Bagian 31 : Keputusan

4.6K 694 28
                                    

"Serahkan kuda dan hartamu!" teriak para bandit.

Bagaimana ini bisa terjadi?

Setelah menikmati pesta kembang api, aku meminta Luke untuk segera pulang. Kami pun menunggangi kuda hitam miliknya dan melakukan perjalanan.

Tadinya, jalanan lenggang yang kami lewati aman saat menyusuri bukit. Kalau tidak salah, bukit ini merupakan jalan pintas yang menghubungkan Dukedom Chester dan Kota Roem di barat daya kekaisaran.

Hingga mendadak, sekelompok pria berbadan kekar menghadang. Mereka mengerumun dengan obornya dan memekik gahar. Kemudian, memblokir kami menggunakan pusaka pedang dan kapaknya.

Aku sedikit khawatir, namun tetap berusaha bertahan di tengah situasi ini. Berbeda dengan Luke yang bermimik datar. Baginya yang terbiasa di medan perang, mereka tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Alberian yang terkenal barbar.

"Kalau kau tidak segera turun, aku akan melukai gadis ini!" ancam pria berkepala plontos, menodongkan mata pisaunya ke arahku.

Luke mengusap rambut halusnya. Samar-samar, seringai di mulutnya nampak dari pendaran obor. Sayup-sayup kesunyian menyeruak dan tak lama setelahnya, ia tertawa terbahak-bahak. Gelaknya terdengar menyeramkan, hingga menyebabkan merindingnya bulu kudukku.

Firasatku tidak enak. Seumur hidup, aku tidak pernah melihat pembantaian langsung dengan mata kepalaku sendiri. Aku memang menulis cerita thriller, namun aku hanya melakukan riset dengan membaca jurnal dan menonton film. Tentu saja itu berbeda jauh dengan kenyataan!

Refleks, kuhalangi mataku dengan telapak tangan.

Apakah Luke akan mengeluarkan warna aslinya?

Apakah dia akan memenggal kepala orang-orang ini?

Astaga, kumohon! Aku tidak mau ada pertumpahan darah di sini!

"Pergi kalian!" seruku. Aku pun mengeluarkan jurus tendangan mautku.

Namun---

Crash

Pria tadi melancarkan serangan pertamanya. Ia menggoreskan pisau tajamnya ke betisku.

"Argh!" erangku. Nyeri itu mulai menjalar dari sayatan luka yang dibentuknya.

"SIALAN!" umpat Luke kasar.

Dengan tangkas, Luke mengeluarkan pedangnya yang tersembunyi dibalik celananya. Diayunkannya sebilah logam itu cepat, menembus kulit leher pria berkepala plontos. Pria itu tak sempat menghindar karena gerakannya luput dari matanya.

Pria berkepala plontos melolong kesakitan. Ia terjungkal, lalu memegangi lehernya yang mengucurkan darah. Pita suaranya tersayat oleh pedang milik Luke. Satu temannya berlutut memapahnya, sedangkan yang lainnya tak mengalihkan fokus dari sosok Luke.

"Sudah kubilang, aku akan ...."

"Luke."

Kupanggil namanya saat situasi genting. Tidak, aku tidak bermaksud mengganggu atau menjadi beban. Aku hanya tidak mau menyaksikan pembunuhan malam ini.

Gemetar di tanganku tak kunjung hilang. Keringat dingin terus mengalir dari pelipisku. Aku tidak tahu mengapa, namun aku sangat trauma melihat orang terbunuh.

Seharusnya, aku tidak begini. Aku sudah melatih mentalku bertahun-tahun lamanya. Bahkan, aku berlatih diam-diam saat ayah melarangku mengikuti kelas memanah. Namun, aku tak bisa mengendalikan diri.

Luke menunduk. Ia pun merengkuhku dengan satu lengan kirinya.

"Senika, jangan lihat!" perintahnya.

I Don't Want The Male Lead's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang