Aku tersentak, suara itu terdengar begitu jelas di kepalaku. Bagaimana bisa? Apa aku bermimpi? Atau itu hanya halusinasi ku saja? Aku mencubit siku ku untuk memastikan aku mimpi atau tidak.
Tidak sakit.
Bodoh! Kenapa aku mencubit siku? Tentu saja tidak sakit!
Aku mencoba mencubit bagian tanganku yang lain dengan kuat.
"AAAAAAAAAAAWWWWW!!!!" Aku refleks langsung berteriak sekencang-kencangnya dan melompat dari kursiku. Sial. Sial. Sial. Sakit sekali.
"Zayn? Ada apa?!" Ibuku bertanya dengan panik, dia menggenggam pisau dapur ditangan kirinya.
"Tidak Bu, aku hanya...ehm...a-aku...ehm....ak—" Aku menjawab dengan gagap sebelum ucapanku dipotong oleh suara teriakan Safaa.
"MUNGKIN ZAYN HANYA DIGIGIT SERANGGA BU, JANGAN TERLALU PANIK, DIA KAN EMANG SERING SEPERTI ITU." Oh God! Terimakasih Safaa! Kau penyelamatku!
"Aha! Iya Bu, aku digigit serangga dan kaget, jadi aku berteriak seperti itu."
"Huh, kau ini Zayn, membuat ibu jantungan saja."
"Hehe maaf ya Bu."
"Yasudah, ibu akan kembali ke dapur."
Aku menjawab dengan menganggukan kepalaku, kembali menghempaskan bokongku ke kursi dan kembali berpikir kalau ini tidak mungkin nyata, ini pasti mimpi. Tidak mungkin aku mendengar suara yang memanggil namaku di kepalaku dengan sangat jelas, ini pasti mimpi. Pasti.
"Tidak Zayn, ini bukan mimpi," kata suara itu seolah-olah bisa membaca pikiranku. Aku melihat sekeliling jika ada orang tapi hasilnya nihil, aku hanya sendiri di teras depan rumah.
"Aku memang bisa membaca pikiranmu, Zayn." Aku menelan ludah, membeku di kursi ku, aku takut. Ini terlalu horror untuk lelaki bertato sepertiku.
Aku yakin ini kerjaan Safaa! Dia pasti mengerjaiku. Mengepalkan tanganku, aku segera berlari kecil ke kamar Safaa, dia pasti menakut-nakutiku.
Ketika sampai di depan kamarnya, aku langsung membanting pintu dan berteriak "SAFAA HENTIKAN INI! AKU TAHU KAU YANG MENAKUT-NAKUTIKU DENGAN SUARA IT—-hey, apa yang kalian lakukan dengan make-up Doniya?"
"SEHARUSNYA AKU YANG BERTANYA APA YANG KAU LAKUKAN ZAYN? TIBA-TIBA SAJA MASUK KE KAMARKU TANPA MENGETUK PINTU DAN BERTERIAK-TERIAK, HUH?" Safaa menjawab dengan suara yang lebih keras lagi.
Aku melihat Safaa dengan lipstick ditangan kanannya dan mascara ditangan kirinya, dia sedang mendandani Palvisha yang sekarang sedang menutup telinga karena teriakan Safaa—-eh, teriakan kami. Mereka sedang bermain...salon-salonan mungkin? Dasar bocah.
"Baiklah, kecilkan suaramu Safaa biar aku jelaskan, kau yang menakut-nakutiku dengan suara bisikan itu? Iya kan? Iya kan?" Kataku sambil tersenyum marah.
"Apa yang sedang kau bicarakan?" Kata Safaa sambil mengerutkan keningnya.
Aku memutar bola mataku.
"Aku tahu kau yang melakukannya! Kau pasti memanggil namaku dengan berbisik-bisik dari balik pintu ruang tamu untuk menakut-nakutiku kan? Karena kau tahu itu salah satu ketakutanku, mendengar seseorang memanggil namaku, tapi sebenarnya tidak ada yang memanggil, tapi kau memanggil! kau memanggil namaku agar aku ta—-"
"HA! MANA MUNGKIN AKU MENAKUT-NAKUTIMU SEPERTI ITU! AKU DARI TADI DI SINI, DI DALAM KAMARKU SEDANG BERMAIN DENGAN PALVISHA, AKU TAK MUNGKIN SEMPAT BERBISIK DARI BALIK PINTU RUANG TAMU DAN KEMUDIAN BERLARI LAGI KE KAM—-" Safaa kembali berteriak memotong ucapanku sebelum ibu memotong ucapannya dan menyuruhnya untuk mengecilkan suaranya. Safaa hanya menghela napas dengan kesal dan memilih untuk tidak melanjutkan ucapannya.
"Safaa benar Zayn, dia tak mungkin sempat berlari dari balik pintu ruang tamu dan kembali ke kamar sebelum kau mengganggu permainan kami dengan masuk secara tiba-tiba dan berteriak-teriak seperti tadi." Kata Palvisha yang melanjutkan ucapan Safaa.
Aku terdiam selama beberapa detik untuk berpikir bahwa perkataan Palvisha benar.
Aku berjalan menuju kasur Safaa dengan wajah bingungku, merebahkan diriku di atas kasurnya.
"Satu lagi Zayn, aku baru tahu kalau kau mempunyai ketakutan dengan hal semacam itu HAHAHAHAHAHAHAHA," Palvisha ketawa lepas meledekku, huh.
"Pal! Diamlah! Aku tak bisa berkonsentrasi memakaikan mascara mu!" Kata Safaa dengan wajah kesalnya, sepertinya aku sudah menghancurkan mood bermainnya hari ini.
Mereka melanjutkan permainan konyol mereka. Aku yang berbaring di atas kasur masih berpikir tentang suara tadi, hingga akhirnya aku tertidur.
-
BYUR.
Aku merasakan wajahku tersiram air, aku membuka mata dan mendapati Safaa yang sedang berkumur-kumur dengan gelas ditangannya. Aku mengelap air dari wajahku menggunakan selimut Safaa.
BYUR.
Safaa menyemburkan air kumur-kumurnya ke wajahku lagi.
"MAKAN MALAM SUDAH SIAP!" Safaa berteriak didepan wajahku, sepertinya aku harus ke THT untuk memeriksa keadaan telingaku.
"Uh baiklah, kenapa kau menyemburku lagi? Aku kan sudah bangun," Tanyaku.
"Itu air dari wastafel, tak mungkin aku menelannya jadi kusemburkan saja lagi kewajahmu." Aku sedikit tenang mendengar jawabannya, kukira dia akan marah karena aku mengelap wajahku dengan selimut Dora kesayangannya.
"Berapa lama aku tertidur?" Tanyaku lagi.
"Satu jam dua puluh menit." Safaa menjawab dan pergi meninggalkanku—-meninggalkan kamarnya.
Aku bangkit dari tempat tidur dengan malas, berjalan menuju ruang makan untuk makan malam.
Aku menarik kursi setelah menyapa ayahku yang baru pulang bekerja.
"Hey Pal, kau belum pulang?" Aku bertanya saat melihat Palvisha yang tengah menyantap makannya dengan lahap, biasanya jam segini dia sudah pulang ke rumahnya.
"Aku menginap disini malam ini, lagi pula rumahku di samping rumahmu Zayn, aku bisa pulang kapan saja."
Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya, rumah kami memang berdekatan, rumahku dengan sepupu-sepupuku, aku memiliki banyak sekali sepupu dan ibu Palvisha adalah sepupu ayahku. Ah sudahlah, aku menjadi pusing kalau membicarakan soal sepupu karena terlalu banyak.
"Dimana Doniya?" Aku bertanya setelah menyadari tidak ada kehadiran Doniya disini.
"Dia menginap dirumah Zarish." Jawab ibuku. Dan ya, Zarish adalah sepupuku.
"Dimana Waliyha?" Tanyaku lagi, mengapa tiba-tiba aku menanyakan ini?
"Zayn...sudahlah." Kali ini ayahku yang menjawab.
Aku menghela napas dan kembali menyantap makan malamku.
"ZAYN TOLONG AMBIL—-uhuk...uhuk..." Safaa berteriak LAGI sambil mengunyah.
"HA! kualat kau Safaa karena terlalu sering berteriak padaku hahaha," Aku menertawainya.
"Safaa, sudah berapa kali ibu ingatkan untuk tidak berbicara sambil mengunyah." Kata ibu sambil menyodorkan air ke Safaa.
"Dan Safaa, sudah berapa kali aku ingatkan untuk tidak berteriak didepan wajahku." Kataku sambil menirukan gaya bicara ibu, Safaa hanya melihat sinis kearahku.
Kami melanjutkan makan malam dalam keadaan diam. Saat aku hendak memakan pisang sebagai makanan penutup, aku mendengar suara itu lagi.
"Zayn, tolong aku."
*****
HALLOOOO! Slow update maaf yah :(
Jadi gimana pendapat kalian tentang chapter ini? makin ngebosanin ya? garing ya? Sebenarnya cerita ini mau aku buat horror, tapi gagal deh kayaknya...
Jangan lupa buat ninggalin VOTE & COMMENT(S) okay :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Telepathy
Fanfiction❝ Aku sangat yakin dia masih hidup, hidup dalam penderitaan. Aku berjanji, aku akan menemukan dan menyelamatkannya. ❞ © All rights reserved @nuruldhea