- { 18 } -

786 77 4
                                    

18. Bunda Fadila

Setelah para tamu berpulang dari kediaman Dokter Arifin, Raga beserta kedua kakaknya diminta untuk tetap menetap selama beberapa saat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah para tamu berpulang dari kediaman Dokter Arifin, Raga beserta kedua kakaknya diminta untuk tetap menetap selama beberapa saat. Saat ini, ketiga bersaudara itu tengah duduk menunggu Dokter Arifin dan istrinya kembali dari menghantarkan para tamu.

"Maaf ya menunggu lama" suara Dokter Arifin membuat ketiganya menoleh menatap sepasang suami-istri tersebut.

Fadila—istri dari Dokter Arifin—duduk di samping Raga. Wanita yang memiliki usia dua tahun dibawah Dokter Arifin itu tersenyum manis menatap Raga. Tangannya yang lentik menjulur untuk mengusap kepala remaja berkacamata itu. "Hallo, Raga" sapanya lembut.

"H-hallo juga, Tante" meski sedikit gugup, Raga tersenyum lurus ke depan.

"Jangan panggil Tante ya, Ga" Tangan Fadila memutar perlahan wajah Raga agar menatapnya. "Panggilnya Bunda, jangan Tante. Okey?"

Raga memangut sejenak. "Iya, Tan. Eh, Bunda maksudku."

Fadila terkekeh kecil sebab Raga terlihat lucu di matanya. "Gak usah gugup gitu, Ga. Tenang aja, Bunda gak gigit kok" canda Fadila.

Pandangan Fadila beralih ke Rama yang duduk di samping kanan Raga dan Raka yang duduk sendiri di sofa singel depan Rama. "Kakak-kakaknya Raga gak mau ngenalin diri ke Bunda, nih?"

"Saya Rama, Bunda" Jawab Rama.

"Yang satunya lagi?"

"Raka" Fadila berkedip dua kali atas respon Raka yang terkesan sangat dingin. Jadi, seperti ini kah seorang Maraka Surya Mahardika?

"Ehmm ... Kalo gitu kita makan dulu aja. Udah jam makam siang, gak baik nunda-nunda makan" Dokter Arifin menyahut ketika melihat sang istri yang terlihat kebingungan.

"Iya, ayo, makan dulu" dan setelahnya, semua beranjak dari tempat duduk mereka masing-masing dan menuju ke ruang makan.

Rama hendak menuntun Raga sebelum Fadila menghentikan aksinya. "Biar Bunda aja, ya, Ram."

Rama mengangguk. "Silahkan, Bunda."

Fadila menempatkan tangannya ke pundak Raga. "Jalannya sama bunda, ya, Ga."

"Iya, bunda."

• S E K U A T   R A G A •

Setelah dari kediaman Dokter Arifin, Rama membawa kedua adiknya singgah di kedai makanan ringan yang terletak tidak jauh dari rumah Dokter Arifin. Sebenarnya mereka memang sudah makan tadi, Rama sengaja melakukan ini untuk menambah waktu mereka saja. Rama beralasan bahwa ia ingin makan makanan yang manis, lalu ia juga mengatakan jika Raga perlu makanan manis untuk menaikkan gulanya. Jadilah mereka saat ini duduk melingkar disalah satu meja sembari menikmati hidangan yang telah mereka pesan.

Rama tak henti-hentinya mengembangkan senyum. Meski tidak ada pembicaraan yang menemani mereka, tapi ia bisa merasakan kehangatan. Rama akan mencoba memperbaiki hubungan persaudaraannya. Namun dengan perlahan senyum Rama luntur, Rama tiba-tiba takut. Takut jika ia tengah berjuang, tapi malah berujung kehilangan.

Di balik kacamata hitamnya, Raga menutup mata dengan erat. Ginjalnya kumat lagi. Ia ingin memberitahukan hal ini kepada kakak-kakak Raga, namun ia tidak ingin merusak momen-momen seperti ini. Tangan Raga menjulur ke depan untuk menyendok es krimnya kembali. Raga memang tidak disuapi oleh Rama karena keinginan dari Raga sendiri. Raga ingin berusaha agar tidak terlalu bergantung kepada Rama. Karena Raga tahu, ia harus bisa melakukan aktivitas tanpa bantuan orang lain lagi. Sudah tidak ada lagi Darrel yang menemani ia beraktivitas, Rama tidak bisa melulu dengan Raga. Dan Raka—entahlah.

"Oh ya, Raka, besok kamu setelah pulang sekolah langsung pulang ke rumah, ya?" Ucapan Rama menjadi pembuka pembicaraan diantara mereka.

Raka yang tengah menyeruput segelas brown sugar itu melepaskan tautannya dengan sedotan, "kenapa?"

"Kakak besok ada kelas siang, sampe sore si ... Tapi kakak mau lanjut kerja, jadi kamu pulang cepet dan jagain Raga mau gak?" Rama seperti orang bodoh saat ini, sudah tahu jawaban Raka, namun tetap saja kekeuh untuk meminta bantuan kepada Raka.

"Lo tau jawabannya" jawab Raka seraya mengangkat minumannya tadi untuk ia minum kembali.

"Iya, kakak tau kamu bakalan nolak. Tapi sekali aja, Ka. Besok kakak bakalan pulang malem banget, gak mungkin Raga sendirian di rumah. Lagian waktu itu pas kamu ngurung Raga di kamar, kamu rawat dia, 'kan? Jadi kamu bisa dong jagain Raga." Raka membuang muka, kenapa Rama harus membahas hal yang seharusnya tidak dibahas?

Raka membiarkan Rama menatapnya penuh harap sebelum sebuah ide terlintas begitu saja. "Oke ... Gue setuju. Tapi ada syarat, karena gak ada hal yang gratis di dunia ini."

"Syarat apa?"

Raka mengeluarkan smirk andalannya. Terlihat betul jika pemuda itu menginginkan sesuatu. "Gue gak akan masuk sekolah selama seminggu ini."

"Gak bisa gitu dong, Ka! Baru aja kemarin kakak singgung kamu soal sekolah, masa iya kamu mau bolos" Rama jadi tidak habis pikir. Raka ini memang tidak serius untuk menuntut ilmu kah?

"Gue gak bolos, lo tinggal ngasih aja surat izin ke guru besok pagi. Izin kalo gue lagi sakit gitu. Atau izin kalo Raga dirawat di rumah sakit" sempat-sempatnya juga Raka berbicara seperti itu. Terlihat seperti menginginkan hal tersebut terjadi.

"Ngaco kamu, Ka! Omongan itu doa!" Raga tersenyum getir di posisinya. Raka memang tidak ingin menjaga Raga. Seharusnya Rama tidak memaksa.

"Lo yang bilang gitu. Gue kan cuma ngasih contoh aja. Tadi lo bilang gue rawat Raga, artinya dia lagi sakit. Pake kek otak lo, atau malah gue besok gak usah jagain Raga? Biarin aja dia di rumah sendirian." Rama menyugar rambutnya ke belakang. Minta tolong ke Raka sesusah itu ternyata.

"Aku di rumah sendiri gapapa kok, Kak. Lagian aku gak bakalan keluar dari kamar. Bisa apa aku? Paling cuma duduk sama makan. Jadi, semuanya aman. Kak Rama bisa kuliah sama kerja, Kak Raka bisa sekolah tanpa harus bolos. Biasanya juga aku di rumah sendiri gapapa" Raga mengembangkan senyumnya. Senyum ini entah harus disebut senyuman apa. Raga bahagia karena bisa berkumpul seperti ini dengan kakak-kakaknya, apalagi Raka banyak mengeluarkan suara daripada hari-hari lalu. Tapi ini juga senyum sakit, saat-saat seperti ini justru ginjal Raga bermasalah lagi.

"Gak akan, Ga. Gini deh, kamu bakalan kakak izinin, tapi cuma tiga hari doang. Gimana? Mau gak?" Tawar Rama sekali lagi.

Raka menatap Rama dengan tatapan tajamnya. "Oke, gue terima."

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Smoothycha

SEKUAT RAGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang