Sendang Adyaningtyas
Lelaki itu, mengambil tempat duduk yang berseberangan denganku. Di sana, dia hanya menatapku dan mengangguk-angguk kecil. Tapi dari rautnya, aku tebak sepertinya dia sedang berpikir. Mungkin baru mendengar nama ini dan mengira-ngira apa artinya, mungkin juga nama yang kusebut terlalu terkesan jaman dulu. Sementara wanita yang duduk di sampingku, sebaliknya, memandangiku berbinar. Dan aku sontak ikut terbawa suasana, melihat rona wajahnya yang menjadi cerah itu. Meskipun ekspresi ceriaku lebih karena bingung mengapa wanita itu terlihat bersemangat, sebelum kemudian dia mengatakan sesuatu."Wah, salah satu nama yang saya suka," ujarnya, menepuk punggung tanganku sekali. Matanya melirik ke arah pria muda itu.
"Memang Mom tahu apa artinya?" lelaki itu menopang dagu, menatap dengan ekspresi menggoda ibunya.
"Tentu, lah. Ada salah satu tokoh di novel yang pernah Mom baca, sudah cukup lama. Namanya Sendang, dan artinya sangat Mom suka." kata wanita itu. Tatapannya beralih padaku sekarang, tampak meminta persetujuan. "Dari buku novel itu juga Mom terinspirasi untuk memberi nama anak-anak dalam bentuk kombinasi." Jelasnya, dan wanita paruh baya tersebut mengerling pada sang putra.
Aku hanya mengangguk pelan. Setelahnya terdengar dari mulut wanita itu meneruskan bercerita tentang tokoh dalam novel yang dia baca. Kentara jika dia begitu senangnya bisa mengekspresikan diri dengan hal-hal yang disenangi. Pembicaraan dua orang yang bahkan belum kukenal dekat ini, seolah potongan slide film.
Rasanya aneh, berada di ruang makan dengan bergaya ala kafe. Suasana yang tercipta jadi lebih akrab dan hangat. Aku tiba-tiba saja teringat dengan keluargaku sendiri. Entah sudah berapa lama waktu yang kubiarkan di belakang, tanpa lagi ada obrolan atau senda gurau, bersama Papa. Aku lebih memilih menepi, ketimbang rasa pedih di hati mampir lagi. Jika selewat saja, mungkin tidak masalah. Namun, jika sebaliknya, aku sendiri yang terkena imbas? Terpaksa ini jalan yang kuambil.
Mereka berdua, baru saja duduk bersama denganku seperti ini. Namun, seolah sudah lama kami bertemu. Pikiranku melayang ke sekian belas menit sebelum ini. Saat aku menginjakkan kaki di teras rumah yang besarnya mungkin 3 kali dari rumahku. Rumah yang bahkan dari jauh sudah terlihat berlantai dua. Dan, ketika daun pintu akhirnya terbuka, seraut wajah wanita paruh baya muncul dari sana. Tadi, usai menyuruh anaknya masuk lebih dulu, dia meminta maaf atas permintaan mendadaknya dan tanpa basa-basi. Aku hanya bersikap mencoba maklum. Mungkin lebih tepatnya, sebab kedinginan aku tidak memedulikan hal itu. Kepalaku lebih fokus ke soal bagaimana aku akan membersihkan badan.
Seperti mengetahui isi pikiranku, dia langsung membimbingku ke kamar mandi di lantai bawah, yang posisinya persis di bawah tangga. Dia memberikan handuk yang sedari tadi dipeluknya. Memintaku menunggu sebentar, lalu secepat mungkin berlalu dan kembali dengan pakaian yang diserahkan padaku.
"Pakai baju saya tidak apa-apa, ya? Ukuran badan kita kayaknya cocok. Hmm, beda sedikit di lebarnya sih, mungkin," dia berseloroh. "Nah, sama ini... ini baru kok, jadi bersih dan higienis, terus ... hmm apa, ya, untuk penutup kepala, hanya ada ini, semoga tetap bisa dipakai." Aku mengulurkan tangan. Lantas menahan diri agar rona merah karena malu tidak kentara, ketika tangannya menyisipkan pakaian dalam. Terakhir dia menyampirkan kain berbentuk persegi panjang yang berbahan cukup tebal tetapi begitu halus. Aku menerimanya sambil mengucapkan tidak apa-apa, karena ada sebentuk tatapan menyesal di matanya.
Kamar mandi itu tampak dari luar seperti kamar mandi biasa saja. Bisa dibilang mirip kamar mandi kebanyakan, termasuk rumahku. Namun, begitu masuk, luasnya kuperkirakan lebih besar dari kamarku. Aku berusaha membersihkan badan sesegera mungkin. Fokus, menekan keinginan untuk melihat-lihat. Bagaimanapun bersih dan cantiknya ini adalah kamar mandi. Dan tetap saja desainnya membuatku nyaman untuk berganti pakaian dengan tenang. Sudah ada hair dryer di dekat wastafel yang berada di luar shower. Setidaknya rambutku terbantu untuk kering lebih cepat. Di sana bahkan sudah tersedia lotion terpisah, masing-masing untuk tangan dan kaki. Kukira semua yang ada, memang perlengkapan basic yang disediakan khusus untuk kamar mandi.
***
"Jadi, Cliff, ganti nama Nona Sedum di ponselmu, dengan namanya yang asli," wanita itu memasang wajah serius. Bibirnya merapat seketika, dan memberi putranya tatapan mata yang lebar.
"Nona Sedum?" Lagi-lagi aku mengerutkan kening.
"Nona Sedum Morganianum, lengkapnya," lanjut wanita itu. Jawabannya membuatku mengucapkan "Haa?" tanpa suara. Sementara lelaki itu, siapa tadi namanya, Cliff, ya Cliff, dia menunduk dengan tangan yang bersidekap di atas meja. Lantas tidak tahan berlama-lama menelungkup, kepalanya tegak lagi. Namun, dia segera beranjak ke dekat lemari es di ujung kanan, membukanya, mengambil sebotol kecil air mineral lalu meneguknya. Tubuhnya bersandar pada tepian meja dapur. Wajahnya memerah. Dan aku baru sadar kemudian jika telah memandanginya tanpa kedip hingga dia berbicara."Mom..., ah, kau benar-benar berniat membuatku malu, ya? Itu kan karena aku tidak tahu namanya, ralat, belum." Cliff membalas tatapan ibunya, sama-sama membelalak. Akan tetapi, yang terjadi justeru membuat matanya memicing.
"Iya, tidak apa-apa," kataku berusaha menengahi, lalu bersyukur sebab kemudian segera teringat untuk apa aku berada di sini. "Oh, iya, Cliff bilang ibu panggil saya untuk membantu mengurus tanaman?"
"Eh?" wanita di sampingku mencari-cari lagi manik mata putranya. Dan lelaki itu malah mengalihkan pandangan ke arah jendela.
"Hujannya awet ternyata. Mom, apa tadi kau berharap datang hujan deras dan tidak berhenti-berhenti?"
"Tidak mungkin. Jangan membuat kalimat tanya dengan nada menuduh begitu, Cliff. Mom tadi hanya membaca prakiraan cuaca lewat ponsel saja, kok."
Aku tidak tahu obrolan mereka sebelum aku datang. Maka, tidak bisa menebak-nebak ada apa dengan mereka sebetulnya. Akhirnya aku malah kebingungan. Termasuk bingung dan baru tersadar juga jika di luar langit sudah gelap, sedangkan hujan masih terus mengguyur bumi. Bagaimana aku pulang?
"Umm, maaf, saya boleh pinjam charger HP?"
Aku melirik ponsel yang sedari tadi terabaikan saat kami makan bersama. Sudah satu persen, dan otakku baru bekerja, tepatnya teringat Kak Saras. Aku bermaksud meminta bantuannya lagi. Untuk menjemputku pulang. Aku meringis dalam hati. Kapan aku akan bisa tidak melulu merepotkannya? Aku bahkan terlupa belum sempat membalas pesannya lagi.
Tadi, ketika ibu Cliff menyusul putranya si mata biru ke lantai atas, sempat kuambil ponsel dari saku, membuka aplikasi perpesanan. Kak Saras bertanya ada di mana adiknya ini. Berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan lain dan sebuah informasi. Kesemuanya tidak bisa aku balas atau jawab saat itu juga, sebab memerlukan kontemplasi. Dengan kata lain, aku harus berpikir serius terlebih dahulu. Dan situasi tadi tidak memungkinkanku untuk asyik sendiri memegang gawai, menenggelamkan pikiran di sana.
"Oh, coba pakai punya Mom. Aku ambil punyaku dulu di atas." Cliff memindahkan pandangan dari jendela padaku lalu pada ibunya. "Nggak tahu punya siapa nanti yang pas, kan?"
Satu charger disodorkan padaku, segera kubenamkan ke stop kontak dan coba pasangkan ujungnya ke soket ponselku, tetapi rupanya tidak cocok. Cliff turun ketika aku sudah melepas lagi charger ibunya. Dan saat gantian mencoba charger miliknya, ternyata tidak cocok juga. Aku tersenyum sebab menertawakan diri sendiri, ketika selanjutnya mengamati ponsel mereka berdua masing-masing. Yang satu kekecilan, satunya lagi kebesaran. Ponsel punyaku memang merk yang kebanyakan orang Indonesia pakai. Akhirnya kami bertiga sama-sama tertawa. Dan aku terpaksa harus pasrah, hingga ponselku mati dengan sendirinya.***
#PoVSendang
#SebelumTerlanjur

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Telanjur
RomanceSendang pikir kata cinta bukanlah untuknya. Mahligai pernikahan yang ia kira akan mampu bertahan, apapun keadaan dan rintangannya, kandas usai 7 tahun. Tujuh tahun yang semula baik-baik saja, di antara ikhtiarnya agar bisa mempunyai keturunan. Sayan...