Chapter 1: Diska Lepas

53 2 0
                                    

IBUKU pasti akan marah jika tahu bahwa sekarang aku lebih memilih menulis cerita daripada mengerjakan revisi artikel jurnal. Ya, dua bulan lalu aku mengirimkan sebuah artikel ke salah satu jurnal nasional dan... ditolak, ehe. Aku menerima email penolakan pagi ini. Sepenuhnya salahku, kok! Aku mengakuinya. Ceroboh ternyata masih sangat dekat denganku.

Oh, bukan dekat! Maksudku melekat. Sangat melekat.

Aku tak membaca author guidelines dengan baik sampai luput memperhatikan syarat minimal jumlah halaman, dan kamu tahu? itu tertulis pada poin pertama! Aku tidak menyangka ternyata aku sekacau itu. Jadilah aku membuat artikel sesukaku yang jumlah halamannya tak sampai setengah dari syarat yang ditentukan. Tapi tenang, aku tak apa. Topiknya disetujui, dan aku cukup menggali lebih dalam lagi untuk menambah kekurangan yang tidak sedikit itu.

Oh iya. Aku jadi tiba-tiba ingin menulis cerita, sampai mau mengabaikan artikel jurnalku, karena kecerobohan hari ini telah mengingatkanku pada sebuah kisah. Sudah lumayan lama, itu terjadi sekitar empat tahun yang lalu. Walaupun begitu, aku masih ingat seluruh kejadiannya. Bahkan perasaanku hari itu masih bisa aku rasakan hingga saat ini jika aku mengingat kisah tersebut. Benar, mengingat. Aku sangat suka sampai aku tidak mau lupa dan kurasa... aku rajin sekali mengingatnya.

Makanya, aku ingin sekali menceritakannya kepadamu.

***

Sepertinya ini sudah memasuki minggu ketiga. Aku menghitung harinya, karena ini sangat penting. Aku tetap ke sekolah, tapi tidak mengikuti kegiatan pembelajaran bahkan tidak masuk kelas. Eh, tapi kemarin aku masuk kelas sih karena ada ulangan fisika. Hasilnya? Empat puluh delapan. Sangat tidak memuaskan, tapi tidak juga membuat aku kecewa. Karena terlampau sering tidak masuk kelas dan hasil ulanganku selama beberapa bulan terakhir selalu berkepala tiga dan empat, aku jadi mati rasa dan tak pernah ambil pusing. Nilai buruk ini bukan sebuah hukuman. Aku tidak bolos, kok. Ada sebuah proyek yang harus aku kerjakan, makanya aku tidak masuk kelas. Proyek ini harus dikerjakan di sekolah karena membutuhkan pengawasan guru. Aku sebenarnya sangsi untuk bilang ini adalah sebuah proyek, karena seperti tak ada habisnya. Lebih tepat dikatakan proyek-proyek tapi pengerjaannya saja yang dicicil.

Proyek ini terdiri dari dua tim, tim guru dan tim murid, tapi secara formal hanya satu tim karena kami mewakili sekolah. Tim guru bertugas menyusun konsep, dan tim murid bertugas mengeksekusinya. Kami membuat video pembelajaran dalam proyek ini. Bulan lalu juga membuat video pembelajaran, semoga bulan depan tidak lagi. Tim murid terdiri dari enam orang termasuk aku. Ada dua orang laki-laki dan lainnya perempuan. Komposisi tim ini awalnya membuat canggung, apalagi bagi salah satu laki-laki di antara dua itu.

Gawat, aku sampai lupa berkenalan. Namaku Aoife, Dhara Aoife. Sebenarnya namaku Dhara, tapi karena Aoife sangat aneh bagi banyak orang, orang-orang lebih memilih memanggilku dengan Aoife, katanya sih agar bisa sekalian mengejek nama aneh ini. Mereka tidak tahu saja kalau nama ini punya arti yang sangat bagus. Dan laki-laki yang tadi aku maksud, namanya... Xe.

Kenapa?

Lebih aneh lagi?

Kalau dia anehnya lebih masuk akal, karena itu bukan nama aslinya. Namanya sengaja aku samarkan.

Xe adalah anak yang wangi, impresi pertamaku begitu. Bahkan semua barangnya juga wangi dia. Bukan wangi yang akan membuatmu mabuk dan sakit kepala. Wanginya wajar, tapi tahan lama. Aku pernah meminjam flashdisk miliknya selama tiga hari, dan wangi itu tidak hilang sampai benda itu kembali ke tangannya.

Dia juga anak yang tampan. Alisnya tebal dan... ah, aku tak bisa mendeskirpsikan bagian ini. Aku tak berani. Tapi mungkin bisa dengan lirik lagu. Lagu The Carpenters yang berjudul Close To You menurutku sangat cocok menggambarkan seorang Xe.

Elia Une FilleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang