Sagara-16

1K 155 24
                                    

◇◇◇

Pagi ini, bahkan masih terlalu dini untuk dikatakan pagi. Nyatanya sekitar pukul 2 dini hari, Dewa baru saja pulang dari rumah Nadine. Ia tak berani menginap. Tak banyak yang ia lakukan, hanya mengobrol ringan dan bertukar cerita saja dengan Nadine hingga pukul sebelas malam. Selebihnya ada Aditya yang setia menemani Dewa bermain game hingga pukul setengah dua, setelahnya Dewa pamit pulang tepat di jam 01.56 WIB.

"Lho, Den Aksa baru pulang? Sendirian lagi," tanya si penjaga rumahnya.

Dewa mengerutkan kening, ia melirik garasi dan tak mendapati mobil Ardian di sana. Seingatnya, tadi malam Ardian berjanji bahwa acara itu tak akan berlangsung lama. Namun melihat waktu yang semakin berputar dan Ardian tak memberi kabar, sontak saja membuatnya dirundung rasa khawatir.

Dewa segara memasuki rumah, bahkan pertanyaan sang penjaga pun ia abaikan. Fokusnya kini pada ponsel yang tadi sengaja ia matikan, yang kemudian ia nyalakan kembali saat ini. Dan siapa sangka bahwa ada belasan pesan dan panggilan tak terjawab di sana. Dewa manghela napas gusar. Ia pun kembali menghubungi sang ayah.

"Hallo Aksa, kamu kemana aja, sih? Jangan bilang kamu pergi main-main di luar sana. Sedari tadi Papa hubungi, kenapa baru ngasih kabar sekarang, hah? Kamu tahu enggak kalau Papa ini khawatir, Papa takut kamu kembali ke masa di mana kamu bergaul sama orang-orang enggak jelas seperti saat di Jakarta."

Dewa tak bergeming. Ia hanya mendengarkan ocehan Ardian yang masuk ke telinganya. Dewa akui, akhir-akhir ini sikap Ardian memang sedikit berbeda. Lelaki paruh baya itu terasa lebih dekat dengannya. Maksudnya, sikap Ardian kini tak sekeras dulu, ia jadi lebih hangat dan nyaman bagi Dewa.

"Aksa, kamu enggak apa-apa 'kan? Kamu denger Papa engga sih?"

"Denger Pa."

"Kalau denger ya, nyahut dong. Dan lagi, kamu apain Saga, hah?"

Baru saja Dewa merasa lebih baik—karena pertanyaan Ardian tadi mengarah pada sebuah perhatian, walau hanya menanyakan  kabar saja. Namun perasaan itu seketika runtuh hanya dalam beberap detik, kala pertanyaan lain yang lebih mengintimidasi terlontar dengan mudahnya. Terlebih pertanyaan itu mengarah pada seseorang yang sedang ingin Dewa hindari.

"Tanya aja sama orangnya, Pa. Aku ngantuk, Papa hati-hati di sana."

Dewa tahu sikapnya itu tidak bisa dikatakan sopan meski ia sempat berpamitan pada orang tua. Tetap saja ia kurang ajar karena sudah memutus sambungan di saat Ardian hendak berbicara lagi.

"Belum jadi saudara aja udah bikin Papa sepanik itu, gimana kalau udah jadi? Ck, bisa-bisa Papa lebih milih anak itu dibandingkan gue," gerutunya sambil menajatuhkan diri di atas kasurnya.

"Argh, bodo amat. Gue capek mau tidur!"

Tanpa memikirkan apapun, apalagi mengganti bajunya, Dewa segera memejamkan mata untuk memanfaatkan sisa waktu yang ada untuk tidur. Dan tak sampai sepuluh menit, deru napas Dewa pun sudah terdengar lebih teratur dengan mata terpejam sempurna.

***

Seninnya, Ardian masih di rumah sakit menemani Indah. Kini keduanya sedang mengantarkan Saga yang tengah dibawa menuju ruang operasi.

"Sayang, Saga tenang ya, Nak. Ini bukan pertama kalinya, Saga pasti tahu gimana rasanya. Pokonya tenang, jangan mikir apa-apa, Saga pasti baik-baik aja karena Ibu di sini nunggu Saga sambil berdoa."

Saga yang terbaring lemah hanya menatap ibunya dengan tatapan sayu. Ia mengangguk dan setelah itu Saga di bawa masuk oleh beberapa perawat dan dokter. Ardian melihat calon istrinya menangis setelah pintu tertutup pun segera memeluknya, guna menenangkannya.

Sagara [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang