DUSTA DI MATA SENJA

2 2 0
                                    

Tak pernah aku mencinta sekaligus membenci, sedalam ini. Seperti langit jingga kemerahan yang beradu dengan garis pantai di ujung sana, begitu dekat, nyaris tak bersekat. Padahal, jika pun aku mampu berjalan di atas air menuju garis itu, rasanya tetap sia-sia. Semua terasa kabur. Tidak akan kutemukan secara pasti batas keduanya. Sama seperti aku yang merasakannya teramat dalam, akan tetapi tak mampu menerka di mana letak penyekat rasa cinta dan benci ini.

Senja, tempat kumuarakan segenap rasa cinta. Sebelum menjadi pemicu segala murka. Seindah namanya, paras gadis itu memikatku di awal jumpa. Sampai, rasa sederhana itu berkembang menjadi lebih rumit dari yang kubayangkan.

"Maaf, Bara. Kita tidak bisa bersama."

Perkataanmu sore itu, memutus seluruh harapku. Setelah membuat aku jatuh sejatuh-jatuhnya pada pesonamu, mendamba pada setiap inci tubuhmu, dan menggilai semua yang ada pada dirimu. Aku jadi mempertanyakan atas reaksi yang selama ini kau tunjukkan. Bukankah bibir manis itu pernah mengutarakan balasan akan cintaku di sela lenguhanmu? Bahkan secara sadar memintaku menjejak, mengukir cinta sebagai bukti.

"Kita tidak ditakdirkan bersama." Sesederhana itu jawabanmu. Namun, tak sedikit pun masuk dalam akal sehatku.

"Kamu bukan Tuhan, Senja!"

"Ya, memang," ia menjeda, "terlalu rumit untuk kujelaskan …."

"Apa yang kau lihat?" Tak kuasa menahan geram, suara kupelankan dan lebih berat dari sebelumnya.

"Gelap." Wajahnya datar seiring bibir itu berucap. Bola matanya memang lurus mengarah padaku, tapi yang kurasakan, kosong. Aku lebih suka binar indah yang sesekali memancarkan aura menyeramkan secara bersamaan seperti biasa, daripada ini.

Kuraih tangannya, menggenggam lebih erat, berharap itu bisa menguatkan. "Aku dan kamu. Berdua, kita terangkan apa yang kamu bilang gelap itu."

Gelengan pelan yang kudapat. "Terlalu gelap. Terlalu pekat."

"Aku tak mengerti." Hampir putus asa, kulepaskan tautan kami.

Senja memang pintar, terlalu pintar. Serba tahu melebihiku. Ia selalu melihat apa yang tak bisa kulihat. Sungguh, meski pemakluman selalu kuberi, tapi tidak kali ini. Logikaku menolak keras.

Sepersekian detik kemudian, ia benar-benar menatapku. "Sudahi saja. Aku tak pernah seujung kuku pun mencintaimu."

Aku tertawa. Pelan, lalu melantang, namun sumbang. "Ternyata hanya aku yang mencintaimu segila ini?!" Tertawa lagi, semakin sumbang.

"Baiklah, kita sudahi. Tapi ingat. Jika aku tak bisa memilikimu, maka tak ada yang lain. Kamu. Tidak bisa. Dimiliki siapa pun!" kataku lagi, penuh penekanan, setelah tawa mereda.

Sebelum ia pergi, meninggalkan pasir yang sudah basah tersapu ombak ini, aku mendengar suaranya pelan berkata "ya", disusul senyum miring sekilas. Entah ia mengiyakan pernyataanku yang mana. Namun, yang kuingat jelas adalah sehari setelah kuutarakan niat mulia untuk meminangnya, tersiar kabar bahwa Senja menerima lamaran pria pilihan orang tuanya.

Aku tidak baik-baik saja. Sampai berita kapal yang karam membawa serta gadisku dan pria itu terdengar, aku menjadi baik-baik saja.

Senja tidak benar-benar berdusta. Ia memang hanya menjadikanku tempat singgah. Datang sekejap memberikan keindahan, lalu hilang ditelan gelap. Namun, cintanya masih dapat kurasakan sampai kini. Sampai ia tak berwujud lagi.

Sekarang, aku yakin dia pasti berterima kasih karena apa yang dilihat dulu telah terwujud. Tentang gelap, pekat. Sebagai arti bahwa tak ada masa depan. Bukan hanya denganku, tapi juga yang lain.

Tak perlu mengotori tanganku, semua selesai atas kehendak Tuhan. Mata yang menjadi malapetaka itu telah mati. Tak ada lagi ketakutan, tentang bayangan masa depan.

Ann, 300420.

Kepingan SisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang