Delapan belas

384 29 11
                                    

Aku terbangun dengan disambut sebuah senyuman indah dan menawan. Matanya yang bercahaya membuat nyaman saat menatapnya.

Bahkan tatapannya mampu membuat aku kembali tenggelam akan kejadian semalam. Kejadian yang membuat pernikahan aku dan Kak Irham semakin erat. Hingga tak ada dinding pembatas lagi di antara kami berdua. Sepenuhnya aku sudah miliknya, begitu juga dengan dia.

Bayangan indah itu mampu membuatku menarik kedua sudut bibir hinga mengukir senyuman. Dia mengusap lembut wajahku. Mengecup singkat kening dan pipi, begitu juga dengan bibir.

"Jam berapa ini?" tanyaku pelan yang membuat dia menempelkan bibirnya ke arah telinga.

"Masih ada waktu sebelum adzan subuh," bisiknya menyapu lembut bagian tengkukmilikku.

Aku menggeliat geli. Menutup wajahnya Dengan selimut. Dia melepas penutup itu dan langsung memeluk tubuhku erat. Mengecup bibir berulang kali secara singkat. Terasa seperti candaan tapi aku tau maksud suamiku itu apa.

Rasa ngilu itu saja belum hilang ditubuh ku tapi penyatuan itu seperti akan kembali terulang lagi di pagi ini, karena Kak Irham terus saja menggoda ku.

Bahkan Kehangatan, dan kemesraan kami tidak berakhir begitu saja, saat aku di dapur menyiapkan sarapan untuk Kak Irham dia tetap saja menggodaku, memeluku, mencumbuku dari arah belakang.

"Kakak ...! Hentikan. Gak liat apa kalau istrinya lagi repot," ungkap ku mencoba menghentikan pergerakannya yang terus saja menggodaku.

Untung saja di rumah hanya ada aku dan Kak Irham, kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada kami berdua.

Bunda yang masih berada di rumah almarhumah Nenenk, dan bang Fahri di rumah mertuanya.

Rasanya kami seperti sedang dimabuk api asmara saat ini. Percikan cinta itu terus saja menyala.

"Kakak jadi males ke resto, kalau udah kaya gini!" ucapnya yang masih memeluk dari arah belakang.

Akupun memutar tubuh, mencoba melepaskan pelukan Kak Irham dan berjalan meninggalkannya untuk mengambil piring. "Terus kalau gak ke resto Kakak mau ngapain di sini. Orang Anisa mau ke kampus."

"Kampus?" tanya Kak Irham menaikan sebelah alisnya.

Akupun mengangguk singkat saat meletakan dua piring di atas meja. "Iya, sidangnya di majuin jadi minggu depan," jawabku yang membuat dia sedikit terkejut dan mendekat ke arahku.

"Minggu depan?"

"Hem ..., Kakak kenapa? Kok kaya gak suka gitu?" tanyaku heran saat melihat ekspresi wajahnya yang tak enak dilihat.

"Bukannya harusnya itu minggu depannya, lagi yah, De?"

"Iya, memang. Tapi dosen mempercepat sidangnya. Emang kenapa sih ..., kok Kakak kayak enggak suka gitu?"

Kulihat kak Irham menghela napas berat sebelum akhirnya menjawab. "Minggu depan Kakak harus keluar kota."

Ka Irham menekuk wajahnya saat bersandar di samping meja makan.

"Emang harus banget yah? Kenapa Kakak gak bilang, dan baru bilang sekarang kalau mau ke luar kota," tanyaku sedikit menyembunyikan kekecewaan.

"Maaf. Tapi ini menyangkut masa depan kita, Sayang. Kakak mau buka cabang diluar kota, dan itu cabang terbesar Resto kita. Kakak juga gak bisa percayakan ini pada orang lain. Selain tempat, Kakak juga harus melihat kondisi pemasaran di sana."

Entah aku itu harus bahagia atau tidak, tapi kalau boleh jujur rasa kecewa itu tetap ada di benakku. Kecewa Pada diri sendiri. Dan kecewa pada suamiku kenapa baru jujur sekarang. Mungkin kalau dia bilang dari awal aku tidak akan merasa sedih, dan kecewa seperti ini.

Semua Karena CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang