dulu lagi.”
Ares terdiam.
“Gue cuma butuh waktu, Res. Buat nerima semua. Buat terbiasa dengan semua,” ucapku lirih. “Gue cuma butuh waktu.”
“Oke kalo itu mau lo.”
Aku bangkit dari dudukku dan bersiap kabur dari hadapannya. Namun, dia menjegal pergelangan tanganku, persis sebelum aku beranjak. “Rara,” panggilnya.
Aku berhenti di tempat, namun tidak menoleh.
“Jangan lama-lama ngilangnya,” ucapnya pelan.
Aku memejamkan mata, menahan jutaan emosi yang meluap dalam diriku saat itu. Mungkin tidak terlihat jelas, tapi saat itu aku menganggukkan kepala. “Oh, ya.” Aku berbalik menghadap Ares. “Mulai sekarang panggil gue Laura, ya.”
Kalau aku ingin berjarak dengannya, beberapa hal harus diubah. Salah satunya adalah nama panggilannya untukku itu.
*
Awal masa berjarakku dengan Ares memang tidak mudah. Aku yang serba terbiasa bersamanya, tiba-tiba harus melewati semua sendirian. Belum lagi kalau menyangkut mata pelajaran eksak, seperti Matematika atau Fisika. Aku tidak lagi memiliki Ares yang biasanya kupaksa menjadi tutor dadakanku untuk dua mata pelajaran itu. Tapi siapa sangka, aku menemukan penggantinya.
Namanya Vino, anak kelas sebelah. Mulanya kami bertemu pada saat remedial Matematika. Bedanya, aku mengikuti remedial dan dia mengawasi remedial. Dia murid kesayangan Bu Anjani, guru Matematika kami. Saat itu, Bu Anjani berhalangan untuk mengawasi remedial, sehingga Vino dilimpahkan tugas itu.
Saat aku mengumpulkan lembar jawabanku, Vino menatapku dan kertas itu secara bergantian. Aku mendengus, dan balas menatapnya sinis. Di luar dugaan, dia tersenyum. “Beneran nggak bisa Matematika, ya?” tanyanya.
Pertanyaan itu seharusnya menyindir. Tapi, ketika Vino yang mengucapkan, kedengarannya lucu. Intonasinya polos, tanpa niat menyinggung sama sekali.
Aku mengedikkan bahu. “Ya, gitu deh.”
“Mau gue ajarin?” tawarnya tiba-tiba. Melihat kernyitan di dahiku, ia buru-buru menambahkan, “Tenang. Gratis, kok.”
Aku ragu pada mulanya.
“Kan repot kalo harus remed terus,” ucap Vino lagi, meyakinkanku. Ia mengangkat bahunya pelan. “Nggak perlu dapat seratus. Lulus KKM juga udah lumayan.”
Entah karena benar-benar butuh tutor atau Vino lumayan menarik bagiku, aku menyanggupi tawaran tutornya itu begitu saja.
Sejak saat itu, aku dan Vino semakin dekat. Awalnya dia hanya datang ke rumahku untuk membantuku belajar. Tapi lama-kelamaan, janji belajar itu berpindah ke luar rumah. Kadang ke kafe dekat sekolah, ke kedai es krim dekat rumahku, atau ke rumahnya. Kami juga bertukar kontak, sehingga memperlancar komunikasi, ketika sewaktu-waktu aku membutuhkan bantuannya saat mengerjakan PR. Namun seiring berjalannya waktu, semua ikut berubah.
Vino datang ke rumahku bukan sekedar membantuku belajar, tapi juga membawakanku cokelat atau bunga. Kadang dia juga mengontakku bukan untuk menanyakan PR Matematika, tapi untuk menanyakan aku sudah makan atau belum.
Kami dekat begitu saja.
Vino datang di waktu yang tepat. Dia mengisi jarak yang tercipta di antara aku dan Ares.
.
.
.
Jalan setapak ini terasa begitu panjang bagiku. Di tambah memori yang menguak seluruh kenangan berputar berulang-ulang di pikiranku bagai kaset rusak, menambah panjang perjalanan ini. Aku kembali berhenti di bawah pohon tua besar yang mulai menggugurkan daun-daunnya. Kepalaku menengadah memandang langit, membendung beberapa tetes air yang sudah menggenang di pelupuk mataku. Tampak di atas sana matahari sedang menyembul malu-malu dari balik awan, seakan enggan memperlihatkan sinarnya pada bumi.
Aku kembali menatap jalan yang membentang di hadapanku.
Sedikit lagi sampai.
Dengan tekad itu, aku merapatkan jaketku untuk menghalau angin dingin musim gugur, dan kembali melintasi jalan yang sebagian permukaannya di tutupi dengan dedaunan kering ini.
.
.
.
Don't ever forget, wherever you are
Please remember my love
I love you
Because of you I am like this
Because of you I cry these tears
------
KAMU SEDANG MEMBACA
You
NouvellesKenapa kau menyuruhku mencari kebahagianku? Padahal kau tahu jelas kebahagiaanku adalah dirimu Padahal kau tahu pasti kebahagiaanku adalah berada disisimu Karena bagiku kau adalah berharga Karena bersamamu adalah segalaku. Copyright © 2015 by vachaa