Hari ini, Gamaliel dan Audrey tak bertegur sapa sama sekali. Saat Magdalena bertanya mengapa, keduanya tak menjawab. Saat kembali bertanya, mereka menghindar, membuatnya tak bisa berbuat apa pun. Hanya dapat menundukkan kepala dan berharap jika kekasihnya masih ada.
Walau sebenarnya, Audrey tak tega melihat wajah ibunya yang tertekuk karena dia dan Gamaliel tak bicara sama sekali. Dingin. Seolah ada tembok pembatas di antara mereka. Namun, dia sendiri juga tak tahu bagaimana cara menjelaskan pada ibunya jika kakaknya itu belum sepenuhnya. Dia tidak mau membebani pikiran ibunya. Dia tak ingin ibunya tahu. Karena Gamaliel adalah urusannya. Karena Gamaliel adalah kakaknya.
"Audrey pergi dulu ya, Ma?" pamit Audrey seraya keluar dari rumahnya.
Udara di luar masih sedikit dingin. Mungkin efek dari peralihan musim. Audrey mendongak ke atas, matahari yang terlihat hangat. Mengingatkannya dengan kehangatan sebelum orang-orang yang berharga pergi. Sepanjang menatapnya, dia berpikir, apa yang akan terjadi jika saja ayahnya dan Veera masih hidup. Mungkinkah hidupnya yang hangat akan terus terasa hingga sekarang?
Audrey menggeleng. Dia tak boleh terus mengeluh. Lagi pula, jika terus berpikiran seperti itu, apa bedanya dia dengan Gamaliel?
Suara klakson sepeda motor membuat Audrey tersentak. Ojol yang dipesannya sudah datang dan membuatnya langsung beranjak dari depan pintu rumahnya.
"Ke Cemara, benar?" tanya ojol seraya menyerahkan helm ke Audrey yang duduk di belakangnya.
Audrey mengencangkan helmnya. "Iya, Bang."
Setelah memastikan lokasi tujuan Audrey, ojol langsung melajukan sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Dalam perjalanan, ojol mencoba untuk sedikit melawak karena saat memperhatikan wajah Audrey. Untungnya saja Audrey terhibur dengan guyonan ringannya. Sesekali tertawa. Hal itu pula membuat suasana hatinya yang kacau perlahan membaik. Walau sedikit. Mungkin setelah sampai di tujuan nanti dia akan memberi bonus atas kepekaan ojol yang mengantarnya.
><
Setelah memberikan bayaran serta bonus pada ojol yang mengantarnya, Audrey segera memasuki kedai kopi besar dengan arsitektur sedikit mewah itu. Logo berlatar hijau dengan gambar cemara putih terpampang di dinding yang dekat dengan lantai dua. Audrey memasuki bangunan bercat cokelat gelap itu. Kemudian, dia berjalan ke lantai dua, untuk menemui seseorang yang merupakan teman dekatnya sejak kecil, Cantika.
Saat telah sampai di lantai dua, Audrey memandang sekitar. Dia tersenyum kecil ketika melihat bayang gadis berkulit sawo matang dan berwajah jutek itu melambai padanya. Tanpa basa-basi, dia menghampiri Cantika dan duduk di depannya. Sebelum menceritakan masalahnya, Audrey terlebih dahulu membuang napas panjang, seolah dia sudah lelah menghadapi kelakuan kakaknya yang menurutnya sudah di luar batas kewarasan sebagai manusia. Barulah setelah itu, dia menumpahkan semua masalahnya pada Cantika yang hanya menyimak sambil sesekali menganggukkan kepala.
"Kayaknya lo harus maksa Gamal ke psikolog deh, Drey," sarannya setelah mendengar curahan hati Audrey.
"Udah pernah. Dia dikonsul sama mamanya Beby dulu. Tinggal ke psikiater aja sih."
"Kalau gitu, bawa dia ke psikiater ajalah, apa repotnya?"
Audrey menghela napas karena merasa Cantika tidak mengerti dengan maksudnya. "Lo nggak ada solusi lain?"
Cantika tampak berpikir sejenak. "Suruh psikiater ke rumah lo?"
"Yang ada dia malah kabur." Audrey kembali menghela napas.
"Kalau mau Gamal sembuh, harus psikiater, Drey. Gue tahu, bakalan susah ngajak Gamal soalnya dia nggak bakal mau ... kayaknya. Gini aja, gimana kalo lo ajak Double B."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lovely Princess
Fiksi Penggemar[TAMAT] (16+) Bijaklah mencari bacaan agar terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan. Peringatan: Semua yang tertulis merupakan fiksi belaka. _________ Hampir tiap malam, mimpi itu selalu menghantui Celine. Bukan sekedar mimpi buruk, tetapi juga me...