Begin

13 1 0
                                    


7 September 2X2X

Pemandangan kala itu begitu indah. Meskipun di Indonesia seharusnya ini sudah memasuki musim hujan, langit malam kala itu sangat bersih. Bintang-bintang tampak begitu jelas. Tentu saja, andil tak adanya polusi di daerah pegunungan juga menjadi faktor penting. Hawa dingin yang membuat seluruh bulu kuduk berdiri, suara nyaring jangkrik, dan sedikit hembusan angin malam, menjadi kolaborasi sempurna. Kami berdua pun saling bersandaran demi dengan ditemani selimut dan juga secangkir cokelat hangat. Momen yang biasa hanya dapat kamu temui jika menyaksikan film-film romantis. Tapi nyatanya, itu ada, dan kami melakukan hal itu.

"Aku ga nyangka loh kita akan benar-benar ngelakuin hal kayak gini," katanya sembari tertawa kecil. "Antara geli tapi juga asik haha".

"Ini kan saranmu, orang kita awalnya cuman pengen berkemah aja kan. Udah bosen sama suasana kota. Tapi serius lucu banget bukan sih kayak gini," aku juga ikut tertawa.

Dia menyandarkan kepalanya ke bahuku, "Iya juga sih. Tapi aku akui, ini indah. Aku mungkin akan sulit buat melupakan ini."

Aku pun juga menyandarkan kepalaku sembari menggenggam tangannya. "Bulannya pun juga tampak indah. Padahal blue moon-nya kan bukan di bulan ini"

"Jangan lupakan juga para bintang-bintang itu. Bener-bener ini semua langsung merestart jiwaku yang sudah muak akan pemandangan Gedung-gedung pencakar langit." Dia tersenyum.

"Iya juga sih. Meskipun aku sebenarnya lebih prefer pemandangan hijau tadi siang. Aku kurang begitu suka langit malam."

"Hee... meskipun ada aku yang menemanimu? Kukira namaku sudah cukup untuk membuatmu terpana." Katanya dengan sedikit kecewa.

"Maksudmu? Ah...Lunaria Cahyani ? Cahaya bulan ya... iya sih. Baik cahaya bulan yang di langit ataupun yang di sampingku ini, semuanya sama-sama indah."

"Dasar!" ia menyikut pinggulku.

Aku pun teringat akan sesuatu. Dengan sedikit keberanian, aku pun akhirnya menanyakan apa yang sebenarnya menjadi alasan utama kenapa kita berkemah saat ini.

"Kamu beneran jadi tunangan besok?" tanyaku dengan ekspresi murung.

"Ya... itulah kenapa ini adalah momen terakhir kita. Dan terima kasih sudah memenuhinya," jawabnya dengan nada lirih seakan menahan tangis.

"Mau bagaimana lagi, itu juga sudah keputusanmu kan? Yang bisa kulakukan hanya begini. Aku juga tidak ingin menjadi antagonis di mata keluargamu maupun keluarga pacarmu. Even... sebenarnya semua apa yang kita lakukan ini juga sudah salah."

"Kamu ga salah kok. Bukankah sudah aku katakan dari dulu? Aku bukanlah milikmu atau dirinya. Aku juga ga pernah merasa apa yang kita lakukan ini adalah perselingkuhan. Hatiku adalah milikku sendiri. Mau seintim apapun hubungan kita ataupun status yang terpaksa melekat padaku dan dia, itu semua hanyalah semu. Realitas yang ada tetaplah aku sendiri."

"Itulah yang selalu aku benci dan aku takutkan. Akan tetapi bagaimana lagi, aku sendiri juga memilih untuk 'jatuh' padamu. Dan dengan bodohnya aku tetap melakukannya hingga sekarang," aku mulai melepaskan genggaman tanganku.

"Kamu masih menyesal?" tanya-nya sembari menatap dengan tajam kedua bola mataku.

Satu pertanyaan itu secara drastis langsung merubah suasana romantis yang sempat terjadi sesaat saja. Aku terdiam sesaat. Pandangannya yang tajam dan raut muka seriusnya adalah hal selalu aku benci dan aku takuti. Semua pemikiran dan juga sifatnya. Tak tertebak, argumen logis yang sulit untuk dipatahkan juga termasuk kedalamnya. Bagaikan seorang ratu yang mengacungkan pedangnya pada ksatria yang tunduk di hadapannya. Sebuah gambaran yang pas untuk mengilustrasikan saat itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lost Time MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang